WONOSARI, (KH)— Pariwisata akhir-akhir ini disebut menunjukkan kemajuan yang signifikan. Pemkab Gunungkidul melalui berbagai instansi atau Satuan Kinerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait terus berupaya mendorong dan mendampingi masyarakat ikut ambil bagian menangkap segala peluang yang ada.
Salah satu peluang yang diharapkan di antaranya ialah penyediaan produk-produk olahan atau kerajinan berbahan lokal agar menjadi komoditas yang diminati wisatawan.
Upaya ini ternyata tidak mudah, agar diminati oleh wisatawan banyak faktor yang perlu diperhatikan sebagai penunjangnya. Seperti diketahui, etalase di beberapa toko oleh-oleh dan warung kuliner Gunungkidul, khususnya olahan pangan tidak sedikit disuplai produk dari luar. Oleh karena itu, perlu adanya dorongan terhadap berbagai hal agar produk lokal mampu bersaing.
Instansi yang menjadi leading sector dalam upaya fasilitasi terhadap Industri Kecil dan Menengah (IKM) ialah Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi, Energi dan Sumberdaya Mineral (Disperindagkop ESDM).
Seksi Industri Makanan, Minuman dan Kimia, Disperindagkop ESDM, Ninin Kristanti mengatakan, program yang dijalankan instansinya memprioritaskan dampingan kepada IKM yang sudah dirintis oleh masyarakat. Embrio IKM yang sudah ada diberikan sentuhan agar produknya lebih berkualitas.
“Meliputi peningkatan kualitas proses produksi pengolahan bahan baku, pengemasan, dan terkadang juga meliputi pengenalan produk,” jelasnya, Rabu, (5/1/2016).
Lanjutnya, misalnya memfasilitasi pelatihan pengolahan pangan berbahan ketela menjadi produk pathilo, kerupuk, lempeng, atau manggleng. Dirinya menyebutkan, setidaknya ada 78 sentra industri yang menjadi binaan secara rutin oleh Disperindagkop Gunungkidul.
Rinci dia, di antaranya mencakup industri pangan, kerajinan, sandang dan kulit serta logam dan elektronika. Dicontohkan untuk produk pangan, di antaranya produk gula kelapa dan turunannya, tempe, kerupuk Pati Aci, aneka camilan berbahan ketela, krecek ganyong dan lainnya.
Produk kerajinan antara lain; kerajinan kayu, bambu, batu alam, akar wangi, kerang dan mebelair. Sedangkan produk sandang ada batik, tas imitasi, tenun ATBM, blangkon dan lainnya. Sementara untuk industri logam meliputi kerajinan perak, tembaga, dan berbagai produk pande besi.
“Di dalam upaya meraih pasar wisatawan, unit usaha IKM setelah berdiri perlu melakukan inovasi, lalu kami terjun mendampingi menjadi fasilitator,” tambah Ninin.
Sementara itu, ditemui di ruangan yang sama, Seksi Isakola Disperindagkop ESDM Gunungkidul, Kun Maryono, menambahkan, berdasar inventarisir, di Gunungkidul sebenarnya terdapat sebanyak 20.800 unit usaha.
“Dari jumlah tersebut hanya sekitar 5 sampai 10 persen saja yang tergolong berjalan dengan baik, terkoordinir, serta eksis,” ujar Maryono.
Menurut pengamatannya, mengenai progres kemajuan sebuah unit usaha atau IKM erat kaitannya dengan mindset masyarakat. Masyarakat di Gunungkidul lebih condong memiliki mindset menjadi pekerja daripada sebagai entrepreneur atau wirausaha.
“Sepertinya gampang puas, minim inovasi. Hanya sedikit saja yang gigih banyak kreasi dan terobosan. Apabila dibandingkan dengan wilayah Yogyakarta, Sleman, Bantul (Kartamantul) sepertinya kalah fight,” urainya.
Disebutkan, tidak sedikit yang benar-benar berupaya maksimal sehingga pasar produk mereka merambah kota-kota besar di Indonesia bahkan pasar internasional. Dirinya yakin, seiring perkembangan zaman generasi mendatang pasti mengalami perubahan dari masyarakat agraris menjadi industrialis yang mendorong perbaikan ekonomi. (Kandar)