KARANGMOJO, (KH)— Wayang Sada, salah satu aset seni budaya yang ada di Gunungkidul ini memiliki keunikan tersendiri, seperti namanya, wayang ini terbuat dari Sada (lidi). Hasil karya warga Padukuhan Gunungbang, Desa Budaya Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo ini menjadi ragam baru di dunia seni pewayangan.
Dilatarbelakangi atas kecintaannya terhadap seni pertunjukan wayang, sehingga Marsono, lelaki kelahiran 1948 ini berkeingingan menjadi seorang Dalang. Berbagai keterbatasan termasuk juga ekonomi membuatnya tidak mampu mencapai cita-citanya itu.
Memendam keinginan cukup lama, akhirnya ia mengekspresikan minatnya dengan anak-anak panti asuhan yang ia kelola. Di waktu senggang ia membuat wayang dari batang rumput dan mengajak anak-anak bermain wayang.
Lama kelamaan tak hanya dari batang rumput saja, ia juga buat dari tangkai ketela dan media lain yang mudah ditemukan di sekitar. Dari situ ia mulai berfikir, karena bahan pembuatan wayang yang digunakan hanya sekali pakai ia berencana membuat dengan bahan yang lebih awet.
“Tahun 2011 lalu saya membuat wayang pertama kalinya menggunakan lidi, keinginan menjadi dalang Wayang Kulit tak kesampaian, saya membuat wayang sendiri,” kata Marsono beberapa waktu lalu.
Ia memaparkan, Wayang Sada terbuat dari lidi muda yang dianyam sedemikian rupa sehingga membentuk karakter atau figur-figur dalam pewayangan. Tokoh atau karakter wayang masih mengacu pada figur pewayangan kisah Mahabarata dan Ramayana serta legenda-legenda di masyarakat jawa.
“Wayang Sada merupakan wayang kreasi bertema ramah lingkungan, go green, selain menggunakan bahan-bahan alam, cerita wayang juga mengangkat tema lingkungan dalam pementasannya,” urai lelaki yang pernah diundang berbagai event seni budaya nasional dan internasional ini.
Ia berharap Wayang Sada menjadi ragam kekayaan dunia seni budaya yang dapat mendorong pelestarian lingkungan, menjadi cindera mata khas dari Gunungkidul sehingga terlibat aktif dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya Desa Bejiharjo.
Selain mahir membuat Wayang Sada, Marsono juga lihai memainkannya, beberapa figur wayang juga ia ciptakan melengkapi keunikan kreasinya itu. Nama-nama tokoh diambil dari nama bagian pohon kelapa dengan sebutan Bahasa Jawa yang telah dimodifikasi untuk mewakili watak tokoh atau dengan tujuan aspek kepatutan dan keselarasan nama di dunia wayang.
Tokoh tersebut diantaranya Prabu Glugu Wasesa, ia adalah raja di Negara Arga Rekta yang terkenal gemah ripah loh jinawi. Dalam memimpin negara beliau dibantu oleh Mahapatih Blarak Sempal yang sakti mandraguna.
Marsono sedikit gambarkan mengenai Prabu Glugu Wasesa ini, bersama permaisurinya, Dewi Manggarsari memiliki keturunan Dewi Blulukwati, Raden Cengkir Gading, Raden Cengkir Wungu, dan Raden Degan Ijo.
“Prabu Glugu Wasesa memiliki watak jujur dan adil membuat rakyatnya hidup aman sejahtera, tanpa mengorbankan kepentingan pihak lain,” ulas dia.
Ia hidup rukun dengan negara tetangga seperti dengan Prabu Pucang Anom di negara Pagelaran, Prabu Ruyung Agung di negara Pasir Ropan dan Prabu Tal Siwalon dari negara Soka Panca.
Persiapan Generasi Penerus
Diusia yag tak lagi muda Marsono sangat ingin memiliki penerus, baik sebagai pembuat Wayang Sada dan juga sebagai Dalang yang memainkannya. Sejak Wayang Sada ini mulai dikenal luas, anak panti asuhan yang dikelolanya ditambah anak-anak disekitar tempat tinggalnya berkegiatan belajar bagaimana membuat wayang, dengan sabar ia juga melatih beberapa anak mengenai cara memainkan wayang tersebut.
“Anak saya juga belajar tetapi utamanya dalam pembuatan, sudah saya anggap bisa hanya saja belum rapi. Berpotensi menjadi penerus dalang sepertinya malah dari anak panti,” imbuh Marsono.
Ia ungkapkan, selain lebih serius mendalami cara pembuatan, kedua anaknya lebih berperan sebagai pemasar, dan pengenalan ke publik mengenai Wayang Sada. “Jangan sampai terputus, semoga selalu ada generasi penerus Wayang Sada ini,” harap Marsono. (Kandar)