KH,- Jalan hidup yang dipilih anak muda ini tergolong langka. Ketika kebanyakan anak-anak muda selepas lulus sarjana memilih bekerja di kota-kota besar dengan fasilitas hidup yang nyaman, justru pemuda ini memilih jalan hidup yang berbeda. Ia mengabdikan diri menjadi guru sekolah dasar di pedalaman Kalimantan Timur yang kondisinya masih sangat terbatas sarana dan prasarana dasar wilayahnya.
Eka Budi Hertanto (26), pemuda asal Dusun Semanu Utara Desa Semanu Kecamatan Semanu Gunungkidul ini hampir 3 tahun mengabdi menjadi guru di SD Negeri 006 Matalibaq Long Hubung Kabupaten Mahakam Hulu. Sebuah desa di pedalaman Kalimantan Timur berjarak kurang lebih 600 km dari Samarinda melalui “jalan raya” berupa alur sungai Mahakam. Kendaraan utama dari dan ke pedalaman ini berupa sampan, speed boat, atau long boat. Jalur penerbangan perintis dari Balikpapan atau Samarinda baru sampai di Bandara Melalan di Sendawar Kabupaten Kutai Barat, sehingga perjalanan menuju Matalibaq juga harus dengan angkutan sungai.
“Saya sangat bersyukur, dapat menjalani pengabdian menjadi guru SD di sini. Melalui jalan ini saya bisa turut melayani masyarakat. Karena di daerah-daerah pedalaman, seperti Mahakam Ulu belum terlayani dengan adil. Seperti pendidikan dan kesehatan. Masih sangat-sangat membutuhkan tenaga pendidik untuk mengajar generasi muda di sini,” ungkapnya kepada KH, dalam perbincangan awal Mei 2018 lalu.
Eka ditempatkan menjadi guru di SD yang berada di Desa atau Kampung Matalibaq sejak Agustus 2015. Matalibaq adalah sebuah desa di wilayah Kecamatan Long Hubung Kabupaten Mahakam Ulu Provinsi Kalimantan Timur.
Awal mula penempatannya di tempat pedalaman Kalimantan Timur ini atas penugasan dari Yayasan Pedulikasih Indosiar dengan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan atas permintaan dari pemerintah daerah setempat. Yayasan yang berpusat di Jakarta tersebut memiliki misi peningkatan pendidikan di wilayah-wilayah terpencil di Indonesia dengan cara mengirimkan guru untuk membantu sekolah-sekolah yang masih kekurangan tenaga pengajar.
“Pengabdian secara kontrak dengan lembaga yang menugaskan saya sudah berakhir Agustus 2017 lalu. Tetapi, Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu kemudian meminta kesediaan saya untuk melanjutkan penugasan di sini,” sambungnya. Eka juga mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten Mahakam Ulu telah mengeluarkan SK Bupati sebagai guru PTT (pegawai tidak tetap).
Eka mendapatkan pengalaman menarik pada saat awal-awal masa penugasannya. Ia tidak bisa membayangkan situasi dan kondisi daerah di mana akan ditempatkan itu seperti apa. Sebagai lulusan sarjana pendidikan, dan telah merasakan kemudahan fasilitas hidup dalam pergaulan sewaktu kuliah maupun di desa asalnya di Semanu, ia juga sempat ciut nyalinya ketika harus hidup di sebuah tempat terpencil dan minim fasilitas hidup.
Nyali yang sempat mengendur itu justru semakin menguat pada saat Eka dan kawan-kawannya sewaktu melanjutkan perjalanan dengan long boat menyusuri Sungai Mahakam menuju ibukota Kabupaten Mahakam Ulu. Perjalanan panjang berjam-jam menyusuri Sungai Mahakam yang lebarnya sekitar 1 km itu membuatnya seolah berada di suatu tempat asing tak bertepi. Ia bercerita, sempat menyeruak di pikiran apakah ia mampu bertahan di tempat asing yang sama sekali serba belum dikenal dan satu kata yang dapat menggambarkan, yaitu “terpencil”.
Eka mengungkapkan, pada saat perjalanan di long boat itu, salah satu rekan sesama penugasan seolah mengetahui kegalauannya. Ia berujar, “Nggak usah gentar, niat kita itu baik, pasti di sana nanti akan ada banyak kemudahan.” Setelah semua peserta penugasan disambut dan mendapatkan pengarahan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Mahakam Ulu, kemudian para peserta penugasan berpisah menuju ke sekolah tempat penugasannya masing-masing.
Kata-kata dari salah satu rekan itulah yang terus diingat Eka. Benar, sesampai di tempat penugasan di SDN 006 Matalibaq, Eka mendapatkan sambutan dan penerimaan yang membesarkan hati dari para guru, para murid, dan masyarakat setempat. Eka menuturkan, ia tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk mengenali dan beradaptasi dengan masyarakat dan lingkungan setempat.
Di tempat penugasan tersebut, ia menjadi terbiasa akan adat kebiasaan masyarakat setempat yang merupakan masyarakat Dayak Kenyah. Ia cepat belajar budaya setempat, sampai mempelajari asal usul masyarakat setempat, yang berdasarkan runutannya merupakan masyarakat Dayak Apokayan, masyarakat pendatang yang asal usulnya dari wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia Timur.
Eka juga terbiasa dengan kebiasaan masyarakat setempat. Rumah-rumah masyarakat dan juga sekolah kebanyakan berupa rumah panggung dari kayu. Mengapa rumah panggung, karena permukiman pada umumnya berada di tepi-tepi sungai, sehingga pasang surut sungai berpengaruh pada permukiman. Terkadang genangan air menimpa rumah dan permukiman apabila air sungai naik. Eka juga terbiasa sama seperti kebiasaan masyarakat yang menjadikan sungai sebagai pusat kegiatan sekaligus sebagai “jalan raya” untuk berhubungan dengan desa atau kampung sebelah. Jalan rintisan antar desa memang sudah dibangun, namun menurutnya kondisinya tidak bisa dilewati pada saat musim hujan. Ia menjadi terbiasa menggunakan angkutan sungai.
Selama melaksanakan tugas sebagai guru sekolah dasar, Eka menuturkan bahwa para murid atau anak-anak di tempat ia bertugas memiliki semangat yang tinggi untuk belajar dan untuk lebih maju dalam hal pendidikan. Meskipun para orang tua murid mayoritas sebagai petani kebun yang setiap hari menghabiskan waktu di ladang, mereka sangat menginginkan anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang terbaik.
Di komplek SD tempat Eka mengajar, sudah ada SMP, sehingga anak-anak di kampung tersebut mudah untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Sekolah jenjang SMA atau SMK baru tersedia di kota Kecamatan Long Hubung dan ibukota Kabupaten Mahakam Ulu. Eka juga menuturkan, melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi juga menjadi harapan para murid dan anggota masyarakat di kampung ini. Masyarakat di tempat ini akan semakin bekerja keras di ladang pada saat mendapati anak-anaknya meneruskan sekolah ke jenjang perguruan tinggi.
Sebagai salah satu wilayah perdesaan di pedalaman, fasilitas atau sarana dan prasarana di Matalibaq memang masih terbatas. Genangan air sungai rutin menimpa rumah, sekolah, dan fasilitas permukiman lainnya. Di kampung ini belum ada listrik PLN, listrik hanya menyala dari jam 19.00 sampai jam 01.00. Itupun dari genset yang diupayakan mandiri oleh masyarakat setempat.
“Selebihnya waktu malam hari merupakan jeda panjang yang ditemani suara jangkrik dan terkadang suara burung di malam hari,” ungkap Eka.
Kondisi seperti ini menurut Eka justru menempa dirinya semakin mengerti makna kehidupan dan penugasannya menjadi guru bagi anak-anak di wilayah pedalaman yang serba terbatas fasilitasnya. Karena itu pula, dalam proses belajar dan mengajar, Eka memanfaatkan situasi dan kondisi lingkungan seperti ini dengan mengajak murid-muridnya belajar langsung dari apa yang terdapat di alam.
“Yang paling menarik dan menatang itu, kita dituntut memaksimalkan sarana dan prasarana yang ada. Contohnya media pembelajaran. Media pembelajaran sangat terbatas. Jadi, setiap pelajaran IPA, anak-anak saya ajak belajar di pinggiran sungai, setelah selesai baru kita mandi di sungai bersama anak-anak,” ungkap Eka.
Eka juga memiliki hobby fotografi. Murid-muridnya juga diajarkan pengetahuan praktis fotografi, sekaligus sebagai media pembelajaran observasi lingkungan dan mengajarkan untuk fokus atau selalu penuh konsentrasi dalam mempelajari sesuatu.
Ditanya tentang apa yang menjadi motivasi sehingga dirinya mau menjadi guru di daerah terpencil, Eka menyatakan bahwa dirinya tergerak untuk mengabdi kepada masyarakat, karena di daerah-daerah pedalaman seperti Mahakam ulu belum terlayani dengan adil, utamanya bidang pendidikan dan kesehatan. Menurutnya, kedua bidang tersebut masih sangat-sangat membutuhkan tenaga dari luar daerah.
Eka sangat menaruh harapan besar terhadap murid-muridnya dan terhadap pemerintah yang menurutnya bertanggung jawab atas pelayanan pendidikan bagi seluruh warga negara. Ia berharap agar semua anak-anak bangsa termasuk anak-anak bangsa di daerah-daerah terpencil mampu mewujudkan cita-citanya. Ia juga berharap semoga pemerintah memperhatikan para generasi bangsa yg berada di pelosok, tidak ada diskriminasi antara kampung dan kota.
Apa yang dijalani Eka Budi Hertanto, anak muda dari Semanu ini mengingatkan kembali kepada proses kebangkitan kebangsaan Indonesia. Proses kebangkitan nasional bangsa Indonesia yang dipelopori para pemuda waktu dahulu. Bahwa proses kebangkitan bangsa, berkobarnya nasionalisme Indonesia senantiasa dibangun dengan landasan pendidikan yang dapat diikuti oleh seluruh anak bangsa. Di tengah keprihatinan terhadap nasionalisme kebangsaan, sesungguhnya masih ada banyak Eka-Eka lainnya yang terus gigih berjuang mengabdikan diri kepada bangsa dalam berbagai bidang.
“Selama masih dibutuhkan oleh pemerintah daerah setempat, saya akan berusaha terus mengabdi di tempat ini. Modal saya hanya niat dan keberanian untuk mengabdi dan keluar dari zona nyaman yang pernah saya dapatkan,” ungkap Eka kepada KH menutup pembicaraan per telepon. (Andriyani).