Pertaruhan Ayah: Tinggalkan Kerjaan demi Antar dan Tunggui Hokky Latihan

oleh -74176 Dilihat
oleh
Hokky caraka
Ribut Budi Suryono memperlihatkan foto-foto Hokky saat meniti karir sepak bola sejak usia belia hingga masuk skuad Garuda Select. (KH/ Kandar)

GUNUNGKIDUL, (KH),– From Zero to Hero, demikian kiranya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjuangan Hokky Caraka Bintang Briliant, striker Timnas U19 asal Kapanewon Ponjong, Kabupaten Gunungkidul.

Saat melawan Brunei Darussalam, pelajar kelas 3 SMA Sayegan Sleman tersebut jadi bintang lapangan. Ia yang masuk starter mampu menjebol gawang musuh sebanyak 4 kali. Saat bertanding Senin, (4/7/2022) lalu Timnas Garuda menang telak dengan skor 7-0.

KH menyempatkan berkunjung ke kediamannya di Padukuhan Susukan I, Kalurahan Genjahan belum lama ini. Orang tua Hokky, Ribut Budi Suryono mengisahkan perjuangan dirinya bersama putranya.

Ribut bercerita, perjuangan membersamai anaknya tak bisa dibilang mudah. Suka duka ia lewati bertahun-tahun demi mengantarkan buah hati meraih cita-cita menjadi pemain bola profesional.

“Hokky suka sepak bola sejak usia balita. Suka megang dan memeluk bola saat tidur. Kemudian kelas 3 SD tertarik masuk sekolah bola karena temannya ada yang masuk lebih dulu,” terang Ribut mengawali cerita.

Saat itu Ribut masih merantau. Praktis ibu Hokky, selain mengurus rumah juga punya aktivitas baru, yakni antar Hokky belajar bermain bola di Sekolah Sepak Bola (SSB) Handayani.

Setiap kesempatan pulang kampung, dia juga menyempatkan mengantar dan mengajak ke lapangan anak keduanya itu.

Hokky kemudian sekolah ke jenjang SMP. Sekolah Kelas Khusus Olahraga (KKO) di SMP 1 Playen dipilih Ribut demi mendukung karier sepak bola putranya.

“Wali di SSB ada yang bilang, anak saya punya bakat dan menyarankan untuk didukung,” imbuh Ribut.

Hokky
Hokky saat bersama teman-teman SSB Handayani. (istimewa)

Saat SMP pernah ikut Liga Pelajar bersama tim di Yogyakarta. Dari situ dilirik akademi PSS Sleman. Sebelumnya pernah mencoba ikut seleksi masuk Akademi Arema. Meski diterima, karena pertimbangan sekolah akhirnya dibatalkan.

Hokky lantas masuk ke SMA Sayegan. Saat itu selain belajar di SSB Persopi Piyungan, tentu belajar di Akademi PSS Sleman.

“Saya juga bertaruh, karena harus antar dan mendampingi berlatih, saya putuskan tak merantau. Saya memilih kerja serabutan di rumah,” kenangnya.

Keseriusan baik Hokky dan ayahnya diuji. Sebab jarak sekolah sekaligus tempat latihan dengan kediamannya di Gunungkidul cukup jauh. Tiap hari Ribut mengendarai motor Jogja-Gunungkidul mengantar Hokky. Ada kurang lebih selama dua tahun Ribut menjalani hari-hari yang tak mudah. Kondisi ekonomi pas-pasan karena tak lagi bekerja juga menjadi kendala tersendiri baginya.

“Sepatu dan fasilitas bermain bola alakadarnya saja. Kalau belum jebol belum ganti,” tutur Ribut.

Tak hanya itu, suatu kali Ribut pernah mempertimbangkan tak mampir jajan saat menempuh perjalanan motor sepulang latihan bersama Hokky.

“Saya tanya Hokky, lapar atau nggak. Saya ajak makan di rumah saja agar uangnya bisa buat beli bensin hari latihan berikutnya,” kata Ribut sembari berkaca-kaca.

Naik turun Gunungkidul-Jogja tiap hari bukan perkara sepele. Jaraknya lebih dari 100 kilometer dengan medan yang tak mudah. Naik turun dan jalan berkelok, serta padatnya lalu lintas harus ditemui tiap hari. Hujan dan terik siang hari bukan lagi alasan bagi Ribut tak mengantar putranya mengasah kemampuan bermain bola.

Berangkat menempuh perjalanan bermotor menuju tempat latihan sering ia mulai saat pagi buta. Sebab mereka harus menyesuaikan jadwal latihan.

“Kenangan yang juga tak mudah dilupakan, ketika Hokky berlatih di lapangan saya melihatnya sembari menggigil kedinginan. Berulang-ulang seperti itu,” panjang lebar Ribut berkisah.

Bapak dari 4 anak ini juga mengaku, banyak kesempatan saat masih berlatih di SSB Hokky juga pinjam sepatu. Utamanya saat sparing atau kompetisi. Sebab, orang tua lebih memprioritaskan beli BBM agar bisa mengantar dari rumah ke tempat latihan.

Masih soal keterbatasan fasilitas dari orang tua, saat mendapat kesempatan tergabung di tim Garuda Select, Hokky justru dibelikan sepatu oleh wali atau orang tua yang anaknya belajar di SSB yang sama.

“Kami sangat berterimakasih atas dukungannya. Saya nggak keluar duit saat anak mau berangkat ke Inggris, banyak wali-wali SSB yang justru memberi uang saku,” tutur lelaki berambut gondrong ini.

Saat Hokky masuk di skuad Garuda Select, ada nama-nama teman wali SSB seperti Roni, Kiki, dan Tono cukup berjasa membantu kelancaran keberangkatan Hokky. Tiga pasang sepatu yang dibawa, dua diantaranya pinjam, satu lainnya dibelikan orang tua yang anaknya berlatih bola di SSB yang sama.

Posisi Pemain Hokky Berubah, dari Pemain Bertahan Menjadi Penyerang

Suami Dwi Endang Lestari ini mengungkapkan, sejak awal bermain bola, oleh pelatih SSB dan akademi, posisi Hokky dipercaya sebagai pemain bertahan. Namun saat berhasil lolos pada Garuda Select, Hokky dipindah ke posisi penyerang.

“Selama 6 bulan di Inggris, oleh pelatih di sana, Hokky diminta bermain di posisi depan. Berlanjut ke Garuda Select selanjutnya,” sambung lelaki yang kini berwirausaha jual beli rumah tradisional ini.

Persisnya dia pindah posisi baru sekitar 2 tahun semenjak tergabung di Garuda Select III, dilanjutkan Garuda Select IV. Termasuk saat ke Perancis ikut turnamen di sana.

Menyadari putranya punnya talenta, selain mendampingi latihan saat di SSB, Ribut juga semakin ketat memperhatikan pola kebiasaan Hokky. Soal makan, jam tidur dan berlatih menjaga kebugara fisik.

“Kalau tidak sedang kompetisi atau latihan, di rumah setiap hari selalu jogging berkeliling jalan kampung minimal 4 kilometer. Habis itu masih main voli juga,” beber Ribut.

Berkat perjuangan keras, selain dipanggil di Timnas U19, Ribut juga tak kalah bersyukur setelah buah hati kelahiran 21 Agustus 2004 itu kini dikontrak PSS Sleman ikut bermain di Liga 1. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar