WONOSARI, (KH)— Fenomena kesurupan di tengah masyarakat masih sangat kuat diyakini penyebabnya karena ulah makhluk halus. Karena perilaku seseorang yang tidak logis ketika dalam kondisi sadar itu dilakukan, maka hal tersebut berujung pada putusan karena pengaruh jin, danyang, setan, dedemit, hantu, lelembut dan atau sebutan makhluk metafisis yang lain.
Keyakinan ini cukup kuat bagi masyarakat di wilayah Gunungkidul. Hal ini dipengaruhi perjalanan historis daerah dan sosiokultural penduduk yang disertai dengan aneka legenda dan mitos serta kebiasaan berbau mistis yang tentu bersifat adikodrati baik dari segi religius maupun keyakinan kejawen.
Kasus kesurupan atau yang sering dianggap sebagai kerasukan roh halus, apabila dibedakan terdapat dua sifat, yakni antara disengaja dan tidak disengaja. Bagi masyarakat Gunungkidul, kesurupan yang disengaja sudah sangat familiar, hal ini ada pada seni pertunjukan tradisional bernama Jathilan. Karena memang kesenian ini dinilai lebih ‘hidup’, bahkan tidak jarang kejadian kesurupan atau disebut ‘ndadi’ menjadi hal paling ditunggu.
Kesurupan kedua merupakan fenomena yang menimpa seseorang atau lebih sehingga disebut kesurupan massal. Hal ini tidak diinginkan oleh orang yang mengalami atau orang di sekitarnya, sehingga lebih disebut sebagai sebuah tragedi atau musibah.
Dari banyak kasus yang terjadi, secara ilmiah Psikiater RSUD Wonosari, dr. Ida Rochmawati, MSc., Sp.KJ (K) berdasar literatur yang dipelajari mengungkapkan, bahwa kesurupan dalam ilmu psikiatri disebut sebagai gangguan disosiatif, yakni adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (dibawah kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas, dan penginderaan serta kontrol gerakan tubuh.
“Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa mereka yang punya kecenderungan mengalami kesurupan adalah remaja perempuan atau dewasa, jarang terjadi pada anak-anak. Mereka cenderung memiliki kepribadian mudah cemas dan mudah disugesti,” terangnya, Minggu, (30/10/2016).
Lebih jauh disampaikan, pengalaman pribadinya saat menangani kasus kesurupan di beberapa sekolah membenarkan adanya teori tersebut. Lantas menurutnya, terjadinya kesurupan massal akan muncul kalau kondisi di rumah maupun di sekolah memicu stres.
“Hal ini bisa dicermati fenomena kesurupan massal akan muncul saat menjelang ujian. Banyaknya aktivitas yang penuh tekanan dan ditambah lagi kondisi fisik yang lelah,” ujarnya.
Mengenai adanya sikap kebanyakan orang yang sering menghubungkan kasus kesurupan dengan aspek mistis adalah hak setiap orang untuk mempercayainya. Namun, dampak negatifnya, ketika orang semakin percaya bahwa faktror mistis itulah sebagai penyebabnya maka akan meningkatkan kecemasan dan memperkuat ketakutan.
“Sehingga kecenderungan terjadinya kesurupan massal justru meningkat. Dalam pandangam saya, lebih baik kita cari akar masalahnya. Aapabila yang menjadi faktor penyebabnya adalah stres individu, maka yang dibutuhkan adalah konseling dan pendampingan serta penguatan psikososial. Bila yang menjadi faktor penyebab adalah suasana sekolah yang memungkinkan berpotensi mengakibatkan stres bagi siswa, maka sistemnya harus diperbaiki,” paparnya.
Sambung dia, inti solusi yang sebenarnya adalah meningkatkan ketahanan mental seseorang agar tidak mudah mengalami stres. Kesurupan massal terjadi sebenarnya disebabkan faktor sugesti. Orang atau siswa lain yang menyusul mengalami kesurupan disebabkan karena tersugesti mereka yang kesurupan lebih awal.
Ulasnya, cara melawan sugesti yakni dengan sugesti itu sendiri. Apabila di sekolah ada siswa yang mengalami kesurupan, maka cara penanganan pertama sesegera mungkin adalah melakukan isolasi terhadap siswa tersebut agar orang atau siswa lain secara tidak sengaja tersugesti.
Berdasar pengalaman, dr. Ida mencontohkan, pernah dirinya menangani kesurupan massal di sebuah sekolah. Ia diundang setelah berulang kali di sekolah tersebut terjadi kesurupan massal. Bersama tokoh religius sekaligus spiritual ia menghadapi sekitar 15-20-an siswa tergeletak, mengalami reaksi yang menunjukkan kesurupan.
“Di depan saya bergeletakan puluhan siswa remaja putri, tidak ada satupun yang laki-laki. Kemudian kami isolasi yang kesurupan. Lantas bersama tokoh saya bereksperimen, kami biarkan dan hanya mengamati saja mereka yang kesurupan, setelah beberapa saat mereka pulih sendiri,” urai Ida.
Setelah dilakukan pendalaman, mereka yang kesurupan memang memiliki karakter kepribadian yang lemah. Dari beberapa kasus yang ditangani baik di sekolah maupun tempat tinggal siswa. Ia lantas memberikan penjelasan agar mengupayakan terciptanya suasana kondusif di rumah atau sekolah, dengan begitu fenomena kesurupan terbukti mereda.
Peran sekolah (guru) dan orang tua penting untuk bersikap kooperatif. Dari Focus Group Discussion (FGD) bersama dengan guru dan orang tua yang anaknya mengalami kesurupan, memang sebagian besar terbukti bahwa anak yang kesurupan itu memiliki karakter kepribadian yang belum matang atau ada latar belakang problem keluarga. (Kandar)