Festival Bedhiding : Upaya Mengenali dan Menjaga Tradisi Lokal Petani Gunung Sewu

oleh -1791 Dilihat
oleh
Bedhiding
Pameran Seni di Song Luwang. (KH/ kandar)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Ladang, bukit karst, song atau gua tak bisa dipisahkan dari perjalanan hidup masyarakat Gunungkidul yang tinggal di antara pegunungan seribu. Bentang alam itu menjadi ruang hidup bersama. Melahirkan budi dan daya bijaksana, baik dalam rangka memanfaatkan serta merawatnya. Tumbuh tradisi yang harmoni dan selaras antara manusia dan alam dari waktu ke waktu.

Untuk merayakan kearifan ekologis itu, pemuda di Kalurahan Petir, Kapanewon Rongkop, Kabupaten Gunungkidul menggelar Festival Bedhiding. Festival yang agak lain. Sebab, tempatnya di ladang. Persis di depan mulut Song Luwang.

Kris Mheilda Setiawati salah satu inisiator Festival Bedhiding menyampaikan, festival ini merupakan kerja kolektif yang bertujuan untuk memantik semangat gotong – royong masyarakat untuk kembali mengenali dan menggali nilai-nilai kelokalan yang mulai ditinggalkan.

“Antusiasme pemuda luar biasa, pun dengan kalangan orang tua dan sesepuh. Semua bersepakat mendukung gelaran festival,” kata perempuan dengan nama panggilan Ida ini.

Lebih jauh disampaikan, nama Bedhiding merujuk pada transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Suhu dinginnya menusuk tulang. Persis dengan situasi saat Festival ini lansgungkan pada Sabtu, 28 September 2024 lalu.

Rangkaian kegatan yang dipilih beragam, ada pentas musik dan seni lokal, bazar produk olahan makanan buatan warga setempat, Tour De Ngalas, pentas Wayang dengan lakon Alu Lesung dan Macapatan ‘Memuji Gunungsewu’.

Tidak artifisial. Ida dan kawan – kawannya ingin menghadirkan rasa dan material alami. Dalam Tour De Ngalas misalnya. Siapapun yang hadir agar merasakan kebiasaan dan cara hidup serta tradisi warga lokal.

“Bedhiding juga merupakan masa rehat para petani karena saat ini mereka sedang mengistirahatkan lahannya. Ada permainan atau kesenian yang lahir pada masa Bedhiding ini, salah satunya Panjeran,” imbuh Ida.

Bedhiding
Tour De Ngalas salah satu rangkaian Festival Bedhiding.

Panjer atau kincir angin dari bambu ini berfungsi untuk melihat arah angin. Sehinga selain punya nilai hiburan, panjer juga digunakan sebagai indikator perubahan musim. Selain itu, momentum bedhiding juga terdapat banyak masyarakat yang membuat olahan thiwul. Piranti lesung yang dipakai untuk menumbuk gaplek menghasilkan bunyi lesung ritmis yang bersahutan antar rumah. Aktivitas ini disebut dengan Nutu Gaplek. Kebiasaan inipun dapat dirasakan dan ikuti peserta yang hadir.

Event perdana ini tak dengan mudah diselenggarakan begitu saja. Tantangan dan hambatan berdatangan menguras energi.

Sri Tusilah atau yang akrab disapa Este menyebut, event ini menjadi titik tolak komitmen membangun desa versi mereka. Cara dan metodenya pun barangkali belum dimengerti dan disetujui banyak pihak.

“Kami harus berjeraing dengan komunitas dari luar. Kegiatan ini menjelma menjadi wadah berekspresi semua kalangan masyarakat terutama anak-anak muda. Mereka selama ini aktif memperkenalkan potensi desa ini,” tutur pria yang didapuk sebagai Ketua Pelaksana festival ini.

Festival Bedhiding tidak hanya dihadiri warga lokal. Tidak sedikit warga dari luar Gunungkidul turut meramaikan. Bahkan, beberapa peserta dari Tour De Ngalas juga berasal dari luar Yogyakarta.

Ada Kris dan Anggara dari Bali. Mereka sengaja datang karena tertarik dengan konsep acaranya. Mereka mengaku banyak menemui hal-hal yang memang ingin dicari. Mulai dari belajar kebiasaan hidup warga lokal yang tetap memperhatikan lingkungan, menghargai apa yang dimiliki, belajar bersyukur, kebiasaan berbagi, dan saling menjaga ikatan sosial agar senantiasa kuat.

“Tidak banyak festival semacam ini. Saya memang suka yang alami tidak dibuat-buat seperti desa wisata secara umum. Menemui sajian apa adanya, keramahan masyarakat setempat, dan lain-lain, saya sangat mengapresiasi,” kata Anggara. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar