PLAYEN, (KH),– Perjuangan menyambung hidup yang dilakukan Paidi (46), warga Padukuhan Sumberejo, Kalurahan Ngawu, Kapanewon Playen, Gunungkidul harus berakhir. Paidi meninggal dunia pada Kamis (8/7/2021) lalu.
Pria yang kesehariannya bekerja sebagai tukang parkir dan serabutan ini meninggal dunia setelah mengalami sesak nafas dan tidak berhasil mendapatkan pertolongan oksigen.
Paidi mengalami gagal ginjal sejak 9 tahun lalu. Penyakit ini akhirnya membawa Paidi harus menjadi pasien Hemodialisa dan harus rutin untuk cuci darah seminggu dua kali di RSUD Wonosari.
Cerita perjuangan Paidi dan istrinya mencari oksigen, berawal saat tanggal 4 Juli 2021 lalu. Saat itu Paidi harus melakukan cuci darah rutin. Pada masa Pandemi ini, jika akan cuci darah maka pasien harus melakukan test Swab dulu di Puskesmas.
“Waktu itu, saya memang tidak bisa mengantar suami, karena saya rewang di acara hajatan tetangga, dan biasanya suami saya juga sering berangkat sendiri saat cuci darah,” ujar Supraptini (48), suami dari Paidi, saat dihubungi pada Rabu (13/7/2021).
Sambil terisak sedih, Supraptini menceritakan bagaimana beratnya perjuangan bersama suaminya mencari pertolongan untuk mendapat oksigen.
“Malam sebelum meninggal, saya dengan suami naik motor keliling mencari Oksigen, tapi tidak berhasil mendapatkan, dimana-mana kosong,” ujar Supraptini masih dengan nada sedih.
Supraptini menceritakan, tanggal 4 Juli 2021, sebelum berangkat untuk cuci darah ke RSUD Wonosari, hasil test Swab suaminya di Puskesmas negatif.
“Cerita suami saya waktu itu, meski hasilnya negatif, pihak Puskesmas Playen I, menganjurkan untuk isolasi mandiri bagi suami saya selama 10 hari, namun demikian, karena jadwal cuci darah sudah tiba, keesokan harinya suami saya nekad untuk berangkat cuci darah ke RSUD,” lanjut Supraptini.
Supraptini melanjutkan, sore harinya ketika pulang dari RSUD untuk cuci darah, Kepala Dukuh Sumberejo mendatangi kediamannya. Pak Dukuh tersebut mengatakan jika suaminya positif Covid19 dan diminta untuk isolasi mandiri di rumah.
“Anehnya pernyataan jika suami saya positif tersebut hanya disampaikan secara lisan dan tidak ada bukti tertulis,” imbuh Supraptini.
Mulai saat itu, Paidi akhirnya harus melakukan isolasi mandiri di rumah. Pada posisi isolasi ini membuat Paidi stres karena tidak bisa bekerja lagi.
“Suami saya khawatir pendapatannya sebagai tukang parkir akan hilang jika harus menjalani isolasi mandiri, padahal waktu itu sehabis cuci darah suami saya sehat,” lanjutnya.
Menjalani isolasi mandiri pada hari ketiga yaitu hari Minggu, Paidi mulai merasakan sesak nafas, dan kebetulan tabung oksigen kecil yang mereka punyai dalam keadaan kosong.
Kelangkaan oksigen di Gunungkidul pada waktu itu memang sedang terjadi. Saat itu angka terpapar Covid19 tinggi, sehingga oksigen menjadi barang yang banyak dicari masyarakat.
“Saya ke Puskesmas, namun disana Oksigen juga kosong. Akhirnya saya boncengkan suami saya, naik motor ke RSUD agar bisa mendapat Oksigen,” sambung dia.
Namun saat sampai ke RSUD, Supraptini dan suaminya mendapat kenyataan bawa IGD penuh dengan pasien dan tidak bisa menerima pasien baru. Dengan terpaksa akhirnya mereka balik dan memutuskan untuk keiling mencari Oksigen.
“Dengan naik motor, kami keliling mencari Oksigen sampai tengah malam, tapi tidak berhasil, semuanya kosong,” kenangnya.
Setelah tengah malam, Supraptini memutuskan pulang dan memerintahkan anaknya untuk mencari oksigen.
“Malam itu, anak saya ke Yogya untuk mencari oksigen, tapi meski sudah keliling Kota Yogyakarta, namun anak saya pulang dengan tangan hampa. Ddan paginya, suami saya sudah meninggal dunia dalam posisi terduduk,” kenang Supraptini sambil terisak.
Senin pagi, beberapa saat setelah suaminya meninggal, ada petugas Puskesmas yang datang ke rumahnya. Petugas tersebut bermaksud mengantar Paidi ke RSUD Wonosari untuk melakukan cuci darah.
“Petugas Puskesmas belum mengetahui kalau suami saya telah meninggal dunia, kebetulan jadwal cuci darah suami saya itu Senin dan Kamis,” lanjutnya.
Pengakuan Supraptini, saat suaminya mulai sesak nafas, dia sudah berusaha menghubungi pihak Puskesmas Playen. Namun pihak Puskesmas Playen menyatakan jika sesak nafas yang dialami oleh Paidi hanya sesak nafas biasa seperti yang banyak terjadi pada pasien hemodialisa menjelang cuci darah.
“Selama isolasi mandiri, kami memang sudah mendapat bantuan dari Satgas Penanganan Covid19, ada kiriman bahan makanan dari Kalurahan,” tuturnya.
Slamet Widodo (38), teman sekaligus tetangga Paidi membenarkan cerita dari Supraptini, Slamet mengaku ditelepon oleh Suprapatini dimintai tolong untuk mencarikan oksigen karena keadaan Paidi semakin mengkhawatirkan.
“Mbak Tini telpon saya dengan panik, saya dan teman-teman sudah berupaya ikut mencarikan oksigen, tapi dimana-mana kosong,” cerita Slamet.
Akhirnya Slamet dan teman-temannya berinisiatif untuk menggalang dana sukarela untuk membantu keluarga Paidi.
“Tidak banyak yang bisa kami kumpulkan, tapi sebelum kami serahkan, Paidi sudah meninggal. Dana kami serahkan pas hari pemakaman, semoga sedikit bisa membantu. Almarhum orangnya baik, dan “enthengan” kepada semua teman,” pungkas Slamet.
Sementara itiu Direktur RSUD Wonosari, Dr. Heru Sulistyowati mengakui terkait melonjaknya jumlah pasien Covid19 menyebabkan IGD di rumah sakit Wonosari memang sering penuh.
“Selain IGD penuh, kapasitas tempat tidur perawatan pasien Covid19 juga sangat terbatas, tapi walau demikian, layanan terhadap pasien umum tetap dilaksanakan,” terang Dr. Heru.
Dr. Heru melanjutkan, terkait pelayanan pasien Hemodialisa, pihaknya melayani pasien cuci darah yang sudah terdaftar secara rutin di RSUD Wonosari.
“Kami ada 18 alat cuci darah dan bisa difungsikan semua,” pungkasnya. (Edi Padmo)