WONOSARI, (KH),– Gunung Wijil, terletak di Dusun Gari, Kalurahan Gari, Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Gunung Wijil dulunya merupakan sebuah gunung batu yang banyak di tumbuhi oleh pohon Pule dan sebuah pohon Joho raksasa. Gunung Wijil/ Argo Wijil mempunyai sebuah cerita mitos yang melegenda yaitu sebagai rumah gerombolan Ajak atau Anjing hutan setengah siluman. Jika di ganggu, gerombolan Ajak ini akan menyerang dan menghisap darah hewan-hewan ternak peliharaan orang yang mengganggunya.
Karena kepentingan ekonomi masyarakat sekitar, Gunung Wijil ditambang dan diambil batunya. “Mulai ditambang sekitar tahun 1970-an. Mendekati tahun 90an, Gunung Wijil batunya habis, sudah rata,” Cerita Mbah Tugiyo (70). Mbah Tugiyo merupakan warga Dusun Gari, yang menjadi saksi hidup perkembangan jaman Argo Wijil.
Setelah ditambang, lahan bekas Argo Wijil beberapa puluh tahun dibiarkan tak terurus dan tidak bisa di manfaatkan. Ditumbuhi belukar, dan jarang dijamah orang. Keangkeran Gunung Wijil mulai luntur bersama cerita Ajak penunggunya yang konon sudah berpindah tempat.
Adalah Septian Nurmansyah (26), seorang anak muda Dusun Gari yang mulai memikirkan tentang nasib Gunung Wijil. Kebetulan rumah Septian berdekatan dengan lokasi bekas tambang batu Gunung Wijil.
“Pada tahun 90an, saya masih ingat ketika warga menebang pohon Joho besar di lokasi ini,” ujar Septian sambil menunjukkan bekas keberadaan pohon Joho yang sekarang didekatnya dibangun sebuah Mushola. “Tahun 2016, kami mendapat ide untuk memanfaatkan bekas tambang tak terurus ini menjadi sebuah pasar ,” cerita Septian.
Di tahun 2016 itu, Septian dan Karang Taruna berhasil mendapatkan sebuah program dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Program dari KLHK ini berupa reklamasi lahan pasca tambang, dan Argo wijil dinilai masuk dalam kategori program. Maka di tahun 2016 itu mulailah dibangun rintisan awal Pasar Ekologis Argo Wijil. “Alhamdulillah, sejak di resmikan tanggal 18 April 2017, sampai saat ini perkembangan Pasar lumayan naik grafiknya,” tutur Septian.
Septian bercerita, sebelum Pandemi, kegiatan Pasar Ekologis Argo Wijil ramai dikunjungi masyarakat ketika hari Minggu pagi. Karena, setiap Minggu, pengelola selalu mengadakan event kegiatan di tempat ini. Entah pertunjukan, live musik, senam atau yang lain. “Di hari ramai, pengunjung bisa mencapai sekitaran 500 sampai 1000 orang, bahkan bisa lebih, omzet rata rata pedagang bisa mencapai Rp 800 ribu sampai satu juta, dengan estimasi keuntungan sekitar 40 persen dari omzet,” ungkap Septian.
Saat ini ada 50 pedagang yang buka lapak di los pasar Argowijil. 15 pedagang diantaranya buka dagangannya dari sore hingga malam hari. Kuliner masih menjadi komoditi paling umum, mulai dari Bakmi, Angkringan, Nasi Pecel dan lain-lain.
Minggu, (2/1/2021), saat Kabar Handayani berkunjung ke Pasar Ekologis Argowijil, pengelola sedang menggelar sebuh kegiatan. Tampak puluhan Bonsai yang di pajang terjajar rapi di samping los pasar. Tampak pula puluhan pengunjung dengan serius berkeliling melihat Bonsai yang dipajang.
“Kegiatan ini kami buka Sabtu kemarin, dan ditutup Minggu,” ujar Sumarno (52). Sumarno merupakah tokoh penggagas sekaligus ketua event pameran Bonsai khusus Kalurahan Gari. Sumarno bercerita bahwa awal ide kegiatan Pameran Bonsai ini berangkat dari keprihatinan kelesuan ekonomi di masa Pandemi.
“Ada puluhan penggemar Bonsai di Kalurahan Gari, dan dua minggu lalu, pasca Pilkada, kami merancang event ini,” cerita Sumarno.
Selain penggemar bonsai, Sumarno dikenal sebagai seorang dalang, dengan nama panggung Ki Sumarno Purbo Carito. “Alhamdulillah, walau sederhana dan seadanya, ternyata sambutan publik sangat meriah, dalam dua hari masuk omset penjualan sekitar 15 juta,” lanjutnya.
Dari cerita Sumarno, ada satu bonsai jenis Serut (Streblus Asper), milik peserta yang terjual seharga Rp 2, 5 juta.
Melihat antusiasme pengunjung pameran Bonsai yang lumayan ini, Septian dan pengelola Pasar Argo wijil ke depan akan segera memprogramkan event ini secara berkala.
“Agenda ini ke depan sangat bagus, dan karena pengelolaan Pasar ini masuk dalam BUMDES, maka besok kita bahas di-Program BUMDES,” imbuh Septian.
Apa yang telah diinisiasi dan diperjuangkan oleh Septian dan Karang Taruna Kalurahan Gari memang patut diapresiasi. Seperti diketahui bersama, bahwa reklamasi lahan pasca tambang, akhir-akhir ini menjadi sebuah persoalan baru di Gunungkidul. Dimana memang banyak lahan yang terbengkelai dan tidak bisa di manfaatkan lagi
“Prinsip kami, apapun program ke depan harus bisa mengakomodir kepentingan dan pengembangan ekonomi masyarakat sekitar,” tandas Septian. [Edi Padmo]