Penulis: J Yanuwidiasta.
KABARHANDAYANI,– Puluhan telaga di Gunungkidul telah diperbaiki oleh pemerintah. Entah itu dengan dicor beton di sekelilingnya, dibuat talud pasangan batu, dipasangi lembaran geoteksil pada sekujur badan danau, juga diberi pintu air agar air mengalir rapi ketika membludag di musim hujan, dan lain sebagainya. Namun sayang, beberapa telaga tersebut justru malah lebih cepat kering kerontang tatkala musim kemarau datang.
Mengapa proyek-proyek perbaikan atau revitalisasi telaga dengan semenisasi, betonisasi, sampai aplikasi teknologi modern geotekstil itu tidak mampu menahan laju keringnya danau. Pandangan umum ada yang mengatakan, itu karena mutu konstruksinya kurang bagus, terlalu banyak anggaran yang dikorupsi. Tak jarang ada yang beranggapan, itu karena Sang Dhanyang penunggu marah, lantas pergi sembari mengutuk telaga menjadi cepat kering. Benarkah demikian?
Telaga adalah kawan baik yang dekat di hati masyarakat Gunungkidul, terkhusus pada wilayah yang kesulitan mendapatkan pasokan air baku dari sumur atau jaringan PDAM. Telaga adalah tabungan air komunal yang disediakan alam. Air telaga akan dipanen secara gratis tatkala sediaan air pada bak penampung air pada setiap rumah tangga sudah habis.
Daripada menggerutu, ada baiknya memahami pernyataan simpel yang berkembang di masyarakat, “Sang Dhanyang penunggu telaga sudah marah dan pergi”. Memaknai bungkus mistis tersebut dengan melihat filosofi teknis konsep ekologi-hidraulik atau ekologi-hidrologi. Seperti apa konsep teknis tersebut? Jangan kemana-mana, ikuti penjelasan lanjut di web www.kabarhandayani.com.
Menurut Agus Maryanto dan Edi Nugroho Santoso (2006), upaya revitalisasi danau, telaga, atau situ dalam kaitannya dengan memanen air hujan sebaiknya dilakukan dengan konsep ekologi-hidraulik atau ekologi-hidrologi. Konsep ekologi-hidrologi diartikan sebagai upaya memperbaiki dan menyehatkan seluruh komponen ekologi (flora-fauna) dan hidraulik-hidrologi (sistem keairan) sebagai penyusun danau, telaga, atau situ yang bersangkutan, sehingga dapat berfungsi menampung air yang dapat digunakan untuk keperluan air bersih masyarakat, meresapkan air hujan untuk pengisian air tanah, dan dapat berkembang menjadi wilayah ekosistem wilayah danau, situ dan telaga yang hidup dan lestari.
Dasar filosofi pengelolaan danau atau telaga termasuk juga situ secara ekologi-hidraulik adalah berorientasi pada danau alami yang ada. Artinya, dalam pengelolaannya berangkat dari danau alami, bukan berangkat dari filosofi reservoir atau kolam tandon bangunan teknik sipil-hidro. Segala kondisi yang ditemui pada danau, telaga atau situ alamiah diadopsi dan diterapkan pada telaga, danau atau situ yang direvitalisasi. Intinya adalah mengembalikan kondisi alamiah danau, telaga atau situ yang bersangkutan.
Danau atau telaga alami memenuhi kondisi ekologi hidraulik yaitu daerah tangkapan airnya bagus, komposisi dan heterogenitas tanamannya lengkap, belum ada penggundulan hutan dan sistem tata air dan drainasenya masih alamiah; tumbuh vegetasi dan pohon-pohon besar yang melingkari danau atau telaga pada zona amphibi dan daratan (sempadan danau atau telaga) yang cukup rapat. Pohon dan vegetasi melingkar ini, secara umum dapat dibedakan menjadi tiga ring.
Ring pertama pada umumnya ditumbuhi pohon-pohon besar yang biasa ada di daerah yang bersangkutan (misalnya pohon ringin atau ingas di daerah Jawa). Ring kedua dipenuhi dengan pohon-pohon yang lebih kecil dan relatif kurang rapat dibanding dengan ring pertama. Ring ketiga atau ring luar berbatasan dengan daerah luar telaga, dengan tingkat kerapatan tanaman lebih jarang.
Jika kondisi vegetasi di sekeliling danau atau telaga ini punah, maka dapat dipastikan bahwa umur telaga akan memendek. Ini disebabkan oleh tingkat penguapan dan suhu yang tinggi maupun tingkat sedimentasi yang tinggi tatkala musim penghujan. Hembusan angin kering di musim kemarau pada telaga yang tidak dikelilingi oleh vegetasi juga menjadi pemercepat berkurangnya air yang tertampung di telaga.
Kondisi umum yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini adalah banyak sekali danau, telaga dan situ yang rusak karena pendangkalan oleh sedimen, pengurugan untuk dijadikan areal perumahan atau permukiman, direlokasi untuk ditukar guling, dijadikan tempat timbunan sampah, dialihfungsikan sebagai areal pertanian, dan lain-lain. Perkembangan seperti ini sejatinya akan menghilangkan manfaat secara drastis danau, situ dan telaga.
Untuk wilayah Gunungkidul, yang perlu diingat oleh semua pihak adalah wilayah ini merupakan kawasan karst. Komponen utama pembentuk kawasan kart adalah batuan gamping (limestone). Batuan gamping, entah dalam bentuk perbukitan masif padat, juga butiran-butiran batuan gamping yang bercampur dengan tanah permukaan, atau juga batuan gamping masif di dalam perut bumi.
Sifat utama batuan gamping adalah tingginya porositas atau mudahnya air dapat meresap dalam batuan gamping turun ke lapisan di bawahnya. Itulah mengapa tidak mudah mendapatkan air permukaan di Gunungkidul karena karakteristik tanah dan batuan yang porous tersebut. Tetapi di dalam perut bumi Gunungkidul terkandung muatan air yang besar.
Ketika proyek perbaikan telaga di Gunungkidul dilakukan, entah itu dengan mengeruk agar kapasitas tampungan telaga lebih besar, maka sejatinya sedang dilakukan penghilangan lapisan tanah bercampur batuan (baca: lendhut), yang sebenarnya berfungsi sebagai penghambat meresapnya air telaga ke dalam lapisan tanah dan batuan yang porous tersebut. Tidak jarang di kawasan karst juga sering dijumpai adanya lubang-lubang yang disebut ponour ketika lapisan lendhut pada telaga itu dibuang. Itulah mengapa telaga justru menjadi lebih cepat kering.
Beberapa tahun terakhir dijumpai proyek revitalisasi telaga dengan memanfaatkan lembaran geotekstil atau sering disebut geomembrane, seperti aplikasi di Embung Nglanggeran dan salah satu telaga di daerah Rongkop. Pemanfaatan teknologi ini baik adanya, tetapi yang perlu disadari adalah geotekstil juga memiliki umur konstruksi dan memiliki kerentanan bisa sobek bila terkena perlakuan baik yang disengaja atau tidak disengaja.
Oleh karena itu, upaya revitalisasi dengan konsep ekologi-hidrologi tetaplah perlu diupayakan dan menjadi kesadaran semua pihak. Penanaman pohon di sekitar telaga dengan pembagian ring 1, ring 2, dan ring 3 sebagaimana penjelasan tersebut di atas perlu menjadi perhatian serius untuk selalu dilaksanakan dan dijaga agar lestari. Aspek kecepatan penguapan air telaga karena faktor suhu, penyinaran matahari, dan juga hembusan angin dalam siklus hidrologi telah sering diabaikan sebagai penyebab keringnya telaga sebelum waktunya.
Hal lainnya yang tak kalah penting adalah persepsi masyarakat yang perlu diubah. Membangun, merevitalisasi proyek telaga sering dipandang sukses hanya apabila cor-coran beton atau pasangan batunya bagus, kokoh, lurus, enak dipandang mata saja. Telaga dipandang akan bagus bila sekaligus menjadi tempat wisata dan menjadi spot berfoto-ria dengan latar pemandangan yang luas.
Karena itu ada yang beranggapan jangan sampai di sekitar danau ditanami vegetasi atau pepohonan karena akan mengganggu kegiatan wisata dan fotografi yang digemari masyarakat. Justru di titik inilah sebenarnya awal kerusakan ekologi-hidrologi. Apa artinya foto-foto indah dan cantik, tetapi telaga atau danau atau embung itu kehilangan relevansi fungsi ekologi-hidrologinya? Kebutuhan air tentunya tidak bisa ditukar dengan foto pemandangan yang cantik dan indah.
Bacaan lanjut:
1) Agus Maryono dan Edy Nugroho Santoso (2006), Metode Memanen dan Memanfaatkan Air Hujan untuk Penyediaan Air Bersih, Mencegah Banjir dan Kekeringan. Jakarta: Kementerian Lingkungan Hidup.
2) Syahrul Polontalo, http://bebasbanjir2025.wordpress.com/