Mpu Gondho, Jaga Warisan Luhur dengan Tekun Mencipta Keris

oleh -989 Dilihat
oleh
keris
Mpu Godho menunjukkan salah satu hasil keris ciptaannya. (KH/ Kandar)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Di tengah kian langkanya keberadaan Mpu pencipta keris, di Gunungkidul, Yogyakarta masih ada segelintir orang yang senantiasa melestarikan warisan luhur ini. Mpu Godho salah satunya. Dia dengan tekun dan dedikasi tinggi mempelajari seni tempa pamor selama bertahun-tahun. Hingga sekarang, pria kelahiran 18 Agustus 1982 ini masih rutin menempa besi dan baja untuk mencipta keris.

Suami dari Siti Lestari ini berhasil menguasai teknik rumit untuk menyatukan tiga bahan utama dalam pembuatan keris. Besi, baja, dan nikel disatukan melalui proses pemanasan dan penempaan hingga menghasilkan keris berkualitas tinggi. Keahliannya yang spesifik, menjadikan dia seorang yang disegani dan istimewa. Sebab, dengan menjadi Mpu, ia telah mendarmabaktikan diri sebagai penjaga tradisi yang hampir punah.

KH menyempatkan berkunjung ke Besalen Godho Priyantoko, tempat produksi keris milik Mpu Godho belum lama ini. Posisi bangunan ini berada di pojok belakang rumah limasan, rumah tinggal utama.

Suara pukulan bertalu terdengar dari luar Besalen. Tidak jauh dari Besalen milik Mpu Godho pun terdengar suara yang sama. Bahkakn, datangnya suara tidak hanya dari satu sumber. Memang, kawasan Kajar II, Karangengah, Wonosari, Gunungkidul ini merupakan sentra produksi peralatan berbahan logam. Tempatnya pandai besi menempa logam menyetak aneka peralatan, diantaranya alat pertanian.

“Kalau saya khusus membuat keris. Keris ‘ageman’ (pegangan, pusaka), jadi bukan untuk souvenir,” tutur Mpu Godho membuka obrolan tidak lama setelah KH diterima masuk.

Mpu Godho panjang lebar bercerita bagaimana dia mengawali kisah sebagai Mpu. Kendati panjang lebar, mengobrol dengannya di Besalen tak terasa membosankan. Angin semilir mudah masuk ke Besalen. Desain bangunan ini memang dibuat cukup terbuka. Sekeliling dinding dipenuhi jendela. Sehingga, sekalipun sebagai tempat pembakaran, tak sedikitpun terasa panas dan pengap.

“Kalau dahulu di rumah bagian belakang. Di situ bertahun-tahun saya berjuang belajar berulang-ulang menempa logam, panas dan gerah,” kenang Mpu Godho.

Kisah Perjalanan Menjadi Pengrajin Keris

Perjalanan pria kelahiran 18 Agustus 1982 di Gunungkidul, Yogyakarta ini hidupnya begitu kaya akan pengalaman dan dedikasi terhadap seni tradisional, terutama dalam bidang Tosan Aji, khususnya keris. Minat ini muncul sejak usia belia, ketika ia sering melihat keris milik simbahnya dan teman-teman orang tuanya.

Seiring waktu, ketertarikan Supriyanto terhadap keris semakin dalam. Pada masa sekolah, ia sudah menunjukkan minat yang kuat dengan membuat keris dari bahan-bahan sederhana seperti bambu dan kulit biji mangga untuk tugas prakarya. Meski terpesona dengan keindahan dan nilai budaya keris, keterbatasan finansial menjadi hambatan untuk memiliki atau mengoleksinya.

Minat yang semakin kuat membawa Supriyanto bergabung dengan komunitas pencinta keris di media sosial, di mana ia banyak belajar dan bertanya-tanya mengenai detail pembuatan serta filosofi di balik Tosan Aji. Meskipun begitu, ia masih merasa tak mampu untuk memiliki keris dengan mahar yang tinggi. Namun, hal ini tak mematahkan semangatnya; justru ia memutuskan untuk mempelajari cara membuat keris sendiri.

Keputusan untuk belajar membuat keris baru terwujud setelah ia menikah dengan Siti Lestari dan tinggal di Kajar 2, Karangtengah, Wonosari, Gunungkidul. Lingkungan barunya yang kaya akan pengrajin logam semakin mendukung minatnya. Dia belajar seni tempa lipat, sebuah teknik rumit yang melibatkan penggabungan tiga jenis logam yang ditempa dan dilipat berulang kali hingga membentuk pola pamor yang unik dan beraneka ragam.

