WONOSARI, (KH),– Dalam rangka menambah pegetahuan Kader Fatayat, Divisi Litbang Pimpinan Wilayah (PW) Fatayat DIY bekerjasama dengan Pimpinan Cabang Fatayat Gunungkidul menyelenggarakan Diskusi Buku Qiraah Mubaadalah, Minggu, (20/1/2019) di SMK Ma’arif Wonosari.
Kegiatan dihadiri oleh kurang lebih 50 orang peserta yang berasal dari Pimpinan Anak Cabang (PAC) Fatayat Kecamatan, GP Ansor, IPPNU, IPNU dan masyarakat umum.
Hadir sebagai pembicara, KH. Zudi Rahmanto, M. Ag., Ketua Divisi Litbang PW Fatayat DIY, Muyassaroh Hafizah, dan penulis buku, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.
Diskusi yang digelar merupakan program rutin dari PW Fatayat DIY khususnya Divisi Litbang. Sementara, bedah buku Qiraah Mubaadalah di Gunungkidul merupakan yang pertama kalinya di DIY.
Ketua Divisi Litbang PW Fatayat DIY, Muyassaroh Hafizah, menuturkan, buku Qiraah Mubaadalah yang ditulis oleh cendekiawan muslim, KH. Faqihuddin Abdul Kodir mengupas tuntas tentang bagaimana cara yang bijak dalam memandang perbedaan (termasuk laki-laki dan perempuan) dan menggiringnya dalam sebuah konsep berfikir mubaadalah = kemaslahatan.
“Dalam kutipan Dr. Nur Rofiah, Bil Uzm, dalam buku ini, beliau menyampaikan bahwa Qiraah Mubaadalah ini juga telah membantu mengatasi ketatnya aturan gender sehingga memungkinkan lahirnya narasi Islam yang menempatkan laki-laki dan perempuan setara sebagai manusia,” paparnya.
Lebih jauh Muyassaroh menegaskan, di dalam ilmu Fikih, kadang kala tidak bisa terlepas dari permasalahan bias gender, namun ilmu fikih jugalah yang menyediakan solusi atas masalah tersebut.
Beberapa catatan yang beliau sampaikan terhadap buku ini diantaranya adalah bahwa secara fisik buku ini barang kali akan kurang dilirik oleh generasi mileneal karena sangat tebal (616 halaman). Sehingga sangat diperlukan pembahasan secara terpisah dan sederhana agar buku yang dinilainya sangat penting itu dapat dikonsumsi oleh generasi milineal.
Dalam kesempatan yang sama, Zudi Rahmanto, menegaskan, bahwa Qira’ah Mubadalah bisa menjawab bagaimana membangun relasi yang baik, dan tidak ada kata-kata menyalahkan teks. Sebab sebenarnya yang perlu diluruskan adalah kerangka dan paradigm berpikir tentang teks tersebut.
Zudi memaparkan bahwa ketika Islam datang, kondisi masyarakat arab pada saat itu sangat kental dengan nuansa rasial, feudal. Dan dalam kondisi ini perempuan dianggap sebagai beban. Siapapun yang memiliki anak berjenis kelamin perempuan akan masuk dalam “terrible system” sehingga kehadiran bayi perempuan sangat tidak diinginkan. Perempuan pada zaman itu dianggap sebagai “thing” dan bukan “person” sehingga dalam cara berpikir orang arab saat itu perempuan dapat ditukar, diperjualbelikan, diperbudak, dan sejenisnya layaknya “thing” (barang).
“Islamlah yang kemudian datang dan memuliakan perempuan,” ujarnya.
Dalam memahami perspektif gender, Zudi Rahmanto menandaskan, bahwa ketatnya aturan gender yang ada saat ini adalah akibat dari cara berpikir manusia. Jadi bukan fikihnya, bukan teksnya, bahkan bukan ayatnya yang keliru, melainkan alam bawah sadar manusia saat membaca teks itulah yang kurang pas, karena yang lebih dimenangkan adalah tentang persepsi.
Qira’ah Mubadalah, menurut KH. Zudi merupakan konsep ‘kesalingan’ yang dapat diaplikasikan dalam keadaan apapun dan di manapun. Dan semua hendaknya berusaha menghembuskan nafas kesalingan dalam lini-lini kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, kita perlu untuk melakukan “ikrar kesalingan” (saling meng hargai, saling memahami, saling membantu, saling memaafkan, saling menjaga, dan saling-saling maslahah yang lain) dalam hubungan keseharian di dalam keluarga, di tempat kerja, ataupun di tengah masyarakat.
Sementara itu, penulis buku, KH. Faqihuddin Abdul Kodir menyampaikan, bahwa buku yang ditulis merupakan hasil dari riset selama 20 tahun tentang konsep kesetaraan gender yang bersumber dari kitab kitab hadis, buku buku kontemporer, jurnal, majalah. Bahkan disertakan indeks aya-tayat Al Qur’an serta indeks teks-teks hadits. Ayat Alqur’an yang menurutnya sangat mewakili buku adalah QS. at-Taubah (9):71 yang sarat dengan konsep kemitraan dan kerjasama antara laki-laki dan perempuan.
Dalam sedikit pemaparannya, Faqihuddin Abdul Kodir menyampaikan, setelah pendahuluan di bab 1, bab 2 menyajikan tentang gagasan dan konsep Mubadalah baik dalam Al Qur’an dan Hadist, serta tauhid sebagai basis Mubadalah dan konteks gagasan Mubadalah.
Lanjutnya, dalam bab 3 terdapat pembahasan mengenai metode interpretasi Qira’ah Mubadalah dalam tradisi Islam, dalam isu-isu gender, serta pendapat para ulama.
Bab 4 tentang isu-isu eksistensi dan jati diri kemanusiaan. Bab 5 tentang isu-isu pernikahan, keluarga, dan rumah tangga, dan bab 6 tentang isu-isu publik, baik itu agama, sosial, ekonomi maupun politik.
“Buku ini sangat keren untuk dibaca, dan kader Fatayat harus beli,” kelakarnya. (red.)