GUNUNGKIDUL, (KH),– Polemik di destinasi wisata Gua Pindul di Kalurahan Bejiharjo, Kapanewon Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul kembali muncul. Operator mengeluhkan harga tiket pemanduan yang dibanting. Turun jauh dari harga yang disepakati sebelumnya.
Sebagaimana diketahui, ada 9 hingga 11 operator atau kelompok pemandu susur Gua Pindul. Mereka sejak beberapa tahun terakhir menurunkan harga tiket jasa pemanduan susur gua.
Koordinator Dewa Bejo, Subagyo mengakui, sebagai salah satu kelompok pemandu, tak mampu mempertahankan harga tiket pemanduan senilai Rp40 ribu. Sebab, jika kukuh, mereka tak dapat tamu.
“Karena yang lain menerima tamu dengan harga tiket yang masuk kantor operator Rp15 ribu hingga Rp20 ribu saja,” kata dia saat ditemui Rabu (11/1/2023).
Sementara itu, dari nominal tersebut harus masuk ke BUMDes Rp5 ribu untuk tiap tamu atau wisatawan. Dengan begitu, operator merasa kesulitan membagi pendapatan dari nominal harga tiket. Diantaranya untuk diserahkan ke pemandu atau anggota kelompok dan pemasukan atau perasional yang dikelola pula oleh kelompok tersebut.
“Kalau Rp40 ribu artinya ada Rp35 yang bisa dan layak dibagi ke pemandu dan ke kantor (operator). Kalau tiket Rp15.000 kan tinggal Rp10 ribu,” ujarnya mengeluh.
Ia menyebut, dulu harga bisa stabil. Namun belakangan banting harga makin tak terkendali.
Atas persoalan itu, dia dan kelompok operator meminta BUMDes harus melakukan evaluasi. Dari usulan atau kritik saat pertemuan rutin selama ini dinilai tak pernah digubris.
“Pengawasan ketat tidak dilakukan. Bahkan dibiarkan saja,” seloroh Subagyo lagi.
Dia mengungkap, faktor utama yang menyebabkan terjadinya banting harga tiket itu terjadi karena semata agar operator memperoleh tamu. Ada semacam berebut tamu dengan perang harga murah. Terlebih dengan kondisi belakangan ini. Di mana jumlah pengunjung cenderung turun.
Keluhan yang dianggap tak diperhatikan, sampai pada puncakya. Senin (2/1/2023) lalu operator-operator pemandu mengembalikan tiket ke BUMDes.
Usai dilakukan rapat pada Selasa (10/1/2023) lalu, tiket kembali diambil atau dikembalikan lagi ke 9 operator.
“Tiket itukan milik BUMDes, sempat kami kembalikan karena kami keberatan memenuhi setoran Rp5 ribu. Dengan kenyataan harga di lapangan sekarang, mestinya ada penyesuaian, berapa yang pantas masuk BUMDes perlu evaluasi,” tandasnya.
Ketua BUMDes Maju Mandiri, Saryanto merasa heran dengan munculnya polemik tersebut. Sebab, dia menilai itu persoalan yang timbul dan ada di lingkup pengurus operator.
Bahkan dia sangat yakin, meski operator mengaku menjual tikel Rp15 ribu, tiket yang harus dibayar oleh wisatawan itu nialinya tetap sesuai kesepakatan awal. Yakni Rp40 ribu.
“Lalu uangnya lari kemana? dugaan kami ada deal-deal, diantaranya marketing di bawah koordinasi ketua operator dan agen tour travel,” tegas dia.
Saryanto menilai, wajar saja ada sharing fee dalam pelayanan jasa wisata. Itu hal biasa. Hanya saja, jika tidak ada komitmen bersama, kepatuhan terhadap kesepakatan serta keterbukaan, termasuk kesamaan besaran fee, persoalan pada pelayanan Gua Pindul akan selalu ada.
Pihaknya mengaku kesulitan melakukan pembuktian terkait dugaan itu. Sebab, minim keterbukaan.
“Kami belum tahu pasti, kalau yang disetor ke kantor operator hanya Rp15 ribu, sementara harusnya Rp40 ribu, itu uangnya ke mana?” Rentetannya kan jelas, ada di antara tour travel dan marketing masing-masing operator. Marketing itu kan ‘orangnya’ kelompok operator juga. Mestinya ketuanya tegas,” beber Saryanto.
Mengenai Rp5 ribu yang diterima BUMDes, ia jelaskan, akan disatukan dengan hasil unit usaha lain yang dikelola. Khusus dari hasil layanan jasa wisata Gua Pindul, sesuai pajak hiburan, 10 persennya akan disetor sebagai pajak daerah.
“Kemudian pemasukan dari jasa wisata Gua pindul, setelah disatukan dengan hasil unit usaha lain, 60 persen dari keuntungan yang terkumpul tiap tahun masuk ke Pendapatan Aseli Desa (PAD),” terang dia.
Desa lantas sesuai kewenangannya akan mengembalikan ke masyarakat dalam bentuk program. Tentu saja agar hasil dari Gua Pindul dan unit-unit usaha lain di wilayah Bejiharjo bisa merata dirasakan oleh masyarakat. Tidak dinikmati segelintir orang saja, misalnya yang menjadi pelaku usaha jasa wisata.
BUMDes saat ini tengah menyiapkan konsep pengelolaan tiket jasa pemanduan Gua Pindul. Satu-satunya skema yang menjadi kunci solusi yakni dengan model e-ticketing.
Dengan konsep itu, Saryanto yakin tidak akan ada lagi keluhan banting-banting harga. Dana tiket masuk ke rekening BUMDes, lalu akan diserahkan ke operator sesuai kuantitas layanan yang dilakukan masing-masing operator. Fee dengan jumlah sama dan tetap sesuai yang disepakati akan diserahkan ke pihak yang berhak, baik tour travel dan marketing.
“Sistem sudah siap, alat juga siap. Tinggal nanti kesepakatan operator. Saat ini ada yang sudah setuju dan ada yang belum. Transformasi ke digitalisasi ini jelas lebih efektif dan transparan,” tukas dia. (Kandar)