GUNUNGKIDUL, (KH),– Sosro Warsito kecil merupakan seorang anak yang memiliki kecintaan terhadap seni musik tradisional, khususnya gamelan. Beranjak dewasa, dia banyak menghabiskan masa mudanya dengan belajar serta pentas Karawitan.
Dia acap kali memainkan Kendang, Bonang, serta Gambang. Ia tumbuh besar di Kalurahan Semanu, Kapanewon Semanu, Gunungkidul dimana budaya Jawa begitu kental. Hingga kini, Sosro masih aktif bersama group karawitan Muda Wirama di desanya.
Kehidupan lelaki yang kini beruia 80-an tahun ini tak hanya dipenuhi oleh alunan gamelan. Bersama istrinya, Surami, mereka cukup sibuk menggeluti usaha pembuatan kerajinan Blangkon. Yakni, penutup kepala tradisional budaya adat Jawa.
“Pembuatan blangkon sebetulnya dimulai dari kesempatan tak terduga. Pada tahun 1969, oleh kelompok karawitan saya diminta memesan Blangkon ke pengrajin di wilayah Piyaman, Wonosari. Di Piyaman ada seorang pengrajin Blangkon bernama Kasan Dayat,” tuturya belum lama ini saat ditemui di kediamannya.
Sosro lantas punya ide untuk belajar membuat Blangkon ke Kasan Dayat. Permintaan secara terbuka kemudian disampaikan. Sekalipun dirinya agak ragu, sebab uangnya belum tentu cukup untuk membayar biaya belajar di tempat Kasan Dayat. Tak terduga, pengrajin tempatnya memesan justru berharap agar Sosro segera berlatih dan membatu. Alih-alih membayar, Sosro justru mendapat upah dikemudian hari.
Disela belajar atau ‘nyantrik’, tak melulu Sosro bergelut dengan peralatan dan bahan-bahan Blangkon. Tidak jarang dia juga mencari pakan ternak bagi sapi dan kambing milik Kasan Dayat. Dia benar-benar memposisikan diri sebagai murid yang patuh dan pengertian kepada gurunya.
Berkat ketekunan, selama setahun belajar Sosro dianggap mumpuni membuat Blangkon. Dia lantas diangkat sebagai pegawai di tempat Kasan Dayat. Pesanan sebuah toko yang ada di Wonosari kerap kali membuatnya kewalahan. Di tengah menyelesaikan pesanan, Kasan Dayat meminta Sosro meneruskan usahanya. Kasan Dayat meminta agar semua peralatan, termasuk mesin jahit manual agar diboyong ke Semanu di kediaman Sosro. Rupanya, kesehatan Kasan Dayat kian hari kian memburuk lantas menghembuskan nafas terakhir.
“Tahun 1970 saya mulai melayani pesanan pembuatan Blangkon sendiri,” ujarnya.
Pesanan demi pesanan mengalir deras. Pada tahun 1999, istrinya pelan-pelan lantas terlibat membantu menyelesaikan pesanan. Perempuan yang kini berusia 60 tahun ini mengambil pekerjaan memotong dan menjahit bahan kain.
Permintaan yang datang bsecara ersamaan membuat Sosro kerepotan. Sosro pun melibatkan warga sekitar pada proses tertentu. Setidaknya, ada 4 warga terkadang bekerja dalam waktu yang sama saat permintaan naik signifikan.
Ayah dari Naila Kusumastuti ini cukup telaten membuat Blangkon. Ketelatenan dan kesabaran menghasilkan Blangkon yang nyaman dan presisi saat dipakai. Tak pelak permintaan dari berbagai daerah bermunculan. Tak hanya dari kota -kota besar di Jawa, pesanan bahkan datang dari Bali hingga Lampung. Yang bikin heran, warga Arab Saudi pun pernah memesan Blangkon berwarna putih dari Sosro.
Sosro agak trenyuh tat kala menyadari tak ada orang sekitar, lebih- lebih generasi muda yang bersedia belajar membuat Blangkon. Barangkali karena pekerjaannya rumit, butuh kesabaran serta keuletan.
“Kebanyakan sepertinya suka pekerjaan yang simpel dan segera meneruma bayar. Membuat Blangkon ini rumit, harus pelan-pelan dan sabar,” sambung Sasro.
Proses pembuatan butuh ketelitian yang serius, terutama ketika harus menata motif pada bagian samping atau pucuk blangkon, melipat kain atau yang disebut “miru” benar-benar harus pelan-pelan. Miru adalah bagian paling rumit dari pembuatan blangkon. Si pembuat harus melipat kain dengan 15 hingga 17 lipatan yang presisi dan rapi. Setelah proses menjahit selesai, proses selanjutnya adalah pengeringan lalu di-set sesuai ukuran kepala pelanggan.
Dengan proses yang rumit, harga Rp100.000 untuk tiap Blangkon dengan bahan standar merupakan nilai yang murah. Memang, sengaja Blangkon buatannya tidak dipatok mahal. Sebab, dia punya prinsip, sekalipun murah, harapannya pesanan tak pernah berhenti.
Permintaan biasanya meningkat pada waktu-waktu tertentu seperti hari jadi desa hingga kabupaten, perayaan 17 Agustus, serta saat ramai penyelenggaraan tradisi Rasulan.
Sosro selalu menyertai tiap unit Blangkon yang laku dengan tempat penyimpanan khusus berupa Sipan Plonco. Tempat menyerupai kepala botak itu guna memajang atau menaruh Blangkon agar awet.
Oleh karena keterampilannya dalam pembuatan Blangkon, Sosro juga pernah diminta untuk mengisi pelatihan membuat Blangkon. Kegiatan yang difasilitasi pemerintah ini lantas menelurkan pengrajin Blangkon di tempat lain di Gunungkidul.
Usaha Sosro bersama istri juga tidak luput dari tantangan. Dia pernah memenuhi pesanan dari seorang pembeli yang tidak amanah. Suatu ketika ada pesanan Blangkon dalam jumlah besar. Tetapi saat pesanan sudah diserahkan, pemesan tidak membayar. Meski begitu, Sosro dan istrinya tetap menjalankan usaha ini dengan sepenuh hati.
Dalam perjalanan panjangnya, Sosro dan Surami telah berhasil melestarikan tradisi pembuatan Blangkon di tengah tantangan modernisasi. Mereka membuktikan bahwa selama orang Jawa masih ada, Blangkon akan tetap laku dan menjadi simbol kebanggaan budaya yang tak lekang oleh waktu. (Kandar)