Dari Kediaman Pak Dayat, Puluhan Ribu Kerupuk “Subur” Disebar Setiap Hari

oleh -15678 Dilihat
oleh
Syair Hidayat sedang menjemur kerupuk. Kerupuk merek "Subur" miliknya sudah cukup dikenal di Gunungkidul. KH/ Kandar
Syair Hidayat sedang menjemur kerupuk. Kerupuk merek “Subur” miliknya sudah cukup dikenal di Gunungkidul. KH/ Kandar

WONOSARI, (KH)— Sudah tidak asing lagi di lidah masyarakat, kerupuk berbahan tepung tapioka yang biasa disebut kerupuk Terung ini begitu renyah kala dimakan. Sebagai tambahan lauk saat jajan di warung soto, bakso, mi ayam atau masakan Padang.

Masyarakat juga sudah cukup mengenal merek kerupuk “Subur” yang tertera di tempolong atau kaleng di sudut-sudut meja warung makan. Ternyata pembuatnya merupakan warga kelahiran Ciamis yang sengaja merantau ke Gunungkidul.

Sekitar tahun 1990-an ia dan keluarganya menjadi warga urban di Kabupaten terluas di DIY ini. tidak ada tujuan lain, ia memang berniat mendirikan usaha pembuatan kerupuk Terung setelah banyak belajar dari saudara yang lebih dahulu memulai usaha serupa di tanah kelahiran.

“Awal mula jumlah produksinya masih sedikit. Kita kenalkan dulu seluas-luasnya,” kata Syair Hidayat (56) bercerita, Kamis, (2/3/2017) disela kesibukannya menjemur kerupuk.

Lima tahun berselang sejak pertama berdiri, kerupuk buatannya mulai banyak peminat. Sedikit demi sedikit jumlah produksi kerupuk naik. Dari puluhan kilogram menjadi ratusan kilogram bahan baku habis setiap harinya. Saat ini setidaknya 200 kilogram tepung tapioka habis dalam tempo sehari.

Dari dua ratus kilogram bahan baku tersebut, jelasnya, dapat dibuat menjadi sekitar 20.000-an biji kerupuk. Puluhan ribu kerupuk tersebut didistribusikan ke seluruh penjuru Gunungkidul. bahkan terkadang hingga sampai di Pracimantoro, Jateng.

Ia menjadi satu-satunya pembuat kerupuk dari keluarga besar asal Ciamis yang hadir di Gunungkidul sebagai pembuat kerupuk. Belasan kerabat yang lain mendirikan usaha sejenis di wilayah DIY dan Jateng. Tak semata ingin mengantongi keuntungan sebanyak-banyaknya, dalam menentukan harga ia masih mempertimbangkan daya beli masyarakat tingkat bawah di Gunungkidul.

“Kalau harga kerupuk milik saudara di Jogja dan wilayah lain lebih mahal ketimbang punya saya. Saya menjual kepada pengecer baik di pasar, aneka warung makan dan toko kelontong Rp. 200 per bijinya,” terang lelaki yang akrab di panggil Pak Dayat ini.

Hidayat memaparkan urutan proses pembuatan kerupuk, pertama kali bahan baku tepung diseduh air panas, lalu diberikan bumbu dengan takaran tertentu, setelah itu digiling sampai kenyal. Selanjutnya, dicampur tepung yang masih kering, digiling lagi baru kemudian dicetak, lantas dikukus. setelah matang, barulah dijemur.

“Kemudian digoreng. Apabila cuaca terik mendukung, sejak dari bahan hingga menjadi kerupuk siap konsumsi kira-kira memakan waktu dua hari,” ulasnya.

Dua puluh enam tahun menjalani usaha membuat dan memasarkan kerupuk, Hidayat mengaku bersyukur dapat memberikan fasilitas pendidikan anaknya hingga bangku kuliah. Warga yang tinggal di Bansari, Kepek, Wonosari ini sekaligus menjadikan komplek kediamannya sebagai tempat produksi. Dari situlah puluhan ribu kerupuk didistribusikan untuk dinikmati konsumen setiap harinya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar