KABARHANDAYANI, — “Tela, ki!” Umpatan yang nuansanya tak begitu kasar. Kontras dengan suara yang tertahan cekat waktu ‘kesereten’ nguntal tela bakar yang dikerik, dijodohkan kacang-brol; dan tentu kacang brol hasil (tanah) Gunungkidul. ‘Mabrut‘, gurih, campur manis. Kenikmatan makan tela adalah ambang antara mati tersedak, dengan euforia rasa ‘seret‘ setelah kunyahan tela melewati ‘gurung‘, lurung. Lega. Menuju muaranya di perut, atau di tanah sebagai ‘tai‘ (dulu waktu kecil sering ‘ngising‘ di kebonan). Dan, barangkali, dari fosil ‘tai‘ manusia yang ditanggalkan, sebab hanya produk buangan dari sari makanan yang disebut ‘tela‘, akan ditemukan nalar-nalar arkais (arkeo-pengetahuan) masyarakat yang justru menggerakkan jaman. Dan, di banyak ruang-waktu ketika manusia berjarak dengan tela, ia diingat sebagai makanan-utama yang penuh kenangan manis. Getir. Juga pahit.
Toh akhirnya, membincang suatu makanan tak bisa lepas dari ‘pandangan-ekologis’ masyarakat terhadap lingkungannya. Ekosistemnya. Suatu bentuk perhatian-intens (kadang berbentuk nalar sederhana yang bagi ‘nalar-kemajuan’ dianggap ‘usang’ dan ‘tak-ilmiah’; kadang berupa adat-kebiasaan yang ‘ndhesit‘) terhadap lingkungan biotiknya. Terasering di gunung-gunung kapur. Atau rotasi tanam di pinggir musim hujan; padi, lalu palawija, lalu pala kependhem, atau kacang yang ‘diseseli‘ jagung. Atau yang lain.
Lingkungan biotik bersifat alamiah. Ia, atau mereka, adalah alam. Jika memasukkan manusia di dalamnya, maka sifatnya bertambah: menyosial dan membudaya. Suatu komunitas harus menyesuaikan diri dengan kondisi geografi dan ‘iklim’ di lingkungannya. Bersama-sama. Melahirkan sistem budaya kompleks yang korelatif, integratif, dan kesalingbergantungan, antara linguistik, makanan, musik, teknologi, tari, religi, kesehatan, dan seterusnya. Hingga, secara kontinum, manusia terus ‘belajar’ bagaimana mengeksplorasi, merajut, mengalih-ubah, bahkan ‘mentransmutasi’ (bagi masyarakat lokal yang ahli alkimia) sumber-sumber kehidupan yang tersedia dan ‘disediakan’ demi kelangsungan hidupnya (untuk tak mengatakan secara langsung: siklus hidup manusia ‘mak bedunduk‘, tiba-tiba, tak terasa, habis untuk mengurusi hal-hal ini). Termasuk artefak budaya ‘tela‘ di atas.
Para leluhur mengkategorisasikan tela sebagai ‘buah’, atau hasil, atau ‘pala’. Dalam biotika modern, tela itu akar yang menggelembung; hasil dari menumpuk makanan. Akar yang menggelembung adalah akhir gerak Si Tela yang telah penuh (palakarta). Tela termasuk ‘pala kapendhem‘, buah (pala) yang terpendam. Di dalam tanah. Di bumi. Diharapkan, laku hidup masyarakat yang berbudaya-tela ibarat tela yang terpendam, ‘bumi pinendhem‘: memiliki sifat ‘andhap-asor‘. Di kala gagal panen tela, masyarakat seakan ‘mati ora kesasaban bumi’, mati tapi belum dipendham: sudah mlarat, tambah ditindas (pemerintah, tengkulak). Untuk memanennya, mengolahnya, masyarakat berbudaya-tela menggunakan piranti-piranti (palakerti): ganco, gathul, arit, salang, pikulan, lading, lesung-alu, dandang, lemper, munthu, dst. Justru melalui piranti-piranti masyarakat budaya-tela ini yang mengukuhkan adanya kecanggihan teknologi. Yang meninggikan kualitas dibanding efektifitas. Setelah ‘mbebak‘ tela rampung, lahirlah ‘gejog lesung’. Ditambahlah ‘jejogedan‘ ala kadarnya, kemudian drama. Akhirnya, yang disebut buah (hasil, pala) dari gerak masyarakat yang bertani-tela adalah kebudayaan-tela; yang yang kaya kompleksitas.
Pada waktu masyarakat memasuki masa panen tela, mereka menyebut itulah saat ‘palakrama‘ (manunggal) dengan alam, bersatu-tubuh, yang telah membuahkan (awoh) hasil (pala): ada tela ireng, kuning, ketan, karet, mertega, maniyot, pait, kapur, meni, pandesi, dst. Dalam makna sosialnya, dan biasanya linear dengan gerak manusia, mereka melaksanakan ‘palakrama‘; berumah tangga, menghasilkan keturunan. Seperti rumah-tangga agung (bebrayan) antara manusia dengan bumi, yang beranak tela. Maka, palakrama yang bermakna ‘omah-omah‘ merupakan penghormatan kepada bumi (dharma), sekaligus persatuan manusia dengannya, dan atas limpahan kasih sayang Tuhan (palal). Pada waktu-ruang mitis, nandur dan memanen buah (pala), masyarakat budaya-tela ‘ing salumahing bumi‘ mengadakan persembahan tela, demi menjauhkan ‘gelah-gelahing bumi‘ (kekotoran), dengan ‘sajen pala kependhem‘. Berupa tela dan ‘pala’ kependhem lain. Ini sajian kepada alam, karena ia yang melahirkan. Semua dilaksanakan oleh manusia sebagai laku suci agar selalu dilimpahi Tuhan hasil (pala) panen yang baik.
Ya, memang, limpahan kasih-sayang Tuhan kepada manusia, melalui alam yang mengucurkan ‘pala kependhem’ berupa tela dan teman-temannya, mengajarkan pada manusia agar mengimitasinya, menirunya, yaitu ‘palamarta‘: manusia yang penuh kasih sayang pada sesama. Meskipun di beberapa penggal episode manusia Gunungkidul para pahlawan (tokoh yang menyayangi bumi Gunungkidul) pengusung budaya-tela harus ‘lampus‘, harus mati (pala-astra), membela ‘senyari-bumi‘ Gunungkidul yang digagahi. Ada juga anak budaya-tela yang ‘cidra‘ (palacidra); meninggalkan jejak-jejak kesakitan di banyak bagian tubuh Gunungkidul. Sakitnya buah tela, yaitu kerusakan pada tela, ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida, bersifat racun. Tumbuhan perdu yang bernama tela ini, katanya, berasal dari kata ‘castilla‘, yaitu tanaman-budaya yang dibawa oleh orang Castilla (Spanyol). Kemudian Portugis. Entah. Yang jelas, pala kependhem tela kaya karbohidrat, minim protein. Namun ada beberapa jenis tela yang organnya mengandung racun. Mendemi. Sumber penyakit. Harga jualnya pun, kadang menyakitkan.
Jika saja arkeologi menemukan indikator-indikator tentang adanya ‘penyakit’, misalnya dari tulang-belulang yang ditemukan di peradaban-purwa Gunungkidul, peradaban goa, song, gunung, maupun lembah sungai, yang tentu karena ada ‘keberlangsungan’ anima-penyakit di sekujur fosil-fosil yang ditemukan, dan dalam rentang waktu yang panjang mampu bertahan sebagai ‘kode’ bagi komunitas Gunungkidulan di jaman sekarang untuk bisa mengenali apa jenis makanan yang dikonsumsinya, lantas mengeksplorasi lebih jauh, atau menangkalnya (baca: memutus keberlangsungannya), maka sistem pertahanan kesehatan masyarakat Gunungkidul melalui jenis, takaran, waktu, sebuah makanan seperti tela sebaiknya dikonsumsi, sebagai nalar-lokal masyarakat tentang lingkungan biotiknya, yaitu pandangan ekologis masyarakat Gunungkidul, akan semakin kuat. Sebuah nalar pra-sadar. Pra-sakit; sebelum sakit (pro-motif). Nalar mengonsumsi tela. Bukan melulu suatu ‘kurasi’: laku penyembuhan ketika ‘telah-sakit’ (kuratif) dengan mengonsumsi tela pula. Nah, dengan demikian, nalar-usang masyarakat lokal tentang jenis makanan yang dikonsumsinya, yaitu tela, yang berskala besar, yang sangat kuno dan sensual (romantik), yang melalui budi dayanya dapat menyokong pendapatan daerah yang sangat tinggi, akan, dengan terpaksa, diakui. Bukan malah diaku(isisi). Sebagai nalar modern yang ‘canggih’. Dalam bentuk kebijakan-kebajikan kelompok tertentu. Kemudian membuat propaganda, sekedar propaganda karena sudah diprogramkan, dengan memakan banyak biaya: “Ayo, sekarang kita makan tela, karena mengandung banyak nutrisi yang sangat dibutuhkan untuk ‘macul tegalan‘! Ayo, ayo!”.
Nutrisi (meminjam istilah biologi-kesehatan) merupakan ‘roh’ lingkungan biotik; sama halnya energi, atau lompatan-lompatan kaotik, sumber-sumber energi yang ‘para’ (dari suatu titik yang dalam, yang kadang tak terjangkau) dalam fisika sub-atom. Memang, nutrisi itu terbatas. Karena jangkauan (mikro-tele) manusia yang terbatas. Justru daya potensial yang terbatas dan lompatan manusia untuk menyatukannya (baca: menjadi pengepul, pemulung), mencarinya, memerasnya, adalah spirit. Maka spiritual. Roh-aniyah. Nutrisi itu, secara biotik, anima; roh penggerak. Agar keberlangsungan manusia terjamin. Geraknya: animasi. Isme-nya, dalam kajian religi, animisme.
Suatu saat ketika para keturunan budaya-tela memahami ini, yaitu spirit dalam makanan seperti tela, kemudian menerapkan-semaksimal yang dibisai dalam kehidupan sehari-hari, suatu keniscayaan bahwa kebahagiaan dan ketentraman hidup bisa tergapai. Keselarasan pangan, ekonomi, seni, religi, kesehatan, organisasi, dan sebagainya, tak lain adalah kebudayaan. Juga merupakan prinsip dasar (saka) sekaligus hasil (woh, pala) dari ‘kerja’ manusia, yang berhubungan dengan tumbuhan-pangan, yang pada hakekatnya merupakan sistem kerja nalar ekologis manusia, melalui konsep ruang-waktu terestrial yang sekaligus selestial, berkenaan dengan hal-hal di sekitar: yang-di-atas (pala-gantung: kates, gedhang, dll.), yang-di-tengah (pala-kesampar: timun, waluh, semangka, dll.), yang-di-bawah (pala kependhem: tela, gembili, uwi, dll.), yang-berumur-sedang di tegalan (palawija: jagung, kacang, kedelai, dll.), yang-berumur-panjang di pekarangan rumah (palakirna: jeruk, nangka, jambu, dll.).
Prinsip-prinsip pandangan ekologis manusia inilah yang akan memperkuat suatu kebudayaan. Sehingga, manusia Gunungkidul akan semakin paham siapa dirinya, akan ‘kejugrugan gunung kembang‘ (menemukan ketentraman) dan ‘ngontrakke gunung-gunung‘ (kondang; membuat orang-orang benar-benar takjub), bukan malah ‘kerubuhan gunung‘ (mendapat celaka). Dan, di banyak ruang-waktu ketika manusia Gunungkidul mencoba memutus jarak, memanggil kenangan tentang kebudayaan-tela, ia diingat sebagai produk olahan yang bertransformasi menjadi ratusan jenis. Berubah bentuk. Namun, para anak tela yang mengicipinya dalam berbagai kemasan baru tak akan pernah lupa. Mereka mengunyahnya, tersenyum (memang karena anima-tela), sambil menegaskan: “Tela iki“.
Caping gunung, icipana telane, Lur!
[KH/WG]