NGAWEN, (KH),– Istilah “nglaju”, atau bekerja di luar daerah, merupakan istilah yang tidak asing di DIY. Nglaju atau sering disebut lajon ini memang banyak dilakukan oleh pegawai atau para pekerja antar kabupaten di dalam wilayah Propimsi DIY. Namun apa yang dilakukan oleh Sarmidi (50), seorang guru SD N Gunung gambar, Kapanewon Ngawen, Gunungkidul selama 21 tahun ini sungguh merupakan bentuk dedikasi yang luar biasa terhadap tugas yang diemban.
Sarmidi, pria kelahiran Kulonprogo, 22 Oktober 1971, adalah warga Padukuhan Tegalsari, Kalurahan Jatirejo, Kapanewon Lendah, Kulonprogo. Dia setiap hari harus menempuh perjalanan sejauh 160 Km pulang pergi, dengan melintasi wilayah tiga Kabupaten guna mengajar di SD N Gunung Gambar.
Sarmidi bercerita kepada KH Selasa (25/5/2021) siang seusai mengajar 4 murid kelas 6 SD yang saat itu mendapat giliran belajar tatap muka. SD N Gunung gambar sendiri merupakan satu-satunya sekolah di Gunungkidul yang menyelenggarakan pembelajaran tatap muka pada masa Pandemi.
“Dua minggu kami adakan pembelajaran online, dan tidak berjalan, karena rata-rata rumah para siswa masuk di wilayah blank spot, atau wilayah tanpa sinyal internet,” ujar Sarmidi membuka obrolan.
SD N Gunung gambar merupakan Sekolah Dasar yang berada di wilayah tertinggi Gunungkidul, setelah Embung Sriten. Kendala sinyal internet melahirkan kesepakatan antara wali murid, guru dan komite sekolah untuk mengadakan pembelajaran tatap muka langsung.
Jumlah siswa SD N Gunung Gambar saat ini ada 30 siswa. Sarmidi merupakan salah satu dari 10 guru yang mengajar di sekolah yang terletak di pegunungan Batur Agung Utara Gunungkidul ini.
“Tahun 2000 saya menerima SK guru PNS, dan langsung ditempatkan di SD Gunung Gambar ini,” kata Sarmidi meneruskan obrolan kami.
Sejak tahun itulah hingga sekarang, Sarmidi harus nglaju sejauh 160 Km pulang pergi setiap hari untuk mengajar.
“Saya berangkat dari rumah jam 5.00 WIB pagi, paling telat setengah 6 pagi sudah harus berangkat, perjalanan rata-rata ya sekitar satu setengah jam,” lanjutnya.
Sarmidi menceritakan bahwa dirinya lulus Sekolah Pendidikan Guru (SPG) tahun 1990. Tapi waktu itu ijazah SPG tidak bisa dipakai mendaftar menjadi guru. Kemudian dia memutuskan untuk kuliah tahun 1995. Setelah lulus dia kemudian mencoba melamar menjadi guru. Lantas pada tahun 2000 akhir, Sarmidi diterima dan ditempatkan di SD N Gunung Gambar.
“Sejak ditempatkan di sini, saya belum pernah sekalipun mengajukan untuk pindah. Pernah ditawari pindah ke SD di wilayah Purwosari, tapi saya menolak, karena di sana tenaga guru sudah cukup , SD Gunung Gambar lebih membutuhkan tenaga saya,” lanjutnya.
Menurut Sarmidi, dengan jarak tempuh perjalanan itu, dirinya menghabiskan biaya bensin sebesar Rp30.000,00 setiap harinya, 3 kali ganti Oli mesin setiap 2 bulan, dan mengganti ban motornya dengan perbandingan dua kali ganti ban belakang, satu kali ganti ban depan.
“Saya sudah ganti motor sebanyak 4 kali, yang pertama Honda Win, Supra, terus Jupiter MX, dan sekarang saya pakai Yamaha Vixion,” imbuhnya.
Saat ditanya alasan kenapa harus memutuskan nglaju, dan tidak memilih tinggal di dekat tempat mengajar, Sarmidi menyatakan bahwa dirinya harus merawat kedua orang tuanya di Kulonprogo.
“Kedua orang tua saya sudah sepuh, dulu pernah saya mencoba tinggal di dekat Kecamatan Ngawen, tapi orang tua saya sering sakit-sakitan, akhirnya saya putuskan saya yang harus mengalah untuk nglaju tiap hari,” terang Sarmidi.
Bapak dari tiga orang anak ini menyatakan bahwa lingkungan guru dan masyarakat sekitar sekolah sudah sangat nyaman, mereka menganggap bahwa dirinya sudah seperti keluarga mereka sendiri.
“Faktor itu juga yang membuat saya betah mengajar di sini, kami sudah seperti keluarga, tidak jarang orang tua siswa membawakan oleh-oleh hasil pertanian mereka untuk saya bawa pulang,” terang Sarmidi.
“Dan yang paling membuat saya merasa dibutuhkan di sini adalah, kemauan keras para siswa untuk belajar, mereka juga sangat menghormati para guru, banyak dari siswa yang harus menempuh jalan kaki lebih dari tiga kilometer untuk sampai sekolahan,” lanjut Sarmidi lagi.
Dalam kurun waktu 21 tahun dia nglaju, tentu banyak suka duka yang dialaminya selama dalam perjalanan, termasuk harus pulang malam dari Ngawen ke Kulon progo.
“Banyak suka dukanya, kalau hanya bocor ban atau kecelekaan kecil sudah sangat sering, tapi untuk kecelakaan yang agak fatal saya dua kali mengalami,” lanjut Sarmidi.
Sarmidi menceritakan, kecelakaan pernah dialaminya di daerah Nglipar. Waktu itu sebuah pohon roboh menimpa sepeda motornya saat dia sedang melintas. Dan yang kedua dirinya terlibat kecelakaan beruntun di daerah Bantul.
“Akibat dua kecelakaan ini, saya sempat opname di Rumah Sakit (RS), mengalami luka dan patah tulang, tapi Alhamdulillah, saya masih dilindungi,” kenang Sarmidi.
Saat disinggung soal keluarganya, terutama istri dan anak-anaknya, Sarmidi mengaku bahwa mereka tidak pernah mengeluh mengenai rutinitas dirinya yang harus nglaju tiap hari dengan jarak yang terbilang tidak dekat, serta dalam kurun waktu yang sudah lebih dari 20 tahun.
“Istri saya bahkan selalu berpesan, jika cuaca, terutama musim hujan, keadaan tidak memungkinkan untuk pulang, maka saya diminta untuk tidur di sekolahan saja,” lanjutnya.
Selama ini, Sarmidi mengaku bahwa dirinya sering terpaksa tidur di sekolahan, jika cuaca tidak memungkinkan atau terlalu bahaya jika harus pulang. Bermalam di sekolahan juga terkadang dilakukan jika kegiatan sekolah sampai larut malam.
Motivasi dan dedikasi Sarmidi dalam pekerjaan mencerdaskan generasi bangsa ini memang patut mendapat apresiasi. Jarak yang harus ditempuhnya terbilang tidak dekat. Tiga Kabupaten harus dilaluinya setiap hari demi bisa mengemban kewajibannya sebagai guru. Hal yang paling membuat dia termotivasi diantaranya yakni semangat para siswa yang harus berjalan kaki berkilo-kilo meter agar dapat belajar dan mengenyam pendidikan.
“Sekitar sepuluh tahun lagi saya pensiun, dan jika bisa, saya akan tetap bertahan mengabdi di SD Gunung Gambar ini,” pungkas Sarmidi menutup obrolan. [Edi Padmo]