Penulis: Mutiy
KABARHANDAYANI,- Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan ibu kota Wonosari. Sebagian wilayah kabupaten yang memiliki 18 kecamatan ini berupa perbukitan dan pegunungan kapur (karst), yakni bagian dari Pengunungan Sewu. Di balik Gunungkidul yang dikenal daerah tandus, sesungguhnya menyimpan beragam potensi, baik wisata, budaya maupun kuliner yang unik.
Gunungkidul memiliki keterkaitan sejarah dengan era Mataram dan era Majapahit. Dulunya, Gunungkidul masih berupa hutan belantara dan terdapat satu desa yang bernama Pongangan, di mana tempat itu terdapat orang-orang yang dikenal merupakan pelarian dari Majapahit. Desa itu dipimpin oleh Raden Dewa Katong yang merupakan saudara Raja Brawijaya. Raden Dewa Katong memiliki putera bernama Raden Suromejo yang didapuk untuk membangun desa Pongangan, dan Dewa Katong pun pindah ke Desa Katongan yang letaknya 10 km sebelah utara Desa Pongangan. Sepeninggal ayahnya, Suromejo membangun Desa Pongangan dan desa tersebut pun berkembang dengan pesat dan ramai. Lalu selang beberapa waktu kemudian Suromejo pindah ke Karangmojo.
Kabar tentang perkembangan daerah Gunungkidul pun tersiar ke berbagai pelosok, hingga didengar oleh Raja Mataram, Sunan Amangkurat Amral yang berkedudukan di Kartasura. Mendengar kabar tersebut lalu ia mengutus Senopati Ki Tumenggung Prawiropekso agar membuktikan kebenaran berita tersebut. Karena daerah tersebut adalah wilayah kekuasaan Raja Mataram,Tumenggung Prawiropekso pun menasehati Raden Suromejo agar meminta ijin kepada Raja Mataram.
Namun, Suromejo menolak dan terjadilah peperangan sehingga ia tewas di medan perang bersama kedua anak dan menantunya. Ki Pontjodirjo yang juga merupakan anak R. Suromejo pun akhirnya menyerahkan diri dan diangkat menjadi Bupati Gunungkidul oleh Pangeran Sambernyawa.
Bupati Mas Tumenggung Pontjodirjo tidak menjabat dalam jangka waktu yang lama, karena ada penentuan batas-batas daerah Gunungkidul antara Sultan Yogyakarta dan Mangkunegaran II pada tanggal 13 Mei 1831 yang menjadikan Gunungkidul (selain Ngawen sebagai daerah Mangkunegaran) sebagai kabupaten di bawah kekuasaan Kasultanan Yogyakarta, sehingga Mas Tumenggung Pontjodirjo diganti Mas Tumenggung Prawirosetiko. Kemudian Mas Tumenggung Prawirosetiko memboyong kedudukan kota kabupaten dari Ponjong ke Wonosari.
Selanjutnya ada cerita menarik yang berkembang dan menjadi cerita turun-temurun tentang kisah Babad Alas Nongko Doyong di Gunungkidul. Babad Alas Nongko Doyong merupakan pembukaan hutan Wonosari atas perintah Raden Tumenggung Prawirosetiko, Bupati Gunungkidul ke-2.
Pada tanggal 26 dan 31 Maret 1831, Pemerintah Hindia Belanda dan Sultan Yogyakarta mengadakan kontrak kerja sama tentang pembagian wilayah administratif baru dalam Kasultanan disertai penetapan jabatan kepala wilayahnya. Saat itu Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu Bantulkarang untuk kawasan selatan, Denggung untuk kawasan utara dan Kalasan untuk kawasan timur. Gunungkidul di bawah administrasi kawasan timur yang berpusat di Kalasan.
Menindaklanjuti pembagian wilayah baru Kasultanan Yogyakarta, secara resmi ditetapkan pembentukan Kabupaten Gunungkidul dengan Wonosari sebagai pusat pemerintahan. Sultan Hamengku Buwono V di Yogyakarta kemudian mengangkat Raden Tumenggung Prawirosetiko sebagai Adipati Gunungkidul, menggantikan KRT Poncodirjo, sekaligus meminta untuk mengatur wilayah Gunungkidul, khususnya memindahkan kabupaten ke lokasi yang lebih dekat dengan Yogyakarta, tetapi juga dekat dengan semua kawula di Gunungkidul.
Maka dipilihkan Alas Nongko Doyong yang daerahnya datar, sumber airnya banyak, tanahnya subur serta berada di lokasi yang strategis. Untuk melaksanakan perintah tersebut, Raden Tumenggung Prawirosetiko mengundang seluruh panji, demang, rangga, ranupati sekadipaten untuk bermusyawarah. Salah satunya adalah Panji Harjodipuro yang berasal dari Semanu. Kemudian Raden Tumenggung Prawirosetiko memerintahkan kepada sang panji untuk mengerjakan tugas mulia tersebut bersama anak buah kepercayaannya seorang demang dari Piyaman bernama Ki Demang Wonopawiro yang muda, gagah, pemberani dan masih bujangan. Proses pembukaan hutan pun terlaksana dengan sukses dan segeralah dilakukan pembangunan pendapa, bangsal-bangsal dan bangunan-bangunan untuk para pangreh praja. Setelah selesai kemudian Kadipaten Gunungkidul pun pindah ke Alas Nongko Doyong yang kemudian diganti nama menjadi Wonosari oleh Raden Tumenggung Prawirosetiko.
Di balik pelaksanaan tugas tersebut, dalam babad diceritakan terjadi kisah cinta, heroisme dan mistik. Alkisah, Panji Hardjodipuro mempunyai seorang putri bernama Roro Sudarmi. Selaku pelaksana pemerintahan, Panji Harjodipuro memanggil Demang Wonopawiro di Piyaman menghadap. Demang Wonopawiro adalah seorang keturunan Majapahit yang sakti, patuh, dan bakti pada atasan. Harjodipuro menugaskan Demang Wonopawiro untuk menjadi pelaksana proyek membuka Alas Nongko Doyong.
Demang Wonopawiro melihat Roro Sudarmi dan jatuh hati. Mbok Nitisari adalah seorang dukun, orang pintar, yang sakti. Demang Wonopawiro pulang ke Piyaman meminta pertimbangan Mbok Nitisari tentang tugas yang diperintahkan oleh Panji Harjodipuro untuk membuka Hutan Nongko Doyong yang terkenal gawat keliwat-liwat angker kepati-pati. Mbok Nitisari setuju dan bersedia membantu tugas berat itu. Mbok Nitisari memerintahkan Demang Wonopawiro untuk membuat sesaji.
Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari pergi ke Alas Nongko Doyong yang terkenal jalma mara jalma mati, angker karena dikuasai Nyi Gadung Mlati, demit penguasa Alas Nongko Doyong. Mbok Nitisari meminta kepada Nyi Gadung Mlati agar Alas Nongko Doyong boleh dibuka namun Nyai Gadung Mlati tidak mengijinkan sehingga terjadi pertempuran antara demit Nyi Gadung Mlati dan Mbok Nitisari. Di akhir pertempuran, Nyi Gadung Mlati pun kalah dan mengijinkan pembukaan hutan dengan syarat diberi sesajian tiap tahun, dan Nyi Gadung Mlati dibiarkan hidup sebagai penjaga.
Demang Wonopawiro mengerahkan rakyat Piyaman untuk membantu membuka hutan, dan Nyi Gadung Mlati membantu secara spiritual. Ibu kota pun mulai dibangun dan diirikan pasar di daerah Seneng. Melihat keberhasilan Demang Wonopawiro ini, Ronggo Puspowilogo, seorang demang dari Seneng, daerah Siraman, menjadi iri karena dia berharap pada mulanya dialah yang diberi tugas oleh Panji Harjodipuro untuk membuka hutan. Suatu ketika, Roro Sudarmi pergi ke Pasar Seneng tanpa ijin dengan ditemani oleh pembantunya dan digoda oleh Raden Puspoyudo, putra Ronggo Puspowilogo namun Roro Sudarmi menolak dan melarikan diri ke Piyaman. Roro Sudarmi datang ke tempat Mbok Nitisari yang kebetulan masih saudara ayahnya. Roro Sudarmi menceritakan peristiwa yang terjadi di Pasar Seneng. Roro Sudarmi beserta pembantunya diantar pulang oleh Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari ke Semanu.
Karena tergila-gila dengan Roro Sudarmi, Puspoyudo meminta ayahnya untuk melamarkan Roro Sudarmi. Panji Harjodipuro menerima tamu Ronggo Puspowilogo yang melamarkan Roro Sudarmi untuk anaknya. Lamaran Ronggo Puspowilogo belum dijawab dengan alasan banyak yang melamar Roro Sudarmi. Banyak pria yang berkenan ingin melamar Roro Sudarmi.
Alkisah, pada waktu itu Demang Wonopawiro dan Mbok Nitisari datang mengantarkan Roro Sudarmi yang sekaligus bermaksud pula untuk melamar Roro Sudarmi. Untuk menyelesaikan masalah ini, Panji Harjodipuro mengadakan sayembara memanah babal (buah nangka yang masih muda) untuk mencarikan jodoh bagi Roro Sudarmi. Tak luput, Demang Wonopawiro dan Ronggo Puspoyudo mengikuti sayembara itu. Demang Wonopawiro memenangkan sayembara. Demang Wonopawiro memperistri Roro Sudarmi.
Ronggo Puspowilogo marah dan menggalang pasukan hingga sampai Bantul untuk membunuh Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro kemudian juga memperkuat pasukan 4 bregodo, yang terdiri dari pasukan timur, tengah, selatan dan utara. Semua pasukan dikerahkan untuk mengepung pasukan Demang Puspowilogo yang masuk ke desa-desa. Pasukan utara yang paling jauh berhenti di sebuah kampung, yang diberi nama Desa Ngalang yang artinya memutar karena tempat pemberhentian tersebut dirasa terlalu berputar-putar dan sangat jauh. Keempat bregada pasukan bertemu di sebuah desa yang kemudian diberi nama Pathuk, artinya kepethuk atau bertemu.
Pertempuran terjadi di dekat Alas Nongko Doyong yang telah dibuka. Puspowilogo dan panji dari Bantul duel melawan Demang Wonopawiro. Untuk itu, Demang Wonopawiro diberi bekal tombak Kyai Muntab oleh Mbok Nitisari. Ronggo Puspowilogo dan seorang panji dari Bantul tewas ditombak Demang Wonopawiro. Demang Wonopawiro diberi hadiah oleh sultan dan dijadikan penasehat para demang. Panji Harjodipuro yang masih keturunan dari Prabu Brawijaya V, kemudian dinaikkan pangkatnya dari panji menjadi rangga, semacam asisten pemerintahan. Kisah Babad Alas Nongko Doyong sering dipentaskan dalam kethoprak.
bersambung ke Mengenal Perjalanan Kabupaten Gunungkidul (Bagian 2).