PANGGANG, (KH),– Destinasi wisata alam Watu Payung di Padukuhan Turunan, Desa Girisuko, Kecamatan Panggang kini menjelma menjadi salah satu pilihan favorit wisatawan untuk berkunjung dan melakukan swafoto.
Pengelola setidaknya menyediakan 4 wahana atau spot untuk foto yang bernilai seni. Dibalik panorama yang memikat, wisata alam Watu Payung memiliki ikon Batu (jawa: watu) yang menyerupai payung yang dilengkapi legenda dari para pendahulu. Keberadaan batu pada masa lampau juga dianggap sebagai pelindung. Bahkan saat ini juga diartikan dapat memberikan naungan bagi warga masyarakat setempat. Bertransformasinya Watu Payung menjadi destinasi wisata alam diharapkan dapat membawa masyarakat pada taraf sejahtera.
Beberapa waktu lalu, Koordinator Lapangan Wisata Alam Watu Payung, Endarto berkisah mengenai legenda Watu Payung. Kisah yang diceritakan ini berasal dari sesepuh warga yang diwariskan secara turun-temurun.
Endarto berkisah, pada tahun 1400-an M hiduplah sebuah keluarga di daerah pegunungan sebelah selatan Gunungkidul dengan tetenger atau sebutan Desa Turunan. Di Desa Turunan tinggalah seorang sesepuh/ bapa yang bernama Ki Dolog. Ki Dolog tinggal bersama putrinya yang cantik jelita yakni Nyi TanduRaden Sementara ibunya meninggal pada saat melahirkan Nyi TanduRaden Mereka hidup dengan bahagia dan berkecukupan dengan bercocok tanam.
Pada masa itu, agama Islam mulai masuk di tanah Jawa. Islam masuk di beberapa kerajaan yang ada. Tak terkecuali masuk di Kerajaan Demak yang saat saat itu dipimpin Raden Patah. Masuknya Islam ke Demak menjadikan silang pendapat di dalam keluarga kerajaan.
“Perbedaan pendapat juga dialami anak turun Raden Patah yang berjumlah 117 hasil pernikahannya dengan beberapa istri yang di miliki raja. Perbedaan pendapat antara menerima Islam sebagai sebuah keyakinan dan pedoman hidup, sementara yang lain menolaknya,” papar Endarto.
Perbedaan pendapat di dalam keluarga ini menyebabkan salah satu putra Raden Patah memutuskan untuk pergi mengembara menghindari perselisihan tersebut. Pengembaraan putra Raden Patah tersebut sampailah di Desa Turunan dan bertemu dengan keluarga Ki Dolog dan putrinya Nyi TanduRaden Untuk beberapa waktu putra Raden Patah ini bermukim di desa Turunan bersama keluarga Ki Dolog. Pada akhirnya menyebabkan putra Raden Patah tersebut tertarik untuk mempersunting Nyi Tandur sebagai istrinya.
Keinginan putra Raden Patah ini disampaikan kepada Ki Dolog dan putrinya. Ki Dolog mengijinkan putrinya dipersunting tetapi dengan syarat harus di boyong/ dibawa menggunakan kereta kuda kencana.
Syarat itu disanggupi oleh putra Raden Patah dengan mohon ijin pergi untuk mempersiapkannya. Beberapa waktu kemudian datanglah putra Raden Patah ke Desa Turunan dengan membawa kereta kuda kencana seperti syarat yang diminta Ki Dolog. Dengan restu Ki Dolog menikahlah putra Raden Patah dengan Nyi Tandur. Setelah berkeluarga mereka berdua sempat berpindah tempat menuju ke wilayah sebelah barat .
Namun keduannya kembali ke Desa Turunan untuk melakukan perenungan dengan bertapa. Putra Raden Patah melakukan pertapaan dengan sepengetahuan Nyi Tandur pada sebuah gua yang saat ini dikenal masyarakat dengan Goa Pertapan, persis terletak di sebelah barat kawasan wisata Watu Payung.
Diakhir pertapaannya, Anak raden Patah keluar dari Goa Pertapan kemudian beristirahat sambil menikmati keindahan alam ciptaan Sang Hyang Widi. Ia berada di sebuah tempat yang saat ini dikenal dengan nama Gajah Mopo yang berada di sebelah timur kawasan wisata Watu Payung.
Ketika istirahat, putra Raden Patah merasakan haus yang amat sangat. Dahaga yang dirasakan membuatnya terpaksa mencari sumber mata air ke mana-mana. Dari jauh putra Raden Patah tersebut melihat sebuah batu besar yang di atasnya ada genangan air. Batu tersebut disebut dengan nama Tompak Watu. Kemudian ia mendatangi tompak watu tersebut dan kemudian mengambil air yang ada di atasnya. Anak Raden Patah meminum air tesebut untuk melepas dahaga yang dirasakan.
Sebagai wujud syukur telah menemukan air, anak Raden Patah melakukan sujud atas karunia Sang Pencipta. Tempat sujud putra Raden Patah ini dinamakan Pasujudan Susuh Angin yang berarti tempat untuk mengolah dan mengembalikan hati kepada Sang Pencipta.
“Kemudian putra Raden Patah juga berucap bahwa tompak batu ini suatau saat akan bermanfaat dan bisa menjadi payung bagi warga Turunan. Saat ini tompak watu ini dikenal dengan sebutan Watu Payung. Yang berarti batu yang bisa memayungi masyarakat. Memayungi yang bermakna melindungi dari segala hal yang bisa merusak dan mengancam keselamatan kehidupan warga,” urai Endarto lebih dalam.
Lanjut dia, salah satu bukti Watu Payung dapat dijadikan tempat berlindung terjadi pada saat penjajahan tentara Belanda dan Jepang. Menurut cerita pendahulu banyak warga yang bersembunyi disekitar Watu Payung dan tak terlihat oleh tentara Belanda dan Jepang.
Pihaknya berharap, keberadaannya saat ini Watu Payung dapat menjadi salah satu tempat wisata “ pemersatu” bagi warga Turunan sehingga akan membawa manfaat untuk peningkatan kesejahteraan dan kebaikan segala hal bagi warga masyarakat Turunan dan sekitarnya. (Kandar)