Suharmanto: Seniman Ketoprak yang Berjibaku Lahirkan Generasi Baru

oleh -946 Dilihat
oleh
Ketoprak
Suharmanto saat pentas Ketoprak. (dok. pribadi Surahmanto)

GUNUNGKIDUL, (KH),— Suharmanto adalah seorang seniman pertunjukan dari Gunungkidul yang memiliki semangat luar biasa untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional, khususnya Ketoprak. Ia tidak hanya berupaya menjaga agar kesenian ini tetap hidup, tetapi juga terus melahirkan generasi-generasi baru yang akan melanjutkan warisan budaya ini. Api semangatnya untuk memainkan dan mengenalkan Ketoprak kepada masyarakat utamanya generasi muda tak pernah padam dan senantiasa menyala dalam dirinya.

Dalam perjalanan, Suharmanto telah meraih berbagai prestasi yang mengukuhkan namanya di dunia seni. Sebagai aktor, sutradara, dan penulis naskah, ia telah mendapatkan berbagai penghargaan bergengsi. Ia pernah dinobatkan sebagai Pemeran Pembantu Pria Terbaik dan Pemeran Utama Pria Terbaik di Festival Ketoprak.

Tak hanya itu, Suharmanto juga meraih penghargaan Penyutradaraan terbaik di Festival Teater tingkat kabupaten. Kemampuannya sebagai penulis naskah juga diakui secara luas, terbukti dengan keberhasilannya memenangkan sayembara penulisan naskah Ketoprak dan dinobatkan sebagai Penulis Naskah Terbaik pada Festival Teater tingkat provinsi. Karya-karyanya yang mencakup naskah Ketoprak, teater, dan sineprak menjadi bukti nyata dari kreativitas dan dedikasinya yang tinggi terhadap dunia seni.

“Saya suka seni pertunjukkan, utamanya ketoprak sejak masih SD. Dulu sering lihat bapak dan kakek pentas,” kata pria berusia 46 tahun ini.

Ketertarikannya pada seni ini tumbuh ketika ia sering melihat ayah dan kakeknya bermain Ketoprak. Pada malam pementasan, ia dengan penuh antusias menyaksikan pertunjukan, lalu keesokan hariinya, ia akan bermain dan menirukan adegan Ketoprak yang telah ditontonnya.

Kecintaannya pada Ketoprak semakin mendalam ketika ia memasuki bangku SMP. Pada awal tahun 1990-an, tepatnya saat ia duduk di kelas 1, Suharmanto memutuskan untuk bergabung dengan grup Ketoprak Hasta Budaya yang ada di desanya.

Saat itu, pria berkepala plontos ini memilih peran sebagai prajurit dalam fragmen perang. Pilihan ini diambil karena peran tersebut dianggap lebih mudah dimainkan. Sebab, minimnya dialog yang harus dihafal. Meskipun demikian, pengalaman pertamanya tampil di atas panggung memberikan kesan mendalam yang membuatnya semakin mencintai seni pertunjukan ini.

Pertunjukan pertama yang berkesan itu terjadi saat kelompok Ketoprak Hasta Budaya diminta untuk tampil di acara hajatan warga desa. Momen tersebut menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi Suharmanto. Untuk kali pertama ia merasakan bagaimana menjadi bagian dari sebuah pertunjukan yang disaksikan oleh banyak orang.

Kelompok Ketoprak Hasta Budaya sering kali memainkan cerita-cerita dari naskah lawas, seperti lakon “Paku Waja,” “Suminten Edan,” “Kamandaka Adon-Adon,” dan “Kembang Puspajiwa.” Lakon-lakon tersebut menjadi dasar pembelajaran awal bagi Suharmanto dalam memahami dan menghayati seni Ketoprak.

Sekitar tahun 2000-an, lulusan Kejar Paket C ini bersama beberapa tokoh muda lainnya mengambil inisiatif untuk mendirikan sebuah grup Ketoprak baru yang diberi nama Sasana Muda Budaya. Grup ini bermarkas di Padukuhan Ngurak-urak hingga saat ini. Grup tersebut masih aktif menggelar berbagai pertunjukan. Bahkan, Suharmanto telah mempersiapkan generasi kedua untuk meneruskan eksistensi grup ini. Harapan yang terus digengam bahwa generasi baru akan menjaga dan mengembangkan tradisi yang telah diwariskan nenek moyang.

Pandangan Suharmanto tentang pementasan Ketoprak berbeda dari kelompok usia tua. Ia merasa bahwa kelompok yang lebih tua terlalu kaku dalam memegang pakem, sehingga generasi muda menjadi sulit tertarik untuk mengikuti.

Salah satu aspek yang ia soroti adalah penggunaan bahasa dalam pementasan Ketoprak. Menurutnya, penggunaan bahasa yang terlalu formal dan baku bisa membuat alur cerita sulit dipahami oleh penonton muda. Oleh karena itu, Suharmanto dan kelompoknya sepakat untuk lebih banyak menggunakan bahasa keseharian dalam pementasan mereka. Tujuannya adalah agar cerita yang disampaikan lebih mudah dipahami oleh penonton dari kalangan muda. Dengan demikian, bisa lebih menarik minat kawula muda untuk menonton dan terlibat dalam seni Ketoprak.

Selain perubahan dalam penggunaan bahasa, Suharmanto juga menyadari bahwa durasi yang terlalu panjang pada sesi pengenalan tokoh dalam pementasan Ketoprak bisa membuat penonton merasa bosan. Kelompok Ketoprak yang dibentuknya, yang didominasi oleh anak-anak muda, memilih untuk tidak terlalu lama dalam adegan pembuka.

“Kami menggunakan teks dialog yang lebih ringkas dan fokus, agar cerita bisa segera bergulir tanpa harus terjebak dalam pengenalan tokoh yang bertele-tele. Langkah ini diambil agar penonton tidak merasa jenuh dan tetap tertarik untuk mengikuti jalannya cerita hingga akhir,” bebernya.

Inovasi lain yang dilakukan oleh Suharmanto dan kelompoknya adalah dengan lebih sering menciptakan naskah cerita sendiri daripada memainkan lakon-lakon lawas. Menurutnya, lakon yang dibuat sendiri bisa lebih relevan dengan situasi faktual yang ada di sekitar mereka.

Beberapa lakon yang telah dibuat untuk kelompok Sasana Muda Budaya antara lain “Rembulan Separo,” “Belik Watu Angkrik,” dan “Kembang Wilwatikta Majapahit.” Lakon-lakon ini tidak hanya mengangkat cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat, tetapi juga sering kali menyisipkan pesan-pesan yang lebih dalam, seperti diantaranya isu lingkungan.

Ketoprak
Suharmanto dengan piala dan penghargaan dari festival kesenian Ketoprak dan teater. (KH/ Kandar)

Sebagai seniman yang peka terhadap kondisi sekitarnya, Suharmanto tergerak untuk menyisipkan isu lingkungan dalam naskah yang ia tulis. Dalam pementasan Ketoprak teater, ia mengangkat kegelisahan warga lokal terkait risiko kekeringan yang bisa mengancam kehidupan mereka. Salah satu lakon yang ia tulis, “Belik Watu Angkrik,” misalnya. Naskah cerita tersebut menggambarkan tentang pentingnya sumber mata air bagi kelangsungan hidup masyarakat di daerah tempat tinggalnya.

Melalui cerita itu, Suharmanto berusaha menyampaikan pesan penting tentang konservasi lingkungan, agar masyarakat lebih peduli dan berupaya menjaga kelestarian alam.

Keterlibatan Suharmanto dalam dunia seni tidak hanya terbatas pada lingkup lokal. Suami dari Ani Ariyanti ini juga aktif berkolaborasi dengan berbagai grup Ketoprak di luar daerahnya. Ia bergabung dengan grup gabungan se- Gunungkidul, Ketoprak Humor Ganda Maruta. Di kelompok ini dia berkesempatan untuk berproses dan pentas bersama beberapa tokoh senior dalam dunia Ketoprak, seperti Alvian Anggoro, Yuniarti, Tejo Suyanto, dan Erwin Alvainto, serta yang lain. Pengalaman ini memberikan banyak pembelajaran bagi Suharmanto, sekaligus memperluas jangkauan karyanya di dunia seni.

Meskipun Suharmanto tidak memiliki latar belakang pendidikan seni dari lembaga formal, hal ini tidak menjadi penghalang baginya untuk terus belajar dan mengembangkan diri. Ia memiliki tekad yang kuat untuk menimba ilmu dari berbagai tokoh seni yang ada di sekitarnya. Di antaranya, ia belajar dari almarhum Bondan Nusantara dan almarhum Purwatmadi, yang merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia Ketoprak. Selain itu, Suharmanto juga mempelajari teater secara umum dengan bimbingan dari Suntono dan Lucas Priyo, serta tokoh-tokoh seni lainnya.

Keinginan Suharmanto untuk melestarikan seni tradisional tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia juga berusaha untuk mengajak serta anak-anak muda di sekitarnya agar mau menjadi generasi penerus yang akan melanjutkan perjuangannya dalam mempertahankan kesenian tradisional. Dia menyadari bahwa mengajak anak muda untuk terlibat dalam seni tradisional bukanlah hal yang mudah. Oleh karena itu, ia menggunakan pendekatan personal dan berusaha fleksibel dalam bergaul bersama anak muda.

Dalam setiap latihan, Suharmanto tidak hanya fokus pada latihan itu sendiri, tetapi juga berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan menyenangkan. Ia membiarkan anak-anak muda bersikap santai, bahkan ketika sedang latihan serius. Sering kali, sesi latihan diisi dengan candaan dan gurauan, agar anak-anak muda tidak merasa tertekan. Cara ini dipilih oleh Suharmanto dengan harapan bahwa generasi muda tidak hanya mau terlibat dalam latihan, tetapi juga merasa nyaman dan termotivasi untuk terus mempertahankan dan mengembangkan kesenian tradisional di wilayah mereka. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar