KABARHANDAYANI – Mata dua anggota pemain jathilan Baung Seto dari Desa Jatiayu Karangmojo itu tiba-tiba melotot saling beradu pandang, dan seketika tangan-tangan mereka saling mencakar berusaha mencekik leher. Salah satu pemain terjatuh. Sang lawan masih terus memburu dan berusaha mencekiknya. Kejadian itu membuat para penonton berteriak histeris. Ada ibu-ibu yang menjerit dengan wajah ketakutan. Terlihat anggota pemain lainnya seketika berusaha memisah pergulatan kedua pemain itu dengan sekuat tenaga. Seorang pemain berhasil dipisah dan dibawa pergi menjauh, meskipun nampak ia masih berusaha ingin menyerang kawan yang juga menjadi musuhnya itu.
Anggota pemain yang senior sembari memegang pemain yang terjatuh terlihat komat-kamit mengucapkan kata-kata. Sejurus kemudian anggota pemain yang terjatuh itu meregang kaku, tegang beberapa saat, dan kemudian lemas tak berdaya. Sejurus kemudian, official jathilan berlari ke arah pemain yang terjauh itu. Diberikan segelas air mineral yang kemudian langsung diminumnya Beberapa penonton lelaki yang tadinya berdiri di pinggir jalan berusaha mendekati pemain jathilan itu. Terdengar salah seorang penonton berteriak, “wah.. iki jathilane ndadi tenan“.
Suasana penonton menjadi histeris dan kacau. Ada yang ketakutan, ada yang terbengong-bengong, tetapi ada pula yang berusaha mendekat dan ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Itulah sekelumit peristiwa yang terjadi di pojok Taman Bunga Jalan Sumarwi Wonosari, saat salah satu rombongan kirab kirab budaya HUT ke-184 Kabupaten Gunungkidul melintas, Rabu (27/5/2015) lalu.
Aneka atraksi pawai budaya tersebut benar-benar mewarnai rangkaian acara kirab keliling kota setelah para peserta mengikuti upacara di alun-alun Pemkab Gunungkidul. Nampak masing-masing kontingen pawai yang berurutan sesuai wilayah kecamatan mempertunjukkan performa terbaik mereka. “Inilah potensi seni budaya dan kekayaan wilayah kami,” kira-kira begitulah pesan yang tertangkap dari rombongan pawai tersebut.
Sesuatu yang khas dalam kirab budaya di Gunungkidul, hampir seluruh kontingen per kecamatan di Gunungkidul menampilkan aneka rupa kesenian reog, jathilan, dan doger. Mulai dari reog khas gagrak Gunungkidul dengan gerak dan irama pong-jing-pong-jur, diselilingi kirab rombongan pamong praja dari masing-masing kecamatan, kemudian berganti reog versi Ponorogoan, kemudian gerak rancak dan dinamis kelompok seni jathilan kuda kepang sampai dengan kelompok jatilan anak-anak dengan kuda-kudaan dari papah gedhang. Disusul kemudian kelompok jathilan dan doger yang para peraganya sempat “ndadi” tersebut.
Diluar peraga seni, terdapat beberapa komunitas dan LSM yang mengikuti pawai sembari mengkampanyekan program dan muatan utama organisasi mereka, seperti LSM Rifka Anissa dan komunitas bentukannya, Komunitas Seni Pertunjukan RnB dari Desa Siraman, sampai dengan komunitas Ikaragil para pemuda perantau asal Gunungkidul.
Tak ketinggalan, dalam kirab tersebut juga muncul arak-arakan benda-benda pusaka di Kabupaten Gunungkidul, seperti tombak dan songsong (payung). Arak-arakan benda-benda pusaka tersebut bercampur dengan jejeran bendara merah putih Republik Indonesia, kemudian pataka Dhaksinarga Bhumikarta. Dalam barisan pawai tersebut juga terdapat logo Ha-Ba dari Karaton Ngayogyakarta. Aneka warna kostum peserta pawai berikut gerak tarian, suara seruling, tetabuhan gamelan, kendang, dan alat musik perkusi lainnya mampu menyemarakkan pawai tersebut sebagai sebuah perhelatan massal yang penuh kegembiraan. Menjadi pelepas dari rutinitas kegiatan yang sehari-hari berlangsung di Gunungkidul baik bagi para peserta pawai maupun para penontonnya.
Kembali kepada kelompok seni jathilan Baung Seto dari Jatiayu tersebut. Apakah pemain mereka benar-benar “ndadi”? Jawabnya bisa iya, benar-benar ndadi beneran. Di sisi lain, pasti ada yang berkomentar, “aahh…itu pura-pura saja om. Cuman permainan, mereka anak-anak muda yang lagi caper, butuh diakui keberadaannya.”
Terlepas dari benar atau tidaknya dua kelompok jawaban tersebut, ada beberapa hal yang perlu dicermati dari masing-masing jawaban tersebut. Fenomena ndadi atau trance sejatinya memang bisa dan biasa terjadi dalam seni pertunjukan jathilan. Ada sebagian masyarakat, tontonan jathilan itu kurang joss kalau pemainnya tidak ndadi.
Nah, perkaranya adalah, apakah dalam setiap ada pertunjukan jathilan itu para pemainnya benar-benar ndadi atau jadi-jadian ndadi? Ini memang agak tidak mudah dibedakan, karena kejadian ndadi itu sejatinya adalah sebuah fenomena personal dan sekaligus fenomena komunal yang sama-sama terbangun atas dasar sebuah sistem keyakinan (baca: keyakinan yang terbangun turun-temurun dan meresap dalam alam bawah sadar para pelaku dan penonton).
Menurut sejarah, sebagaimana diungkap oleh Th Pigeaud (1938: Javaanse Volksvertoningen), seni pertunjukan jathilan adalah salah satu dari sekian banyak jenis kesenian tradisional yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam penampilannya kesenian jathilan menggunakan properti kuda képang. Pertunjukan jathilan ditampilkan dengan mengambil cerita roman Panji. Pada tahun 2013, Kuswarsantyo, ahli seni pertunjukan dari UNY yang meneliti perkembangan seni jathilan di wilayah DIY menyatakan, kini jathilan tidak hanya bertumpu pada cerita roman Panji, tetapi dapat pula mengambil setting cerita wayang (Mahabarata atau Ramayana) dan legenda rakyat setempat.
Kesenian jathilan, kuda kepang, kuda lumping, juga reog awalnya merupakan kesenian rakyat yang dipentaskan di pelosok perdesaan sebagai sebagai bagian dari sarana ritual atau upacara tertentu dan dihubungkan dengan kepercayaan animistik. Hal ini dapat ditengarai dari bagian akhir dari pertunjukan jathilan yang umumnya menjadi adegan ndadi atau trance. Dalam pandangan Daniel L Pals (1996: Seven Theories of Religion), ndadi atau trance ini merupakan bagian dari rangkaian upacara ritual dalam suatu klan atau komunitas tertentu. Menurutnya, keterkaitan upacara ritual dan komunitas tersebut menghasilkan pola-pola tradisi yang telah ada dan hidup di masyarakat dengan ciri kesederhanaan sebagaimana yang dimiliki kesenian jathilan. Dengan demikian, sebagai tarian ritual, penciptaan jathilan dilatarbelakangi oleh nilai-nilai luhur yang merupakan nilai kehidupan masyarakat. Pola dan latar belakang motif penciptaan tarian jathilan ini juga sebagaimana yang telah diamati Wenti Nuryani pada tahun 2008 dalam penelitiannya berjudul Nilai Edukatif dan Kultural Kesenian Jathilan di Desa Tutup Ngisor Magelang.
Seni pertunjukan jathilan, reog, doger memang merupakan kesenian yang merakyat. Merakyat, karena populer di mata rakyat, karena pelaku seni jathilan adalah anggota masyarakat itu sendiri dan para penonton sebagai penikmat pertunjukan tersebut adalah juga anggota masyarakat. Dalam lingkup komunitas yang kecil seperti padukuhan atau desa, terdapat tautan yang erat antara pemain dan penonton, sehingga seni pertunjukan tersebut mampu mempersatukan ikatan kebersamaan di antaranya dan antara masyarakat dan lingkungan alam perdesaan.
Tautan atau ikatan tersebut dapat terwujud dalam situasi penonton yang merasa puas dengan permainan atau pentas dari para peraga. Demikian pula para peraga menjadi semakin mantap melakukan olah gerak tari, para penabuh iringan semakin bersemangat menghasilkan bebunyian sederhana tersebut, termasuk pintar memainkan tempo dan irama menjadi menyatu dengan gerak para pemain dan degub jantung para penonton yang menjadi terhanyut dan menjadikan seni pertunjukkan tersebut mampu berperan menjadi panggilan jiwa untuk menyatu dalam sebuah komunitas yang sederhana dan apa adanya.
Tak dapat dipungkiri, pasti ada di antara para penonton yang terhanyut mulai dari mengetukkan tangan atau menjejak-jejakkan langkah kaki mengikuti gerak para pemain dan irama tetabuhannya. Kemudian ada yang ikut menari bersama pemain kuda kepang atau pemain lainnya. Keterpanggilan hati mendengar suara bende atau dhodog yang ditabuh itu tu juga salah satu bentuk ndadi atau trance dalam kadar paling mininal.
Dalam pertunjukan reog roman Panji, biasanya ada peraga Bancak dan Dhoyok atau dikenal sebagi Penthul dan Tembem. Dalam pertunjukan reog, bisa dijumpai seorang ibu-ibu penonton yang menggendong anak balita tiba-tiba berlari mendekat ke sang peraga Penthul atau Tembem. Ia begitu puas ketika sang Penthul atau Tembem tersebut mengelap si anak yang digendong tersebut. Karena dengan dilap tersebut, si ibu berharap anak tersebut yen gedhe dadi wong sing sembada, sebagaimana sanjungan kata-kata yang biasa diucapkan sang Penthul atau Tembem ketika menyeka bathuk si balita.
Sesungguhnya, daya dan logika apa yang mendorong tindakan sang ibu tersebut? Itulah juga bentuk ndadi atau trance yang muncul dalam sebuah komunitas. Sebuah tindakan yang tiba-tiba yang dituntun oleh reflek alam bawah sadar. Agama-agama modern bisa saja keliru melihat ritual peraga reog menyeka anak yang digendong ibunya dengan kain selendang itu layaknya sebagai ritual pembaptisan atau pembaiatan keagamaan, sehingga terkadang seni pertunjukan reog dipandang mengarah kepada tindakan melawan kesucian agama atau sebagai sebuah tindakan musrik.
Kembali kepada daya dan logika yang mendasari tindakan seseorang atau komunitas dalam bertindak, fenomena ndadi atau trance dapat pula didekati dengan teori tingkatan kondisi kesadaran manusia. Sigmund Freud (1856-1939) dalam teori psikoanalisnya merinci 3 tingkatan kondisi kesadaran, yaitu sadar (conscious), prasadar (pre-conscious), dan taksadar (un-conscious). Teori Freud yang paling terkenal adalah bahwa alam bawah sadar-lah yang mengendalikan sebagian besar perilaku. Freud juga menyatakan bahwa perilaku didasari oleh hasrat eros (baca: dorongan ragawi dan seksualitas) yang pada awalnya dipelajari dan dirasakan oleh manusia semenjak kecil dari ibunya. Dengan demikian dapat dipahami, fenomena ndadi atau trance adalah sebuah tindakan yang dikendalikan alam bawah sadar yang merupakan perwujudan dari hasrat ragawi yang tiba-tiba muncul, yang itu semua sejatinya telah dipelajari dipelajari dari kebiasaan-kebiasaan kehidupan bersama dan telah mengendap kuat dalam diri anggota komunitas.
Karena itu, mempersoalkan kebenaran atau ketidakbenaran ndadi para pemain dalam setiap pentas pertunjukan jathilan, reog atau doger sejatinya tidak begitu penting. Menjadi penting adalah manakala seseorang mempertahankan pendapatnya para pemain benar-benar ndadi dan yang lain berpendapat hanya sekadar pura-pura ndadi, karena di situlah bisa muncul pertentangan yang bisa berujung bersitegang dan bisa berujung menyerang satu sama lain menjadi sesuatu yang kontraproduktif.
Fenomena ndadi atau trance sebagaimana pandangan Th Pigeaud dan Daniel S Pals adalah sebuah plug-in atau bawaan yang menyertai seni pertunjukan rakyat tersebut, karena seni tersebut adalah bagian dari upacara ritual sebuah klan atau komunitas yang berfungsi mengikat kebersamaan hidup dalam menjalani tantangan hidup berikutnya. Dari penjelasan alam bawah sadar dan hasrat ragawi yang telah dipelajari dan mengendap dalam diri, maka trance juga menjadi bermakna sebagai sebuah tindakan alam bawah sadar yang biasa terjadi.
Jadi, membaca fenomena ndadi atau trance para pemain jathilan dalam kirab pawai budaya HUT ke-184 Kabupaten Gunungkidul memiliki makna fungsional manakala para peraga reog, para penonton, juga para pamomong masyarakat (baca: birokrat pemerintahan) mampu memandang dirinya sendiri sebagai bagian dari komunitas Gunungkidul yang perlu ndadi atau trance agar gumregah tandang gawe ing kasunyatan lan sepi ing pamrih. Jargon “Gunungkidul Gumregah” yang telah diresmikan Bupati Gunungkidul adalah sekadar menjadi kata-kata manis apabila hanya dipahami sebagai ndadi atau trance sesaat pada saat upacara atau kirab budaya dan seterusnya kembali kepada kebiasaan yang sudah ada, dan tidak mau berubah atau gumregah. Ndadi atau trance menjadi berdayaguna apabila siapapun yang menjadi bagian dari komunitas Gunungkidul memanifestasikan ke dalam setiap perbuatan membangun dan berdaya.
Ndadi atau trance adalah mampu mentransformasi segala lini pembangunan wilayah dan pembangunan sumber daya manusia Gunungkidul menjadikan masyarakat berdaya, mandiri, dan mampu menghadapi tantangan kehidupan di tengah kerasnya kehidupan alam pegunungan karst yang sudah ribuan tahun menjadi habitat kehidupannya. Ndadi sejatinya adalah manifestasi bawaan bawah sadar untuk menjadi manusia yang tidak nyremimih. Ndadi adalah menjadi pamong atau birokrat yang melayani warga dengan sepenuh hati, bukan malah memperdaya dan memperbodoh masyarakat. Ndadi adalah menjadi warga Gunungkidul baik di tanah air dan perantauan dengan ulet, tangguh tak kenal menyerah, dan bukan malah bertindak mletho menjadi generasi yang memalukan para pendahulu. Ndadi adalah bukan justru malah sedikit-sedikit menengadahkan tangan memohon belas kasihan, tak mau berusaha keras, dan berpuas diri dengan sombong hanya dengan mengajukan proposal bantuan/sumbangan/donatur dan sejenisnya, karena di situlah letak jebakan ndadi atau ekstase kontraproduktif berupa situasi ketidaksetaraan atau langgengnya hubungan patron-klien.
Ndadi sejatinya adalah semangat untuk meningkatkan IPM (indeks pembangunan manusia) Gunungkidul bukan di peringkat buntut di wilayah DIY, tetapi setidaknya setara atau lebih tinggi dengan rata-rata IPM DIY. Ndadi sejatinya adalah semangat sekitar 7300-an anak muda Gunungkidul lulusan SMA/SMK tahun 2015 untuk mampu meneruskan pendidikan lanjutan atau gigih berkarya masuk ke dunia kerja atau sedia berwirausaha dari skala kecil.
________________
Penulis: J Yanuwidiasta.