Oleh : Hadi Risma Penyuluh Budaya Kemendikbud RI
Secara administratif Petilasan Gedhong Lengis terletak di Desa Balong, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul. Gedhong Lengis terdiri dari dua kata, yakni Gedhong dan Lengis. Dalam bahasa Jawa, Gedhong memiliki arti rumah sedangkan Lengis memiliki arti menangis. Nama Gedhong Lengis untuk petilasan ini memiliki latar sejarah yang cukup panjang.
Dikisahkan pada Abad VIII terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Galuh yang terletak di Jawa Barat (Daerah Kabupaten Ciamis.). Kerajaan diperintah oleh seorang raja yang memiliki dua orang permaisuri, yakni Dewi Naga Ningrum dan Dewi Pangrenyep. Kedua permaisuri tersebut kebetulan hamil secara bersamaan; dan sudah diprediksi oleh para ahli kerajaan, kalau kedua bayi yang akan lahir berjenis kelamin laki-laki semua.
Hal ini kemudian menimbulkan permasalahan tentang siapa pewaris tahta selanjutnya yang akan dinobatkan sebagai putra mahkota. Atas saran penasehat, raja disarankan untuk mengusir salah satu permaisurinya keluar istana, sehingga nanti hanya ada satu permaisuri yang tetap berada di dalam istana.
Sang raja kemudian merancang rencana dan melakukan konspirasi dengan orang-orang di dalam istana. Mereka bersepakat, bahwa cara yang paling ampuh untuk mengusir permaisuri adalah dengan memfitnah. Lantas Dewi Naga Ningrum diisukan melakukan perselingkuhan dengan salah seorang patihnya. Akibat fitnahan tersebut, akhirnya keduanya, yakni Dewi Naga Ningrum dan patih diusir dari istana.
Dewi Naga Ningrum dengan ditemani abdi dalem kerajaan, Saud dan Maserut keluar dari kerajaan. Ketiganya kemudian menuju arah pantai selatan hingga akhirnya sampai di Gunungkidul, tepatnya di daerah Girisubo. Perut Dewi Ningrum sudah semakin membesar, dan akhirnya di situlah Dewi Ningrum melahirkan.
Dewi Naga Ningrum melahirkan bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Joko Mursodo. Dewi Naga Ningrum sendiri kemudian meninggal beberapa saat ketika Joko Mursodo lahir. Oleh Saud dan Muserut bayi tersebut kemudian diasuh hingga tumbuh dewasa. Melalui didikan Saud dan Muserut, Joko Mursodo tumbuh menjadi pemuda yang tangkas dan cerdas. Ketika Joko Mursodo memasuki masa remaja, sudah nampak kalau Ia adalah calon pemimpin.
Suatu saat ketika Joko Mursodo sedang menggembala ternak di dekat pantai, dirinya bertemu dengan seekor ikan yang berukuran raksasa. Konon menurut cerita ikan ini bisa berbicara layaknya manusia; melihat hal tersebut Joko Mursodo ketakutan. Ikan tersebut kemudian berkata kepada Joko Mursodo, kalau kelak ia akan mewarisi tahta kerajaan Galuh. Joko Mursodo sendiri tidak percaya dengan apa yang telah dikatakan ikan tersebut. Ikan raksasa itu kemudian meminta Joko Mursodo untuk menaiki punggungnya, Joko Mursodo menuruti perkataan ikan tersebut dan membawanya ke kerajaan Laut Kidul. Setelah diperlihatkan kerajaan Laut Kidul, barulah Joko Mursodo percaya bahwa dirinya memang kelak akan mewarisi tahta Kerajaan Galuh.
Saud dan Muserut kaget setengah mati mendapati Joko Mursodo tidak berada di tempat pengembalaan. Binatang ternak yang digembala oleh Joko Mursodo juga tidak ada; mereka mengira bahwa Joko Mursodo dan binatang ternaknya telah mati dimakan ikan raksasa yang menghampirinya. Berhari-hari Saud dan Muserut menangisi ketiadaan Joko Mursodo; anak yang mereka didik dari kecil hingga tumbuh dewasa.
Setelah sekian lama berpisah akhirnya Joko Mursodo, Saud dan Muserut bertemu kembali; mereka bertiga menangis haru tersedu-sedu karena bahagia setelah berpisah selama beberapa waktu. Tempat bertemunya Joko Mursodo, Saud, dan Muserut tersebut kemudian dikenal oleh masyarakat dengan Petilasan Gedhong Lengis. Dinamakan Gedhong Lengis karena rumah tersebut menjadi tempat bertemunya Joko Mursodo, Saud dan Muserut dalam keadaan menangis haru bahagia.
Kisah Joko Mursodo kemudian berlanjut. Pada waktu itu tersiar kabar bahwa raja Kerajaan Galuh yang tidak lain adalah ayah dari Joko Mursodo, membuat sebuah sayembara; barang siapa bisa meredam kekacauan dan pertikaian yang berada di dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Galuh, maka ia akan dijadikan raja selanjutnya. Sayembara tersebut dibuat karena beberapa tahun setelah Dewi Naga Ningrum diusir dari kerajaan, banyak sekali keributan dan kekacauan yang terjadi di wilayah Kerajaan Galuh.
Joko Mursodo diyakinkan oleh kedua pengasuhnya yakni Saud dan Muserut, bahwa Ia pasti bisa memenangkan sayembara tersebut. Akhirnya dengan keteguhan hati Joko Mursodo berangkat ke Tanah Sunda untuk mengikuti sayembara tersebut. Salah satu tantangan terbesar Joko Mursodo adalah saudara tirinya sendiri yang lahir dari ayah yang sama namun beda Ibu. Keduanya bersaing dan sama-sama ingin menjadi putra mahkota. Setelah melalui pertempuran sengit, saudara tirinya merelakan tahta kerajaan Galuh untuk diperintah Joko Mursodo; sedangkan saudara tirinya menjadi Raja Kerajaan Padjajaran. Demikian akhir kisah dari Joko Mursodo, Saut dan Muserut yang menjadi legenda di Desa Balong yang telah meninggalkan petilasan Gedhong Lengis.
Petilasan Gedhong Lengis sampai saat ini masih terawat. Petilasan yang terletak di area tanah seluas 7 x 7 meter ini terbuat dari kayu. Petilasan berbentuk rumah kecil dengan ukuran 3 x 4 meter. Setiap panen ketiga bertepatan dengan kamis Kliwon petilasan ini ramai dikunjungi warga. Pada waktu ini warga menyelenggarakan upacara adat Nyadran. Upacara ini selalu menyedot perhatian masyarakat; tidak hanya dari masyarakat Desa Balong saja, namun banyak juga masyarakat luar yang turut hadir dalam acara ini. Tak kurang sekitar 2000-an masyarakat tiap kali nyadran selalu berdesakan mengikuti jalannya acara.