Makanan tradisional yang dijajakan Mbok Wiji dan suaminya begitu beraneka ragam. Sebut saja mulai dari Kewat (makanan dari tepung beras), Mutiara (mote), Emplek Jagung, Pisang rebus, Bothok Teri, Bothok Pete, Tiwul, Lemet, Bothok Cokak, Bongko, Gudangan dan Nasi Jagung.
Belum akrab di telinga anak jaman sekarang, memang; sebab, seluruh makanan yang disajikan Mbok Wiji memang makanan tradisional yang populer pada tahun 80-an. Keberadaan makanan ini juga semakin langka seiring berkembangnya Kabupaten Gunungkidul. Di usianya yang mengijak kepala 6, kedua pasangan suami istri ini tetap setia menjajakan makanan tradisional.
Menurut pengakuan Mbok Wiji, sudah lima belas tahun ia berjualan makanan tradisional. Sebelumnya, warga Padukuhan Tawarsari RT. 13, RW 19, Wonosari ini berjualan di Pasar Argosari, Wonosari. Namun, setelah pasar terbesar di Gunungkidul itu dibangun, ia memilih berkeliling dari kantor ke kantor dan di rumah-rumah warga.
“Dulu pernah jualan di Pasar Wonosari sebelum dibangun, usai dibangun kami tidak dapat tempat dan memilih jualan keliling,”ungkap Mbok Wiji saat sedang berjualan keliling di Komplek Bangsal Sewoko Projo.
Ketika menuturkan pengalamanya berjualan makanan tradisional, senyum berserti tampak di wajah pasangan renta tersebut. Ia seolah sedang menyuguhkan dunia yang dihidupinya kepada saya. Menurut Mbok Wiji, menjajakan makanan tradional berarti ikut mempertahankan tradisi leluhur.
Dalam menjual (membuat) berbagai jenis makanan tradisional, Mbok Wiji tetap menggunakan bahan-bahan tradisional. Cara berjualanya masih dipikul menggunakan dua buah tenggok dan salang pikulan. Pujiyo mengaku, cara berjualan dengan cara dipikul ini sudah dilakoninya sejak 15 tahun lalu.
“Pernah mencoba menggunakan gerobak dorong tapi gak bebas, tidak bisa masuk gang-gang. Lebih enak dipikul,”ucap Pujiyo sembari menyandarkan tubuhnya di tembok untuk melepas lelah.
Meski harga bahan pokok terus naik, Mbok Wiji mengaku tidak menaikan harga makanan tradisionalnya. Semua harga makanan yang ia jajakan hanya di bandrol 500 rupiah saja. Kualitas rasa menjadi perhatian utama Mbok Wiji. Imbasnya, jarang ia menemukan kendala untuk berjualan. “Alhamdulilah, setiap berangkat jualan mesti habis,” imbuhnya.
Keuntungan dari berjualan keliling yang didapatkannya bisa dikatakan lebih dari cukup. Pasangan suami istri ini menjajakan makanan setiap dua hari sekali. Setiap berjualan, rata-rata ia mendapatkan untung 250 hingga 300 ribu. “Modalnya untuk membuat makanan 230 ribu nanti bisa menjadi 500-600 ribu,”ulasnya.
Dagangan yang dijajakan Mbok Wiji merupakan hasil masakan sendiri. Setiap akan berangkat jualan, persiapan dia lakukan mulai dini hari pukul 02.00 WIB. Berbagai makanan tradisional buatannya matang dan siap dijajakan pukul 10.00 WIB. “Jualan keliling mulai pukul 12.00 WIB. Nanti 15.00-16.00 WIB aja sudah habis,” ceritanya sumringah.
Sembari bercerita banyak, tak terasa 1 bungkus Bothok Manding dan Mote sudah habis saya makan. Setelah saya bayar, Mbok Wiji mesti berkeliling lagi. Pujiyo tidak pernah mengeluh meski beban berat pikulan tertahan di pundaknya. Menyapa setiap ruangan kantor, rumah dengan suara khas Mbok Wiji sangat tertanam di hati. Mereka menyambung hidup dengan makanan tradisional yang pernah berjaya di masanya. (Juju/Tty)