Adalah Nur Imam Syahru Huda (28 tahun), warga RT 19 RW 03 Dusun Tumpak Kalurahan Ngawu Kapenewon Playen Kabupaten Gunungkidul, seorang pria berperawakan kecil, mempunyai semangat dan impian luar biasa tentang sebuah konsep pertanian terpadu. Di pekarangan tempat-tinggalnya seluas hampir 3000 meter persegi ia berusaha mewujudkan impiannya: menerapkan pertanian terpadu. “Bertani di wilayah Gunungkidul yang notabene kekurangan air itu tidak mudah. Banyak sekali kendala dan masalah yang harus saya hadapi,” ucapnya di awal obrolan kami. “Tapi dengan kendala seperti itu, apakah profesi petani ini harus ditinggalkan? Apakah Gunungkidul harus kehilangan petani-petani? Lalu kita akan makan apa?” bertubi Imam melemparkan pertanyaan-pertanyaan menohok. Semangat Imam memang luar biasa. Dengan gelar sarjana yang disandangnya, yaitu S1 Jurusan Pendidikan Geografi, tidak menjadi halangan ketika Imam memutuskan untuk menekuni profesi petani.
Meskipun latar pendidikan Imam tidak linier dengan bidang pertanian, yaitu pendidikan geografi, namun tidak menyurutkan niatnya untuk belajar kemudian menerapkannya. Berbagai program pelatihan pertanian telah ia ikuti. Ia juga rajin belajar ilmu pertanian di internet. Imam tidak merasa malu untuk bertanya kepada para petani yang ia anggap lebih paham soal pertanian meskipun ia seorang sarjana.
Waktu itu sore hari setelah Ashar, ketika Kabar Handayani berkunjung ke tempat tinggal Imam, tempat ia menerapkan pertanian terpadu. Kebetulan sore itu ia sedang berada di pekarangan rumah menyelesaikan beberapa pekerjaan. Setiap sore ia mengurusi ternak kambingnya. Ia tergopoh menyambut kedatangan KH. Imam menanggapi dengan ramah. Setelah Imam dan KH mengobrolkan beberapa hal tentang pertanian, ia meminta ijin ke belakang. “Maaf ya, Mas, saya tinggal dulu untuk ngombor wedhus (memberi minum kambing) sebentar,” ia memutus pembicaraan dengan KH. Sebelum kembali ke kandang ternaknya, ternyata Imam menyempatkan diri menghidangkan teh panas kemudian menyilakan KH untuk segera meminumnya. Bergegas ia menuju ke pekarangan tempatnya bertani itu.
Tak kuasa menahan rasa ingin tahu, KH segera menyusulnya ke kandang di pekarangan rumah. Benar, Imam sedang ngombor ternak kambingnya. Kandang kambingnya berada di sisi timur pekarangan rumah. “Komboran ini buatan saya sendiri, dari gilingan janggel-jagung, kulit kacang tanah, kulit kedelai, saya campur biji jagung rebus. Khasiatnya tidak kalah dengan konsentrat pabrik dari toko,” begini ia bercerita sambil menyungging senyum. Setelah KH mengamati, kandang kambing milik Imam sengaja ditata di tempat yang agak tinggi. Ia mengatakan bahwa hal ini bertujuan untuk mempermudah kerjanya mengalirkan urin kambing dan mengumpulkan srinthil (kotoran kambing) ke tempat pengolahan pupuk organik. Imam memelihara 14 ekor kambing. Imam mengolah urin dan srinthil kambing menjadi pupuk organik. Ia menggunakan teknik fermentasi EM4, terasi, dan bekatul. Selanjutnya ia menerangkan, “Dengan proses fermentasi ini, khasiat pupuk kandang bisa meningkat hampir 60 persen.”
Di lahan pekarangan seluas hampir 3000 meter itu pula Imam menanam banyak sekali jenis sayuran. Ada bawang merah, bawang putih, kacang panjang, bayam, kangkung, dan lain-lain. Untuk pertanian sayur-mayurnya Imam menjelaskan, “Ini untuk menyiasati pasar, Mas, karena jika menanam satu jenis sayuran dalam partai besar, modalnya harus tinggi. Pemasarannya pun kadang sulit karena harga yang tidak stabil. Makanya saya sengaja menanam banyak jenis sayuran agar rotasi modal dan penjualan bisa berkesinambungan. Saya bisa tiap hari ke pasar untuk menjual hasil pertanian saya.”
Ia melanjutkan penjelasannya, “Ada satu konsep yang berhubungan dengan pertanian saya ini. Saya ingin belajar bertani organik. Harapan saya, produk pangan yang akan saya hasilkan menjadi produk pangan yang sehat. Istilahnya bisa ‘makan mentah di tempat’. Praktek pertanian kimia itu sistemik mas, dimana pestisida dan pupuk yang kita gunakan di tanaman itu akan masuk dalam sistem pertumbuhan tanaman, dan akan bertahan di situ menjadi residu kimia yang berbahaya. Apalagi pestisida yang bersifat racun kontak, sejenis pestisida yang sistem kerjanya melekat di buah atau daun sayuran untuk melindungi dari hama,” Imam memaparkan bahaya pupuk kimia kepada KH.
Imam kemudian menerangkan dengan panjang lebar tentang tantangan berat bertani organik. Apalagi ia seorang sarjana pendidikan yang baru belajar bertani organik. Imam menghela nafas panjang dan berkata lirih, “Ya, memang sungguh berat prakteknya, Mas, tapi harus memulai. Saya memulai ini dengan perlahan-lahan mengurangi dosis penggunaan pupuk dan pestisida kimia, dan mulai menambahi penggunaan pupuk organik buatan sendiri. Satu hal lagi, pertanian organik harus dibarengkan dengan sistem pertanian terpadu, dimana semua elemen pertanian yang saya-kerjakan harus bisa saling support satu dengan yang lainnya. Misal, hasil pertanian jagung saya itu, pohon dan daunnya untuk pakan ternak, janggel jagungnya saya olah menjadi konsentrat komboran, saya campur kulit kacang. Biasanya orang-orang membuangnya.”
Dalam menerapkan konsep pertanian itu Imam juga mencoba membuat “maggot“, yaitu semacam ulat kecil dari sampah, yang nantinya akan ia-gunakan untuk memberi makan ikan di kolam. Kolam ikan ia letakkan di tengah-tengah pekarangan. “Ini kolamnya baru saya buat yang agak besar, rencananya nanti air kolam ikan akan saya gunakan untuk menyiram tanaman. Di situ sudah ada unsur pupuknya,“ Imam berargumen. Hal inilah yang dimaksud Imam sebagai pertanian terpadu, dimana semua elemen yang dia kerjakan, baik pertanian, perikanan, dan peternakan akan bisa saling mendukung, melengkapi, dan menghidupi. “Jika ini bisa berjalan baik, maka modal pertanian kita akan banyak sekali berkurang. Kita bisa memanfaatkan bahkan yang telah dianggap sampah sebagai modal kita bertani,” ia memberi alasan argumentasinya itu.
Apa yang menjadi impian dan telah dicoba diterapkan oleh Imam memang sesuatu yang berat. Ia menegaskan dengan penuh semangat, “Saya akan terus belajar, saya yakin itu bisa berhasil dengan ketekunan. Apa yang saya impikan bisa menjadi kenyataan. Saya memimpikan sebuah kebun pertanian organik terpadu, syukur-syukur besok bisa menjadi kebun edukasi. Banyak pemuda bisa belajar bareng tentang pertanian di sini. Sini bisa jadi tempat belajar untuk anak-anak sekolah.”
Itulah apa yang telah dilakukan oleh Imam. Istrinya sedang hamil tua dan akan melahirkan. Ia masih tinggal bersama orang tuanya. Imam adalah seorang sarjana pendidikan yang pernah bekerja sebagai operator komputer Program P3MD Kabupaten Gunungkidul. Ia juga masih nyambi sebagai pekerja lepas di Lembaga Primagama. Dengan tetap penuh semangat Imam menerapkan pertanian terpadu bahkan bertanya kepada para petani yang justru tidak merasakan bangku kuliah. Di saat banyak sarjana lekat dengan tuntutan jaman serba instan, dimana hasil adalah tujuan utama dan kadang mengesampingkan proses, tetapi di saat bersamaan Imam yang seorang sarjana telah beraksi untuk mengimbanginya. “Sebagai petani sekarang ini, kita harus berani untuk open-mind, membuka diri terhadap hal-hal baru yang bernilai positif untuk berkembang,” pesannya kepada KH.
“Apa yang telah dirintis oleh seorang sarjana bernama Imam ini adalah sesuatu yang menarik dan bisa menginspirasi para sarjana di Gunungkidul,” begini KH berkata dalam hati sembari pulang dari tempat tinggalnya jelang magrib sore itu.[KH/Edi Padmo]