Gerhana Matahari dan Mitos Buto

oleh -12871 Dilihat
oleh
Ilustrasi, sumber: internet
Ilustrasi, sumber: internet
Ilustrasi, sumber: internet

WONOSARI, (KH)— Fenomena gerhana matahari atau bulan, bagi masyarakat jawa sering dikaitkan dengan adanya mitos raksasa besar yang memakan bulan atau matahari. Hal ini diketahui telah ada sejak zaman kuno.

Penyuluh budaya, Hadi Risma, mengungkapkan, mengenai mitos gerhana ada di berbagai belahan dunia, di antaranya India, China, Mesir, Jepang dan Indonesia. Di Indonesia sendiri, jelas dia, khususnya tanah jawa, mitos gerhana matahari selalu dikaitkan dengan cerita kuno dari nenek moyang.

Diceritakan, bahwa kala itu para dewa membagikan Tirta Amerta, apabila meminum Tirta Amerta tersebut, maka hidupnya akan abadi. Mendengar hal ini, Buto (raksasa) hendak ikut meminum Tirta Amerta itu, namun karena Tirta Amerta hanya boleh diminum oleh para dewa, kemudian Buto mencari cara agar dapat meminum air tersebut.

“Kemudian Buto menyamar menjadi dewa agat ikut mendapat jatah air. Satu persatu dewa maju dan antri untuk mendapatkan Tirta Amerta, namun karena jumlahnya terbatas, maka tiap dewa hanya mendapatkan air sedikit saja.” Tutur Hadi bercerita, Selasa, (8/3/2016).

Ketika tiba giliran si Buto, majulah ia dan mendapatkan Tirta Amerta itu, tiba2 saja, lanjut Hadi, ada anak panah menghujam leher si Buto, padahal tirta amerta belum melewati kerongkongan, baru sampai di mulut.

Akhirnya kepala Buto putus dari badannya dan jatuhlah dari kayangan ke bumi. Karena telah menghancurkan rencananya, si Buto marah dengan Bethara suryo (matahari) dan Bethara Chandra (bulan) yang telah memanahnya.

“Lantas si Buto mengancam akan memakan bulan atau matahari, kemudian seperti pada saat gerhana bulan atau matahari itulah cerita dari nenek moyang kita dulu menganggap bahwa Buto sedang berupaya memakan bulan atau matahari,” imbuh Hadi.

Lantas ada keyakinan bahwa ketika terjadi gerhana matahari atau gerhana bulan nenek moyang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian dengan tujuan agar Buto memuntahkannya lagi. Mereka memukul lesung atau kentongan, maka kemudian bulan atau matahari yang telah ditelan dimuntahkan.

“Cerita ini ada pada jaman yang sangat lampau, ketika anak-anak belum mendapati dan mengenal sosial media dan gadget, kalau jaman sekarang cerita ini sudah pudar dimakan usia,” pungkas dia. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar