Kisah Petilasan Bertumpuk Batu Kerikil

oleh -5654 Dilihat
oleh
petilasan
Saat menengok petilasan Eyang Babad, warga melemparkan batu. (KH/ Kandar)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Awal mula berdirinya sebuah desa di Gunungkidul umumnya tak lepas dari cerita tutur atau folklor yang berkembang di masyarakat setempat. Pada fragmen cerita, ada yang bersifat umum, artinya punya kemiripan dengan desa lain, sementara sebagian penggalan cerita, lebih spesifik. Cerita rakyat acap kali erat dengan keberadaan petilasan atau materi berbagai benda, seperti bangunan, pusaka, serta tumbuhan berumur tua peninggalan masa lalu.

Seperti di Kalurahan Monggol, Kapanewon Saptosari, Kabupaten Gunungkidul. Legenda juga muncul dibalik terbentuknya kalurahan tersebut. Tokoh dengan panggilan Eyang Babad atau dengan nama lain Eyang Nara Kusuma disebut-sebut memiliki peran sentral.

“Dia yang pertama membuka kawasan untuk pemukiman. Saat itu baru ada 6 orang yang hendak menghuni,” kata sesepuh Kalurahan Monggol, Purwo Suwito beberapa waktu lalu.

Nama besar Raja Majapahit, Prabu Brawijaya juga tak ketinggalan mewarnai cerita lampau di kalurahan yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani lahan kering.

Kehadiran Brawijawa berhubung-kait dengan asal usul nama kalurahan. ‘Monggol’ sebagai nama kalurahan, terang mantan dukuh yang pernah menjabat selama puluhan tahun ini, berasal dari kata ‘Manggala’. Manggala sendiri merupakan  Bahasa Sansekerta. Diantaranya memiliki arti komandan atau pemimpin.

Petilasan
Pohon Serut petilasan Eyang Babad. (KH/ Kandar)

Dalam perjalanan, sebelum menuju Ngobaran tempat moksanya, Brawijaya singgah sebentar di Migit. Sebuah bukit sakral di wilayah Monggol. Di bekas pesanggrahannya terdapat batu berbentuk bak mahkota raja. Batu itu diberi pagar tembok setinggi pinggang dan berbalut kain putih.

Kala kalurahan atau dusun menggelar hajatan, layaknya Rasulan, warga masyarakat memasang sesaji seperti berwujud Pajang Ilang.

Konon peristiwa meninggalnya Manggala pengikut Brawijaya tak begitu berselang lama dengan tempo pembukaan kawasan. Hingga saat ini, sosok yang membuka wilayah, Eyang Nara Kusuma barangkali dianggap pahlawan. Masih dikenang penduduk setempat.

Petilasan atau makam Eyang Babad tak bernisan. Situs yang diyakini sebagai lokasi peristirahatan terakhir yang terletak di sebelah barat Dusun Monggol itu berwujud Pohon Serut (streblus asper).

Pohon serut tak begitu besar. Di pangkalnya terdapat batu kerikil serta batu agak besar bertumpuk mengumpul. Tak begitu tinggi, namun kerikil juga tak sedikit. Ihwal terkumpulnya kerikil tersebut berasal dari batu kerikil yang dilempar warga dan anak cucu keturunan Eyang Babad. Ya, petilasan Eyang pembuka wilayah itu sering dilempari batu.

“Itu kebiasaan warga, warga sengaja melempari petilasan karena mengikuti pesan Eyang Babad,” ujar Pur.

Konon kisahnya, Purwo Suwito membeberkan, Eyang Babad dahulu kala selain sebagai pembuka kawasan, juga merupakan tokoh pemberani. Dianggap pelindung warga setempat. Punya kebijakan dan jiwa sebagai pemimpin. Namun, ia juga punya kebiasaan nyeret atau nyandu.

“Istilah sekarang mabuk. Tapi nggak tahu dulu pakai apa,” sambung Pur.

Suatu kali pada saat nyandu, cucunya mengganggu. Eyang Babad lantas naik pitam. Sang cucu dengan seketika ditebas hingga tewas.

eyang babad
Pangkal Pohon Serut Petilasan Eyang Babad banyak batu kerikil. (KH/ Kandar)

Eyang Babad menyesali tragedi tersebut. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Sesalnya tak mampu mengembalikan nyawa sang cucu.

Dia lantas berpesan kepada anak cucu. Kelak, jika ajalnya menjemput, anak cucu dilarang merawat jasadnya bak merawat jasad manusia. Anggap saja seperti jasad anjing atau ular.

“Benar, jasadnya dikubur begitu saja. Tak berkenan diberi nisan. Lalu berwasiat pula kalau orang-orang hendak ziarah nggak perlu bawa bunga. Tapi, bawa batu saja lalu dilemparkan ke tempat penguburannya,” tutur Purwo Suwito. “Kalau melihat ular, kitakan biasa melemparinya dengan batu.”

monggol
Purwo Suwito, tokoh sepuh Kalurahan Monggol. (KH/ Kandar)

Pur melanjutkan, tak hanya itu saja pesan Eyang Babad. Ia juga tak berkenan makam warga dan keturunannya disandingkan dengan makam dirinya. Dikemudian waktu warga memang membuat makam. Namun, terpisah dengan petilasan Eyang Babad. Pemakaman umum Padukuhan Monggol persis berada di sebelah utara petilasan Eyang Babad.

“Pesan Eyang Babad pula, sebelum melempar batu warga diminta berujar begini ‘segala yang buruk darimu, bawalah sendiri, jangan turun ke anak cucu’, begitu kira-kira,” tukas lansia yang masih beremangat menggarap ladang ini. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar