Menafsir Kartini dalam Secangkir Kopi

oleh -84 Dilihat
oleh
Kartini
Perempuan-perempuan Gunungkidul di pasar tradisional. (Wahyu Widayat)

GUNUNGKIDUL, (KH),— Kartini dan gagasan-gagasannya memperoleh tempat dan kemudian dimaknai sebagai bentuk emansipasi di masa kini. Tentu saja ini didukung oleh konteks Politik Etis, van Deventer kala itu.

Kartini, perempuan multidimensi. Ia bisa didekati dari sudut pandang pendidikan, tradisi menulis, intelektualitas, budaya Jawa, patriarki, agama dan bahkan kesukaannya untuk difoto. Ia memiliki pesona karena spektrumnya yg luas, terlebih karena ia berada di pusat kuasa.

Benarkah Kartini memang memiliki motif tentang kesamaan hak dan emansipasi? Mungkin saja demikian. Tetapi bisa jadi tidak. Kartini nampaknya justru ingin menunjukkan keinginannya menjadi “wanita utama” seperti yang ditunjukkan dalam berbagai serat yg ditulis pujangga Jawa.

Menjadi wanita utama pertama-tama bukan untuk melawan dominasi laki-laki. Menjadi wanita utama adalah tujuan sejati perempuan Jawa. Sedangkan kesetaraan “hanyalah” dampak yg dikontekstualisasikan dalam teori gender dan feminisme.

Terlebih sesungguhnya frase “wanita utama” lebih kita kenal dalam serat para pujangga Jawa, jauh sebelum perspektif gender marak menjadi diskursus saat ini. Karenanya, jika dalam surat-suratnya menyinggung soal laki-laki, bisa jadi itu bukan bentuk perlawanan atau bahkan pemberontakan melainkan keinginannya untuk menjadi wanita utama yg sejati.

Disebut sebagai wanita utama manakala kita berani mandiri untuk belajar organisasi, mengasah otak, spiritualitas, ekonomi, sosial budaya, politik dan sebagainya. Dengan cara inilah wanita akan memperoleh kuasa dan kebijaksanaan tanpa perlu diperbandingkan dengan laki-laki.

Hal sederhana dan perlu disadari sejak dini bahwa soal tubuh, gaya berpakaian dan berdandan adalah hak masing-masing perempuan. Tak seorangpun memiliki hak unt mendikte dan mengaturnya.

Perempuan punya tempat yg khas dan unik, tanpa perlu diperbandingkan dengan laki-laki. Konstruksi sosial terkadang tidak adil karena paradigma yg kita gunakan bias dengan teori gender.

Akhir kata, sangat disadari tulisan ini terlampau sederhana dan subyektif. Kopi kita memang beda, demikian juga ukuran kenikmatan yg kita cecap. Setidaknya kita tetap bisa untuk ngopi bareng kan? ***

[Wahyu Widayat]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar