Demang Mangunwedana Nglipar: Tokoh Pemasang Anjir Batas Yogya-Surakarta

oleh -47412 Dilihat
oleh
Makam R. Demang Mangunwedono Nglipar. KH/ Kandar

NGLIPAR, (KH)— Dahulu Kerajaan Mataram masih satu, belum ada Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Tetapi setelah adanya Perjanjian Giyanti, dikenal adanya peristiwa “Palihan Nagari“, kerajaan dipecah menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.

Menurut penelusuran dokumen sejarah dan dari cerita tutur di kawasan utara Gunungkidul yang berhasil dihimpun, perpecahan ini sempat membuat perselisihan sehingga terjadi perang karena perebutan batas wilayah. Kisah peristiwa perebutan batas wilayah tersebut juga terjadi di wilayah Gunungkidul bagian utara. Tokoh dalam sejarah perebutan batas wilayah Yogyakarta-Surakarta ini memang tak banyak dikenal. Dialah Demang Nglipar R Mangunwedana.

Darsono, warga Desa Nglipar, buyut dari Demang Mangunwedana yang dijumpai KH (13/11/16) memaparkan kisah perjuangan kakek buyutnya dalam mengikuti Sayembara atau Pasanggiri yang diadakan oleh raja Kasultanan Yogyakarta waktu itu. Sayembara berupa pemasangan patok atau anjir yang menjadi tanda batas teritorial antara Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

Sesudah Perjanjian Giyanti tahun 1755, wilayah Kerajaan Mataram secara hukum sudah selesai dibagi menjadi dua, yakni teritori Yogyakarta dan teritori Surakarta. Namun, saat itu belum ada kejelasan mengenai batas definitif atau titik-titik batas secara geografis. Bahkan penentuan tapal batas tersebut tidak mudah dan mengalami berbagai hambatan.

Pada saat itu, wilayah yang masih mengalami perselisihan antara lain adalah perbatasan mulai dari daerah Prambanan ke timur sampai daerah Tegalrejo, Watugajah, Candi Risan sampai daerah Semin. Berbagai rintangan menjadikan tidak mudah dan tidak tuntas untuk menentukan tapal batas kedua kerajaan baru yang asalnya masih bersaudara kandung ini.

“Lebih-lebih untuk memasang patok atau pada waktu itu disebut anjir yang permanen. Pada waktu itu, rakyat perbatasan silih berganti memasang patok. Pagi dipasang, sore hilang. Sore dipasang malam hilang. Warga perbatasan utara maupun selatan saling menyalahkan tak henti-henti,” demikian urai Darsono mengutip tulisan riwayat Demang R Mangunwedana yang disusun salah satu trah keturunan yang telah disunting menjadi tulisan berhuruf latin oleh Libani (alm) kakak Darsono.

Ia melanjutkan cerita, wilayah sepanjang lahan perbatasan waktu itu tidak aman. Keributan di tingkat rakyat terjadi, berpindah-pindah untuk memperebutkan batas. Perkelahian secara berkelompok atau perkelahian massal yang melibatkan prajurit Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sering terjadi. Untuk mengatasi keributan tersebut, Raja Kasultanan Yogyakarta mengadakan sayembara atau pasanggiri, yang berisi: kepada seluruh kawula Mataram khususnya daerah Gunungsewu (Gunungkidul), siapa saja yang dapat menenteramkan daerah perbatasan dan menetapkan patok (anjir) batas antara daerah Yogyakarta dan daerah Surakarta akan mendapat penghargaan dari Keraton Mataram (Yogyakarta).

Pada waktu itu, wilayah Gunungsewu (Gunungkidul) belum ada bupati. Yang ada beberapa pimpinan wilayah dengan sebutan Kepanjen, Kademangan, Bekel Tua, Bekel, dan pemuka masyarakat lainnya. Pemerintahan sistem kerajaan masih berjalan, dimana penghasilan panji/demang/bekel berasal dari hasil pertanian masyarakat (asok glondong atau pengareng-areng) biasa disebut bulu bekti dari masyarakat yang diatur oleh sesepuh masyarakat yang berpengaruh atau berwibawa.

Darsono, warga Padukuhan Nglipar Lor, Desa Nglipar, merupakan Buyut R. Demang Mangunwedono Nglipar. KH/ Kandar
Darsono, warga Padukuhan Nglipar Lor, Desa Nglipar, merupakan Buyut Demang Nglipar R Mangunwedana. KH/Kandar

Perang Perebutan Batas untuk Pemasangan Anjir Yogyakarta – Surakarta

Dikisahkan, pemuda dari Wiladeg bernama R Mangunwedana menjabat Bekel melanjutkan tugas dari mertuanya Bekel Wiryadipa Munggi yang telah berhenti atau lereh. Pada waktu itu di Munggi selalu ada gangguan keamanan, berkat kepemimpinan R Mangunwedana, kondisi keamanan berangsur membaik, hingga seluruh wilayah Munggi aman tenteram. Keberhasilan itu membuat pemerintahan Kepanjen memanggil R Mangunwedana dengan tujuan mengangkatnya menjadi demang di wilayah utara berkedudukan di Nglipar. Hal ini karena wilayah perbatasan utara masih belum aman. Ia mendapat tugas menjaga Kademangan Nglipar dengan wilayah meliputi: Karang Tengah, Ngalang, Patuk, Dungkeris, Pengkol, Kedungpoh ke timur sampai perbatasan Ngawen-Semin.

Untuk menjalankan tugas berat tersebut, sewaktu awal menjabat Demang di Nglipar, ia mencari wisik atau bersemedi dengan cara matiraga tapa pendhem selama 1 tahun. Hal tersebut bertujuan untuk memohon kekuatan dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Bertapa selama satu tahun berhasil dilaksanakan, ia lantas kembali bertugas sebagai demang. Kondisi perbatasan Yogyakarta – Surakarta waktu itu semakin tidak aman, setiap saat terjadi konflik perebutan batas. Dengan adanya sayembara dari Keraton Yogyakarta, Mangunwedana secara diam-diam mempersiapkan diri untuk mengikuti sayembara pasang anjir.

“Beberapa hal yang ditempuh Mangunwedana antara lain; ia melakukan perjalanan untuk mengatahui seluk-beluk perbatasan dari Prambanan hingga Candi Risan Semin. Dari kediamannya di Trukan Nglipar, ia memulai dengan menuju ke arah barat,” terang lelaki mantan tentara relawan Dwikora ini.

Darsono menyambung, dari Nglipar atau waktu itu disebut Kajardimora, Mangunwedana pergi ke barat melewati Ngalang lalu ke utara menuju ke Gedangan Hargamulya. Sesampainya di Candi Gedangan, Mangunwedana beristirahat. Ia mampir di warung penjual dawet. Menurut cerita, penjual dawet merupakan seorang perempuan yang berparas yang cantik. Diceritakan kemudian keduanya saling terpikat dan terlibat dalam percakapan serius.

Karena waktu beranjak petang, Demang Mangunwedana menginap di rumah perangkat desa setempat. Kebetulan ia adalah orang tua dari gadis penjual dawet itu. Sesudah makan malam, selaku Demang Nglipar, Mangunwedana menyampaikan maksud perjalanannya ke tempat tersebut. Perbincangan berlangsung hingga larut malam. Di akhir pembicaraan, ia juga menyampaikan niat melamar putri si tuan rumah. Saat itu juga lamaran dapat diterima.

Berdasar cerita, Demang Mangunwedana menikahi penjual dawet yang kemudian dikenal dengan nama Nyi Mangun Wedana II, putri perangkat Desa Gedangan Hargamulya Nglipar. Perempuan anak perangkat Desa Gedangan ini yang kemudian disebut Eyang Candi. Sebelumnya menikahi Nyi Mangun Wedana II, Demang Mangunwedana telah memiliki istri yang merupakan putri Bekel Wiradipa Munggi, yang disebut Nyi Mangunwedana I. Dituturkan kemudian, perangkat Desa Gedangan Hargamulya yang kemudian menjadi mertua Demang Mangunwedana bersedia membantu secara moril dan materiil apa yang menjadi niat menantunya. Hal ini membuat Demang Mangunwedana menjadi semakin mantap dan bersemangat dalam mengikuti pasanggiri atau sayembara dari raja Yogyakarta.

Setelah selesai melakukan peninjauan perbatasan dari wilayah barat hingga timur, Demang Mangunwedono kembali ke Candi Gedangan untuk menyampaikan siasat dan strategi yang akan ditempuh sekaligus berpamitan kepada istrinya. Tugas cukup berat tidak mungkin selesai dalam sehari dua hari, bahkan bisa sampai hitungan bulan. Hal ini karena kondisi medan dan jalan antar desa di wilayah tersebut belum semudah seperti sekarang. Wilayah dan kondisi jalan masih didominasi  jalan setapak di tepi terasiring dan perbukitan.

Mangunwedana lantas menuju kediamannya di Trukan atau Kajardimora Nglipar. Ia mengumpulkan semua perangkat kademangan, penasehat, pendherek, pembantu dan orang-orang pilihan untuk bermusyawarah agar pelaksanaan sayembara terlaksana dengan baik, tidak banyak menimbulkan korban khususnya kawula Gunungsewu (Gunungkidul).

Beberapa persiapan yang dilakukan di antaranya; memilih prajurit yang tangguh dan sakti, membentuk prajurit telik sandi. Di samping memakai pakaian kaprajuritan, ada yang berpakaian model Surakarta, ada pula yang memakai pakaian gaya Mataram Yogya (surjan lengkap). Kemudian juga menentukan isyarat atau sandi (kode) untuk menentukan kawan atau lawan.

Serta kemudian membawa persenjataan lengkap seperti keris, tombak, cundrik, pedang, klewang, bedil, bandil, tulup, gembel, bindi, panah, tameng, umbul-umbul aji jimat, klambi gondil serta mantra kusuma dan lain-lain. Selain itu tidak lupa menyiapkan patok atau anjir berupa kayu randu yang mudah hidup untuk ditanam. Persiapan yang dilakukan juga termasuk konsumsi (logistik) ketika berada di Gedangan, Ngawen, atau di wilayah perbatasan lainnya.

Masih dituturkan Darsono, setelah semua bekal siap, Demang Mangunwedana beserta para pengikutnya berangkat ke daerah perbatasan siap menghadapi musuh. Oleh karena satu sama lain sudah saling intai dan saling ejek, pasukan dari kubu Surakarta juga sudah siap berperang ditandai dengan memasang umbul-umbul, maka terjadilah pertempuran itu. Diawali penggunaan senjata jarak jauh hingga kemudian senjata jarak dekat dipakai. Pasukan  garis depan Demang Mangunwedono terpukul mundur karena kalah dari sisi jumlah. Daripada jatuh korban, mereka mendekat ke tempat singgah Mangunwedana.

Melihat keadaan itu, Mangunwedana tanggap, ia lantas maju ke depan bersama pengawalnya. Ia menggunakan payung seret dan memegang tombak menghadap ke arah musuh, berdiri tegak mantak aji sambil bermeditasi memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mangunwedana menggunakan kekuatan batin aji penggendaman. Serta merta terjadilah mendung gelap disertai angin kencang, hujan badai disertai petir terjadi menerjang musuh, lantas pihak lawan lari tunggang langgang meninggalkan arena pertempuran karena ketakutan dan kedinginan. Setelah musuh pergi, Demang Mangunwedono mengakhiri semedinya. Prajuri dan pengikutnya tertegun melihat peristiwa tersebut. Mereka mengaku melihat bahwa tombak yang dibawa demang berubah menjadi sinar api besar menakutkan, dihiasi janur kuning, seakan-akan seperti ular weling mencari mangsa.

Setelah musuh pergi perang selesai, tidak ada korban jiwa satu pun. Lantas dimulailah pemasangan anjir. Penancapan patok atau penanaman anjir pertama dilakukan oleh Demang Mangunwedana. Setelah menanam, ia meminta untuk dicabut. Apabila tidak dapat dicabut, hal tersebut menandakan letak patok sudah benar. Apabila salah, maka akan tercabut, sehingga patok atau anjir tersebut perlu dipindah.

Penanaman patok dilakukan dari sebelah barat ke timur yang diikuti oleh semua masyarakat dan prajurit, termasuk prajurit telik sandi yang memakai pakaian gaya Surakarta. Setelah sampai di daerah Candi Risan mereka membuat tugu. Pada siang itu cuaca sedang terik (Jawa: bedhug), maka beristirahatlah mereka di bawah pohon jati, sehingga demang memberikan nama wilayah itu dengan sebutan Jati Bedhug.

Panggilan Menghadap Raja Mataram

Atas keberhasilannya, Demang Mangunwedana diminta menghadap Raja Kasultanan Yogyakarta. Atas jasanya, Mangunwedana mendapat penghargaan dari raja. Darsono menyebutkan, penghargaan dari raja ada tiga hal, namun hanya dua saja yang diterimanya.

“Sebenarnya dari kedudukan Demang hendak diangkat menjadi Bupati Gunungsewu (Gunungkidul), tetapi ditolak karena eyang demang mengaku dan menyadari bahwa dirinya buta huruf sehingga tidak pantas. Ia hanya  mengajukan permohonan, bahwa kelak suatu saat nanti anak turunnya saja yang menjadi bupati Gunungkidul,” terang Darsono. Permintaan tersebut disanggupi oleh Raja Kasultanan Yogyakarta waktu itu. Dua penghargaan lain yang diterima ialah putri triman atau hadiah istri dari dalam keraton. Lantas diterima pula payung seret dan kasrempang kuning kademangan.

Hal senada juga disampaikan Bambang Setiawan BS, warga desa Kepek yang saat ini menjabat Kades Kepek Wonosari yang masih memiliki garis keturunan Mangunwedana. Sebagai canggah, ia pernah mendengar dari kakek-kakeknya, bahwa alasan penolakan tidaklah semata karena tidak bisa baca tulis, tetapi dipahami dan mengandung pesan bahwa Mangunwedana berjuang tanpa pamrih, berjiwa besar, serta tidak haus kekuasaan untuk menjadi penguasa dalam lingkup lebih besar.

“Dikisahkan dalam sebuah perbincangan antara Demang Mangunwedana dengan anak cucu di suatu sore, bahwa Eyang Demang merasa tidak pantas apabila jabatan dari seorang demang langsung naik menjadi bupati,” tambah Bambang.

Sementara itu, untuk menjaga keamanan dan stabilitas daerah Gunungsewu atau Gunungkidul, putra keturunan dari Demang Mangunwedana diangkat menjadi punggawa atau perangkat atau perabot di beberapa wilayah. Di antaranya; R Mertanangga sebagai Demang Ngalang berada di sebelah barat menjaga daerah Patuk, Serut, Ngara-ara dan sekitarnya, R Sasrawana mengamankan sebelah utara yakni Tegal dan Watu Gajah ke timur menjadi Demang Candi Risan perbatasan Semin, R Manguntirta I Bekel Sepuh mendampingi R Mangunwedana di Kademangan Nglipar bagian tengah.

Lalu R Santadiwirya di Remang Jomblang Karangasem Bedoyo, untuk menjaga perbatasan daerah Wuryantoro, Eromoko dan Pracimantoro, R Wiryasacaka berada di sebelah barat daya menjadi Demang Wiyoko. R Mangun Setika sebagai Demang Grogol daerah Kulwa, Wiladeg dan sekitarnya. Lalu adik kandungnya R Harja Setama sebagai Demang Bolo dan sekitarnya.

Darsono menceritakan, pemerintahan kademangan berakhir tahun 1908, tetapi dalam pelaksanaannya sampai pada tahun 1912. Sesudah itu diganti dengan pemerintahan kalurahan. Adapun Lurah Nglipar pertama R Manguntirta II, anak Mangun Tirta I (1908-1947), ia didampingi R Mangunmenggala. Lurah Nglipar II Radya Sastrawiyana putra R Menggala. Lantas Lurah Nglipar III Purwanto dari Ngaliyan.

Sebagai pelengkap kisah perjuangan Demang Mangunwedana di atas, berikut silsilah yang disusun oleh Trah keluarga Demang Mangunwedana. Eyang Demang R Mangunwedana lahir pada tahun 1777, wafat pada tahun 1915, memiliki usia 138 tahun. Ia mempunyai 3 istri, yaitu:

  1. Nyi Mangunwedana I, putri Bekel Wirodipo Munggi, memiliki anak 6.
  2. Nyi Mangunwedana II, putri perangkat Desa Gedangan Hargomulyo Nglipar, disebut Eyang Candi, memiliki anak 5.
  3. Nyi Mangunwedana III, keturunan BRA Setikatmaja, triman dari Kraton Yogyakarta mempunyai putra 7.

Urutan kelahiran putra-putri dari ketiga istrinya sebagai berikut;

  1. Ki Mangun Suwarna (Munggi) dari Istri Ke I
  2. Nyi Mertanangga (Ngalang) dari Istri Ke I
  3. Ki Santa Dirya (Nglipar) dari Istri Ke I
  4. Nyi Sawedana (Nglipar) dari Istri Ke I
  5. Ki Irabangsa (Munggi) dari Istri Ke I
  6. Ki Sasrawana (Nglipar) dari Istri Ke I
  7. Ki Mangunsetika (Grogol) dari istri ke III
  8. Ki Mangundirya (Nglipar) dari istri ke II
  9. Ki Manguntirta I (Nglipar) dari istri ke II
  10. Ki Natareja (Grogol, Karangmojo) dari istri ke III
  11. Nyi Kertawedana (Nglipar) dari istri ke III
  12. Ki Jayalesana (Wiladeg) dari istri ke III
  13. Nyi Wirya Sacaka (Wiyoko) dari istri ke III
  14. Ki Mangun Menggala (Nglipar) dari istri ke II
  15. Nyi Abdul Kadir (Kajar) dari istri ke II
  16. Nyi Mangundimeja (Grogol, Paliyan) dari istri ke III
  17. Nyi Kramadimeja (Karangmojo, Paliyan) dari istri ke II
  18. Nyi Wanabaya (Katongan, Nglipar) dari istri ke III.

(Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar