NGLIPAR (KH), — Alam adalah manusia, manusia adalah alam. Ini ciri manusia tradisional, manusia kuno. Waktu dan ruang (geografi) mengikat eksistensinya. Manusia merupakan pasangan alam sekaligus Si Alam itu sendiri. Manusia bukan melulu subjek yang mengamati alam; terpisah, berjarak. Atau diamati alam; sebagai objek. (Seperti relasi antara manusia dengan Sang Pencipta Alam bagi sebagian kaum monoteis). Namun ibarat dua peta yang berskala. Sebuah pendaran. Pancaran. Emanasi. Maka, waktu-waktu mitis sepanjang manusia ‘mengada’ bersama alam begitu dihormati. Waktu ‘nandur’ (menanam biji), waktu embrio (janin), waktu lahir, waktu beranjak dewasa, waktu berumah-tangga, waktu mencapai puncak, waktu bergumul derita, waktu berjuang, waktu memiliki keturunan, waktu sirna (mati-raga), dan waktu lahir kembali (kembali ke kemurnian). Siklus manusia adalah siklus alam. Laku manusia adalah ‘ngreksa’ alam. Begitu juga sebaliknya, tak henti-hentinya, dengan bahasanya sendiri, alam ‘mbaturi’ manusia.
Ketika suatu gerak dianggap selesai (untuk sementara) dan akan dimulai kembali, inilah waktu tepi. Waktu limit. Di waktu ini, manusia mengulang memori kuno. Menirunya (kadang dengan kesadaran, kadang tanpa). Merangkai harapan menyongsong putaran waktu selanjutnya. Sementara kehadiran waktu tak bisa lepas dengan ruang. Umpama roh dan badan. Sehingga ruang dimana waktu mitis berputar sangat dihormati. Ruang di mana suatu siklus kelahiran, kehidupan, dan kematian bergulir begitu dipundhi. Kadang berbentuk kode-kode simbolik, kode suci, kadang menjelma tabu, kadang batu. Waktu dan ruang dalam kondisi ini disakralkan. Diciptakanlah ritus dan upacara oleh manusia di bumi. Dan tentu, bukan disembah seperti kecurigaan banyak manusia. Yang curiga pun sebenarnya menyakralkan waktu dan ruang.
Waktu ketika manusia ‘dibentuk’ (ditanam, dibijikan) dan ‘ditiupi’ roh, dalam ruang yang disebut ‘rahim’, adalah waktu sakral, waktu suci, dalam ruang yang sakral-suci pula. Waktu ini adalah ketika mitokondria-gen menelusup, sperma dan sel telur bersatu, dalam ruang yang disebut rahim. Manusia ‘ada’ bersama keempat saudaranya ketika dalam rahim. Orang tradisional menyebutnya ‘sedulur papat’. Kemenjadian sang manusia dari rahim Ibu Manusia bersama-sama dengan ‘kawah’ (ketuban), ari-ari, darah, dan pusar. Saudara-saudara manusia ini akan menemani, mbaturi, menjaga manusia dalam proses ‘menjadi’ di kehidupannya (to be becoming). Atas restu Sang Ibu.
***
Kelahiran Gunungkidul, sebagai anak yang lahir dari rahim Ibu Bumi, sebagai suatu kesatuan antara roh dan tubuh, ditemani dan dijaga oleh baturnya. Ya, banyak di antara keturunan Gunungkidul yang telah tahu, bahwa ‘batur’ Gunungkidul adalah Batur Agung. Secara geomorfologi, Batur Agung berwujud pegunungan panjang dari Gunung Panggung hingga Panggang. Ada pula batur di sisi selatan, wali pegunungan karst, yaitu Gunung Batur yang di puncaknya terdapat Gunung Panggung pula, yang ‘mbaturi’ di selatan. Nadi Gunungkidul adalah Oya; dijaga oleh Gunung Tanggul-asi, atau Baturagung, agar tak luap. Oleh para geolog, katanya, kawah gunung api lah yang setia menemani lahirnya sebuah gunung.
Kawah (ketuban) bumi menemani munculnya Formasi Batur Agung sebagai batur (saudara) alam Gunungkidul (Wangsa Gunungkidul) bertransformasi. Ari-ari adalah ruang tempat alir darah: l(ek)uk–l(i)uk tubuh kali Oya. Darahnya alir air Kali Oya. Pusar adalah ‘pancer’. Inti atom atau nukleus di dunia-mikro. Dengan demikian, pusarnya (dunia-makro) adalah koordinat tengah: Wonosari sebagai pusat dunia Gunungkidul (axis-mundi). Ledhok atau cekungan Wonosari sebagai pusat peradabannya. Laras dengan perintah Yang Hamengkubumi di Mataram di masa-masa berikutnya untuk membuka hutan Nangka Dhoyong di tengah-tengah Gunungkidul sebagai pusat peradaban; pusat kota; hutan yang bermutasi menjadi asri, ‘wanasari’.
Para batur ini semacam malaikat penjaga Gunungkidul; di berbagai penjuru. Para batara dan batari yang anggunungkidul; turun ke bumi Gunungkidul. Gunung Wayang, di sisi Barat-Utara, adalah batur. Gunung Punakawan adalah batur. Gunung Jagalawang di perbatasan Gedhangsari dengan Wedhi, Gunung Mencu di Pilangrejo tempat Bu Rubinem ngarit. Gunung di waktu kemudian, para penjaga Gunungkidul adalah para bathara: Bathara Katong, Bathara Wijaya (Brawijaya). Mereka para batur, para penjaga. Penjaga pintu.
Karena, di sebelah pintu, seperti batur manusia yang baru saja lahir dirukti di sisi pintu, dijaga dengan nyala, peninggalan arkeologis (baca: nalar arkais yang inheren dalam artefak) formasi Batur Agung berwujud batu serupa lingkaran yang terbelah menjadi tiga. Tiga tapi satu (three forms). (Kemanunggalan dalam Hinduisme dan Kristologi). Orang tradisional Jawa memiliki nalar kosmogoni (penciptaan alam) berupa ‘endhog-jagad’, atau ‘tiga-an’ dunia, atau ‘telu-an’ (telon) semesta. (Sel) telur dunia. Bathara Antiga (cangkang telur), Bathara Ismaya (putih telur), Bathara Guru (kuning telur). Kosmologi ‘telon’ terdiri dari langit (putih), manusia (merah-darah), dan bumi (hitam-tanah). Tiga-tiganya satu. Satu-satunya tunggal. Nalar pemecahan itu gerak menjadi, sementara penggabungan adalah gerak kembali.
Konon ada yang pernah mencoba membuang salah satu kepingnya ke jurang, tutur Bu Rumiyati, dia mengalami celaka, dan pecahan batu bergerak kembali ke asalnya. Peninggalan arkais berupa lempeng batu yang terpecah menjadi tiga bagian ini terletak di Gunung Tanggulasi, yaitu yang biasa disebut Gunung Batur Agung, di Dusun Sriten, Pilangrejo, Nglipar. Di dekat sebuah gubug di Tanah Sultan yang pada 17 Maret 2015 dibangun dan diresmikan sebuah embung wisata berjudul Embung Batara Sriten. Di puncaknya, tempat start olah raga paralayang sering dilaksanakan, menahan laju wisatawan yang gencar memenuhi puncak ini, terlebih di akhir pekan, bertahanlah sebuah petilasan kerabat Kraton Yogya bernama Raden Karsa Pramudya, atau sering disebut Syeh Wali Jati, yang pada waktu dulu pernah ‘bertapa’ di gunung ini, di wilayah Sriten.
Orang-orang di Dusun Sriten, termasuk Bu Sartini, mengatakan, penamaan embung dengan kata ‘batara’ tak ada hubungannya dengan konsep ‘batara’ atau ‘batari’ sebagai makhluk kayangan (dunia atas) yang turun ke bumi, apalagi turun ke sekitar Pegunungan Batur Agung. Maksud mereka, ‘batara’ itu akronim dari ‘Batur Agung Utara’, karena letaknya di Dusun Sriten yang berada di Pegunungan Batur Agung Utara. Ini hanyalah kesepakatan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di daerah ini agar enak didengar dan menjual. Padahal, penamaan Dusun Sriten justru karena dusun ini dari dulu hingga sekarang sebagai tempat huni burung-burung Sriti, tepatnya bertempat di Goa Sriti dekat makam dusun. Dan Manuk Sriti adalah jelmaan Raden Sri Sadana. Ia mengembara, menunggu saat Bathari Sri (cahaya kemilauan yang sangat indah) hadir di Sriten. ‘Mbaturi’ (menemani) among tani Dusun Sriten, memangsa hama tanaman.
Dan Sriten, juga Baturagung, adalah batur. Gunungkidul itu batur. Gunung Batur, di mana pun mereka hadir di Nusantara ini, mengada lebih dulu; menyediakan jalan untuk para Raja Gunung. Mereka para batara yang memilih menjelma batu, membelah diri menjadi tiga, lima, tujuh, menjelma menjadi manuk, demi kejulangan peradaban Mataram di kaki Merapi. Di suatu adhegan, para batur hanya bisa ‘nyemoni’ para ‘bendara’. Yang telanjur memilih tidak peka. Sedang Sang Bathari, selalu ditunggu kapan akan menghampiri. Menghadiahkan kemakmuran bumi.
Di suatu waktu, di saat kabut, dan akan turun hujan, segerombolan Manuk Sriti berjumlah ratusan, yang menurut tuturan-lokal berumah di Goa Sriti di dekat makam Dusun Sriten, mendatangi Embung Batara Sriten. Mereka menata diri, menunggui. Mereka luput dari tatap wisatawan, yang inderanya terlalu trendi.
[KH/WG]