Penulis: Suyanti
KABARHANDAYANI,– Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini yang sangat pesat tanpa disadari telah membawa dampak signifikan bagi kawula remaja. Kebanyakan dari mereka lebih tertarik sesuatu yang berbau modern, dan cenderung meninggalkan sesuatu yang beraroma tradisional, apalagi cerita rakyat dan sejarah tradisional.
Tahukah bahwa berbagai cerita rakyat dan sejarah sejatinya juga mengandung ilmu pengetahuan dan makna kebajikan yang bermanfaat? Sering tanpa disadari, bahwa dalam sebuah sejarah terdapat sebuah makna yang banyak mengajarkan arti hidup. Misalnya, dalam kesenian wayang yang sangat populer di mata rakyat. Kawula muda saat ini hanya sebagian kecil yang mengerti apa itu wayang, dan sebagian besar lainnya cenderung apatis dan bahkan lebih memilih budaya modern untuk dipelajari.
Di Indonesia terdapat berbagai jenis wayang, ada wayang kulit, wayang golek dan beberapa wayang lainya. Namun untuk masyarakat di lingkungan Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur cenderung lebih mengenal wayang kulit. Berbahan dasar kulit kerbau atau kulit sapi, kulit hewan yang disungging tersebut mampu diubah menjadi tiap sosok yang mewakili sifat dan watak dari manusia. Cerita yang ada dalam pewayangan dapat menjadi pembelajaran untuk memaknai hidup.
Nama Punokawan sudah tentu tidak asing lagi bagi pecinta wayang. Aggotanya terdiri dari Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Namun, apakah semua pecinta wayang, terutama generasi muda yang gemar pertunjukan tradisional ini mengetahui apa makna dan filosofi yang terkandung dari tiap tokoh di Punokawan itu sendiri?
Yang pertama Semar. Semar sebagai pelayan masyarakat. Ia melayani warganya tanpa pamrih, ia laksanakan tugas itu sebagai bagian dari ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar ketika berjalan menghadap ke atas, yang maknanya adalah ia memberikan teladan agar selalu memandang ke atas (Memandang Yang Kuasa), yang maha pengasih dan maha penyayang agar umatNya selalu mengadakan kebaikan dan kebenaran di bumi.
Tokoh Gareng, nama lengkapnya adalah Nala Gareng. Hanya masyarakat lebih familier dengan sebutan “Gareng” saja. Ia memiliki kaki pincang, yang maknanya adalah sebagai sosok”kawula” atau bisa disebut juga dengan umat. Gareng juga memiliki cacat fisik lain berupa tangan yang ciker atau patah. Filosofinya yaitu ia memiliki sifat yang tak suka mencuri atau mengambil hak milik orang lain. Cacat lain yang dimiliki Gareng yaitu mata juling, yang artinya dia tidak mau melihat hal-hal yang mengundang kejahatan atau hal yang tidak baik.
Selanjutnya tokoh Petruk, yang dilambangkan dengan hidung yang panjang. Ia adalah karakter yang tidak banyak bicara tapi banyak kerja. Hal itu dilambangkan dengan mulutnya yang tertutupi oleh hidungnya. Makna hidung panjangnyayaitu dia dapat mencium dan merasakan keadaan sekitarnya. Ia juga pribadi yang rajin bekerja serta memiliki amal perbuatan yang baik. Hal itu dilakukan dengan jalan meninggalkan segala yang berbau keburukan.
Terakhir adalah tokoh Bagong. Dalam filosofi pewayangan, Bagong memiliki sifat yang jujur dan sabar. Dalam keseharian, ia tak pernah marah ataupun protes atas tekanan hidup yang menimpa dirinya. Bagong adalah pribadi yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Pertimbangan untung dan rugi akibat dari pengambilan keputusan benar-benar dipikirkan dengan masak.
Keempat tokoh tersebut melambangkan pribadi yang baik. Memahami lebih jauh, tentunya sifat dan karakter dari para tokoh punokawan tersebut sangat baik untuk dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Penulis adalah Kontributor Berita Kabarhandayani, tinggal di Desa Karangrejek, Wonosari. (Foto: wikipedia.com)