Bahan utama pembuatan keris yang digunakan Supriyanto adalah besi, baja, dan nikel. Untuk pelanggan yang menginginkan keris istimewa, terkadang ia menambahkan batu meteor, yang proses pengolahannya memerlukan dua kali tindakan. Memproses meteor secara terpisah kemudian meleburkannya dengan bahan yang lain. Proses ini tidaklah mudah dan memerlukan kesabaran serta ketekunan tinggi; butuh waktu 5 hingga 6 tahun bagi Supriyanto untuk benar-benar menguasai teknik ini sebelum ia mulai benar-benar percaya diri menerima pesanan.

Setelah bertahun-tahun berlatih, ayah dari Galang Eka Prasetya dan Sahwa isnania Aprilia ini lantas menerima pesanan pembuatan keris. Setidaknya dia telah melayani pembuatan keris selama 17 tahun. Dalam setiap karyanya, dia memperhatikan detail seperti teknik pemijaran, komposisi bahan, serta bentuk atau ‘dapur’ keris. Pola pamor yang dihasilkan dari proses ini memiliki makna tersendiri, dan dia mampu menghasilkan pamor-pamor terkenal seperti Wos Utah, Pedharingan Kebak, Udan Mas, hingga Ngulit Semangka.

Untuk mendukung karyanya, Supriyanto membangun Besalen, sebuah bengkel kerajinan yang dilengkapi dengan peralatan penting seperti paron, tungku pembakaran, blower, dan bahan bakar berupa arang.

“Arang kayu jati yang terkenal paling baik untuk pemijaran. Arang ini ditambah bubuk pijar membantu dalam proses penyatuan bahan,” tuturnya.

Setelah pemanasan dan pembentukan keris, bahan logam yang awalnya seberat 3 kilogram akan ditempa hingga beratnya hanya menjadi sekitar 2,5 hingga 3 ons saja.

Mpu Godho tak sembarangan membuat keris. Ia selalu perhatikan sungguh-sungguh niat pemesan memiliki keris. Selain bahan dan jenis, Kapan lahir dan dari mana si pemesan tinggal menjadi informasi paling dasar yang perlu dia ketahui sebelum membuat keris.

“Ada ritual khusus sebelum saya mengerjakan. Ritual berisi permohonan kepada Tuhan agar prosesnya lancar. Tak kalah penting, permohonan khusus juga dipanjatkan kepada Tuhan agar keris kelak benar-benar menjadi ‘pegangan’, spirit dan landasan laku hidup calon pemilik,” terangnya.

keris
Mpu Godho menempa besi dan baja saat membuat Keris. (KH/ Kandar)

Menurutnya, keris menjadi simbol harapan. Harapan apapun yang serba baik. Senantiasa memberi sugesti yang kuat kepada pemilik selama hidup. Dia tak percaya keris punya petuah secara ghaib. Atau, keris dihuni entitas lain yang kasat mata.

Dia juga tak sependapat, bahwa orang yang menyimpan keris telah berbuat menyekutukan Tuhan. Baginya, pernyataan seperti itu merupakan stigma dari orang yang tak mau memahami secara mendalam perihal keris.

“Tidak setiap waktu saya bisa memulai menempa. Jadi harus memilih waktu tertentu. Kalau setahun bisa lebih dari 10 keris yang saya serahkan ke peminat,” imbuh Mpu Godho.

Mahar keris bervariasi tegantung ukuran dan materialnya. Secara umum mulai sekitar Rp3,5 jutaan. Berbeda maharnya apabila bahan yang diinginkan ditambah batu meteor.

Mpu Godho punya keinginan tradisi pembuatan Keris tidak sirna. Niatan itu dia mulai dengan melatih anaknya seni tempa lipat sejak usia SMP. Sekarang anaknya, Galang Eka Prasetya bersiap masuk ISI Solo Prodi Keris.

Pameran karya banyak dia ikuti. Yang cukup terkesan, Mpu Godho pernah diminta menampilkan karya di di komplek Keraton Jogja bersama paguyuban Lar Gangsir. Dari satu pameran ke pameran lain dengan berbagai level termasuk nasional, Mpu Godho makin dikenal. Banyak tokoh menimang karyanya. Menteri Parekraf, Sandiaga Uno pun pernah mendapat cindera mata dari Mpu Godho saat berkunjung ke Gunungkidul.

Karya Supriyanto, atau Mpu Godho, mencerminkan perpaduan antara tradisi dan keahlian tinggi. Setiap bilah keris yang dihasilkan membawa spirit terjaganya warisan budaya yang luhur. Di sana juga ada sentuhan pribadi dari seorang pengrajin yang telah mendedikasikan hidupnya untuk melestarikan seni Tosan Aji. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar