GUNUNGKIDUL, (KH),– Tindakan bunuh diri merupakan peristiwa kemanusiaan yang sesungguhnya merupakan risiko paling berat dari belum tertanganinya secara adekuat permasalahan kesehatan jiwa yang sedang diderita seseorang.
Demikian juga dinyatakan Dewan Pers, dalam dokumen Peraturan Dewan Pers Tentang Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak Dan Upaya Bunuh Diri disebutkan, fakta yang sering diabaikan, bahwa bunuh diri merupakan salah satu kasus serius berupa ekspresi dari hilangnya harapan yang dicetuskan oleh ketidakmampuan individu dalam mengatasi stress. Hampir 90 persen individu yang melakukan bunuh diri dan usaha bunuh diri mempunyai kemungkinan mengalami gangguan mental yaitu depresi.
Dewan Pers memperhatikan, bahwa pers nasional harus menjalankan fungsi pendidikan dan kontrol sosial, serta pers tidak kebal hukum, maka pers perlu mematuhi norma norma dalam masyarakat untuk ikut mengurangi dan mencegah tindak bunuh diri.
Berbagai pemberitaan pers memperlihatkan, kasus bunuh diri kerap diperlakukan sebagaimana halnya sebuah peristiwa kriminal. Banyak wartawan kurang memiliki sensitivitas dalam melaporkan aksi maupun upaya percobaan bunuh diri. Identitas korban, alamat tinggal, dan juga keluarganya diungkap secara gamblang, termasuk modus, peralatan maupun cairan yang digunakan. Pemberitaan tersebut berpotensi mengundang aksi peniruan.
Menyadari hal tersebut, komunitas pers Indonesia yang terdiri dari wartawan, perusahaan pers, dan organisasi pers bersepakat untuk menyusun sebuah pedoman yang dapat dijadikan panduan dalam meliput kasus maupun upaya tindak bunuh diri.
Dengan terbitnya peraturan tersebut, pegiat kesehatan jiwa, dr Ida Rochmawati, Sp. Kj., menyambutnya dengan baik. Peraturan yang dikeluarkan juga dinilai berkontribusi bagi upaya pencegahan bunuh diri.
“Bukan berarti pegiat kesehatan jiwa tidak memahami pekerjaan pers. Kita butuh pers untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, tetapi yang kami harapkan pers punya kepekaan dan empati bukan sekedar mengejar rating atau nilai berita dengan mengabaikan nilai edukasi dan dampak psikososial dari pemberitaan tersebut,” papar psikiater di RSUD Wonosari ini.
Salah satu anggota Yayasan IMAJI ini berterima kasih dengan adanya pemberitaan tentang bunuh diri, namum diharapkan pers lebih bijak dalam mengambil angle. Tidak dari unsur dramatisasi, tetapi lebih kepada unsur humanis dan edukasi. Sehingga bisa meng-infuence orang lain untuk lebih peduli dan menjadikan peristiwa bunuh diri sebagai pembelajaran tanpa harus melukai perasaan mereka yang menjadi korban atau keluarga yang terdampak.
Senada dengan Ida, jurnalis senior yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Gunungkidul, Suharjono mengajak rekan wartawan untuk bijak ketika menulis dan menerbitkan pemberitaan mengenai peristiwa bunuh diri.
“Harapannya tidak sekedar menulis informasi seputar adanya perisiwa bunuh diri, tetapi ada edukasi ke masyarakat. Misalnya mengenai bagaimana agar masyarakat tahu dan turut waspada adanya warga lain yang memiliki risiko,” papar dia.
Pihaknya juga menegaskan insan pers untuk tidak memilih diksi terlalu hiperbolis, meski itu ‘seksi’ dalam pemberitaan.
Adapun rincian Pedoman Pemberitaan Terkait Tindak dan Upaya Bunuh Diri sebagaimana tertuang dalam peraturan bernomor 2/Peraturan-DP/III/2019 yang terbit 22 Maret 2019 tersebut antara lain: