Susena Aji, Wayang Kardus dan Spirit Belajar yang tak Putus

oleh -5119 Dilihat
oleh
wayang
Ki Susena Aji. (KH/ Kandar)

GUNUNGKIDUL, (KH),– Susena lahir di Tempel, Sleman. Sejak dini ia telah menunjukkan minat mendalam pada seni wayang. Meskipun masih kecil, ia sering mendengarkan cerita wayang melalui radio dan kaset pita. Bakatnya dalam menirukan suluk dan cerita wayang muncul pada saat ia masih duduk di bangku kelas III SD. Ketika keluarganya pindah ke Minggir, Sleman, Suseno terlibat dalam produksi parut kelapa. Sambil bekerja, ia sering berlatih suluk dan bermonolog seperti dalang. Latihan Susena hanya sebatas lagu vokal, percakapan antar tokoh karakter, dan mendendangkan tembang-tembang berbahasa Jawa saja. Sebab, saat itu dia belum memiliki wayang sungguhan.

Putra pasangan Kromo Diryo dan Ngatinem ini lantas memulai latihan memainkan tokoh wayang menggunakan tokoh wayang yang terbuat dari kardus. Latihan itu dia mulai saat masih duduk di kelas VI SD. Salah satu wartawan koran Kandha Raharja, bahkan menulis artikel tentang latihan wayang Suseno Aji yang menggunakan wayang kardus itu. Hingga nanti memperoleh nama panggug Ki Susena Aji dan ia makin populer, sekalipun ia tidak pernah mendapatkan pelatihan seni pedalangan secara formal.

Perjalanan Menuju Karir Sebagai Guru dan Dalang

Susena sempat melanjutkan sekolah ke Sekolah Menengah Karawitan indonesia (SMKI). sekolah tersebut sengaja ia pilih karena cita-citanya ingin menjadi seorang dalang. Namun, ia harus keluar setelah tiga bulan di SMKI. Sebab, orangtuanya menginginkan agar Susena menjadi seorang guru. Keinginan kuat Susena mempelajari lebih dalam mengenai kesenian wayang kulit pun terpaksa pupus.

Suseno masuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri 1 Jogja demi patuh pada arahan orang tua. Setelah menyelesaikan pendidikan, ia mencoba mendaftar sebagai guru PNS di dua tempat, yakni di Jogja dan Magelang. beruntung bukan main, Susena pun berhasil diterima di dua tempat tersebut. Akhirnya, ia memilih tempat tugas di Gunungkidul, tepatnya di Tambran Ior, Kalitekuk, Kapanewon Semin. Ia mulai mengajar di sebuah SD di sana. Dari Sleman, Susena kemudian memutuskan pindah ke Gunungkidul, persisnya pada tahun 1982. Tentu, kepindahannya itu agar dekat dengan tempat bertugas.

“Sejak belajar di SPG dan bertugas menjadi guru saya senantiasa menggengam cita-cita menjadi dalang kondang. Saya terus melatih diri disela rutinitas bertugas. Belajar sembari latihan seluk beluk sebagai dalang terus saya lakukan hingga publik mengakuinya, bahwa saya layak mementaskan pertunjukan wayang kulit,” terang Ki Susena belum lama ini saat ditemui di rumahnya.

Lelaki dengan nada bicara lembut ini mendapat kesempatan pertama tampil sebagai dalang dalam pertunjukan wayang di Dusun Badran pada tahun 1985. Sebelumnya, ia lebih banyak tampil dalam pertunjukan ketoprak. Menjadi pemeran dalam pertunjukan ketoprak bahkan telah ia mulai sejak kelas VI SD.

Dalam hal kesenian tradisional, pengalaman, pengetahuan dan wawasan Fx Susena terbilang banyak. Ia punya kapasitas pada dunia seni. Tak heran, dia juga mampu membidani lahirnya kelompok ketoprak bernama ‘Ora Ngira’. Di kelompok tersebut, Susena tidak hanya menjadi pemeran, tetapi juga sutradara.

Walaupun Susena menjadi guru, minat Susena dalam hal menambah wwasan seni wayang tidak pernah luntur. Ia selalu mencari waktu guna menyempatkan diri untuk melihat pertunjukan wayang. Ada seorang dalang senior yang sangat Susena kagumi, yaitu Ki Suparman. Dalang tersebut menjadi panutan Susena dalam memainkan wayang. Susena begitu terpikat dengan gaya suaranya, dan itulah yang membuat Susena ingin mempertajam keterampilan vokal sebagai seorang dalang.

Selain itu, dalam memahami teknik sabet (cara menggerakan tokoh wayang) dan anta wecana (cara menyajikan cerita) dalam pertunjukan wayang, Susena belajar dari dalang-dalang yang lain. Susena mengamati, mendengarkan, dan mencoba memahami setiap aspek dari seni wayang. Tekun dan gigih.

Susena, sekali lagi, tidak pernah mengikuti pelatihan formal di sebuah sanggar atau mendapatkan pelajaran langsung dari seorang guru. Susena mengandalkan pengalaman langsung dan mendengarkan kaset-kaset pertunjukan wayang. Gaji Susena sebagai seorang guru sering kali digunakan untuk membeli kaset-kaset wayang. Susena mengumpulkan puluhan kaset, mencakup berbagai judul yang mencerminkan keragaman dalam seni wayang. Setidaknya ada 60-an judul kaset pita telah dibeli.

Susena tak pernah melewatkan kesempatan untuk menonton pertunjukan wayang, terutama ketika Ki Suparman atau Ki Hadi Sugito sedang tampil. Susena akan duduk di tempat yang agak jauh agar bisa mendengar dengan jelas setiap kata dan Gerakan. Termasuk, bagaimana pembukaan pertunjukan, alur cerita, dan cara menyajikan lakon wayang. Semua detail tersebut Susena tulis dan kemudian praktikkan sendiri dalam pertunjukan yang Susena bawakan.

Saat hendak menonton wayang dalam rangka menambah wawasan, Susena merasa lebih nyaman apabila pertunjukan wayang berlangsung di tempat dengan halaman yang luas. Apabila di bagian belakang halaman ada tempat yang sedikit lebih tinggi, itu akan menjadi tempat Susena duduk. Di situ Susena akan menghabiskan malam hingga pagi, menulis catatan penting sebagai sarana belajar.

“Ini menjadi tahap bermakna bagi saya dalam upaya belajar menjadi seorang dalang,” sambung Susena.

Pada akhirnya Susena menjadi sangat dicari dan dihormati sebagai seorang dalang. Lantas, nama pangungnya menjadi Ki Sesena Aji kian melenting

Dalam perjalanan ini, Susena selalu mengingat ajaran leluhur yang mengatakan, “ambilah petunjuk yang baik, bahkan yang datang dari seseorang yang tidak memiliki kedudukan tinggi sekalipun.” Susena juga yakin bahwa dalam belajar, tidak ada batasan usia. Selama ada tekad dan semangat untuk terus belajar, maka setiap orang bisa mencapai puncak kesuksesan dalam bidang yang mereka geluti. Sepertihalnya yang Susena alami dalam perjalanannya belajar hingga menjadi seorang dalang.

Kebangkitan Sebagai Dalang

Sebagai seorang guru, Ki Suseno Aji masih memiliki kesempatan untuk menjalani minatnya dalam seni wayang. Walaupun bayarannya mungkin tidak begitu besar pada masa-masa awal, ia bersyukur mendapatkan kesempatan untuk tampil. Respons dari masyarakat di Gunungkidul sangat positif, dan permintaan untuk tampil dalam pertunjukan wayang pun terus bertambah. Selain di Gunungkidul, ia ‘manggung’ di berbagai tempat seperti Magelang, Malang, Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain di Jawa.

Popularitasnya sebagai seorang dalang bahkan membuat seseorang memesan pertunjukan Ki Susena hingga 33 kali. Namun, meskipun ada tawaran untuk tampil di luar Jawa ia berfikir dua kali. Saat ada permintaan pentas di Papua dengan bayaran besar, Suseno Aji memilih untuk tidak pergi. Selain keterbatasan waktu karena terpancang tugas sebagai guru, Susena juga takut naik pesawat.

Pengalaman pentas di luar Jawa mungkin tidak pernah terwujud, tetapi popularitasnya terus berkembang. Banyak orang di Papua tertarik dengan pertunjukan wayangnya, bahkan pada tahun 1990-an, muncul tawaran dengan bayaran hingga Rp50 juta. Tetap saja, ia tolak. pertimbangannya, perjalanan ke Papua dengan darat terasa terlalu panjang, sehingga ia memilih untuk tidak melakukannya.

wayang
Ki Susena Aji sedang melakukan ritual ruwatan. (istimewa)

Menguasai Seni Dalang dan Ruwat

Dalam terminologi bahasa Jawa, dalang (halang) berasal dari akronim ngudhal piwulang. Ngudhal artinya membongkar atau menyebar luaskan dan piwulang artinya ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi keberadaan dalang dalam pertunjukan wayang kulit bukan saja pada aspek tontonan (hiburan) semata, tetapi juga tuntunan. Oleh karena itu, disamping menguasai teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, dalang semestinya merupakan seorang yang berpengetahuan luas dan mampu memberikan pengaruh baik. Stereotipe yang umum mengenai bagaimana seorang dalang senantiasa Susena Aji Penuhi. Pengaruh baik tak hanya ia sisipkan pada seni pedalangan. Dalam karir seniman, selain melakonkan cerita yang sudah ada, Ki Suseno Aji juga membuat lakon sendiri. Lakon yang tentu saja ditujukan sebagai sarana tontonan dan tuntunan. Sejauh ini ada 17 lakon wayang kulit yang ia tulis dan mainkan. Lakon Kayu Kastuba Kembang Marewang dan Wahyu Kamulyan menjadi lakon yang diciptakan sekaligus sering dipentaskan.

Seiring pengalamannya sebagai dalang, ia kerap tampil menjadi nara sumber atau pemateri bidang seni dan budaya, mencakup macapat, sastra dan Bahasa Jawa. Bahkan, ia menjadi pengasuh rubrik Terawang di koran regional. Di sana dia membeber pengetahuan tentang spiritualitas. Cukup banyak penghargaan yang dia terima. Seperti Piagam Satyalancana Karya Sapta  XXX Tahun 2013 dari Presiden RI kala itu.

wayang
Ki Susena Aji sedang tampil di TVRI pada sebuah program acara. (ist)

Selain menjadi seorang dalang wayang, Suseno Aji juga dikenal sebagai seorang praktisi spiritualis, terutama dalam prosesi ruwatan. Ia memiliki pengetahuan yang mendalam tentang seni wayang dan spiritualitas kejawen. Proses sebelum dianggap ‘pantas’, tampil sebagai dalang ruwatan, Susena mengikuti serangkaian ritual. Mencakup seperti puasa pendhem, kungkum, dan kunjungan ke gua. Semua itu telah ia lalui dengan bimbingan orang tuanya. Mulai sekitar tahun 1999, Ki Susena kerap menerima permintaan untuk menggelar tradisi ruwatan melalui pertunjukan wayang kulit. Skala yang tergolong besar, saat ruwatan diikuti sekitar 300-an orang. Bukan hanya saat diminta, secara rutin di kediamannya di Tambran Lor, Kalitekuk, Semin ia menggelar ruwatan setiap 1 Sura.

Perjalanan hidup Suseno Aji adalah bukti bahwa kerja keras, dan tekad yang kuat dapat membawa seseorang ke puncak karir. Sekalipun pada awalnya terdapat hambatan. Dari seorang anak kecil yang suka mendengarkan cerita wayang di radio, ia berkembang menjadi seorang dalang kondang yang diakui di kota-kota besar. Kesuksesannya sebagai dalang juga tidak menghentikan minatnya untuk terus belajar dan terus berkembang.

Berikut beragam kiprah Ki Susena daalam bidang seni dan spiritual :

  1. Dalang wayang kulit pernah pentas diberbagai daerah seperti hampir seluruh wilayah Gunungkidul, Sleman, Bantul, Kulonprogo, Magelang, Semarang, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Jakarta.
  2. Dalang Ruwat Tiap 1 Sura selalu Ruwatan Masal bertempat di rumah Tambranlor, Kalitekuk, Semin. Pengalaman ruwatan selain tiap 1 sura :

-Ruwatan masal di pelataran Candi Mendut Salam Magelang

-Ruwatan Masal di Pantai Parangkusuma

-Ruwatan Masal di Cemani Sukoharjo, Jawa Tengah

-Ruwatan Masal di Pendapa Tangkilan, Bambanglipura Bantul

-Ruwatan Masal di Pendapa Tritunggal Tambak Bayan 

  Babarsari Jogjakarta

-Ruwat Bumi di kalurahan Katongan, Nglipar oleh Dinas Kebudayaan Kab Gunungkidul

-Ruwat Privat di rumah dengan peserta ruwat berasal dari beragam pendidikan dan profesi dari orang awam sampai dengan intelektual dari petani hingga pengusaha, pejabat, dokter, dosen, psikolog baik dari dalam negeri juga dari luar negeri seperti Jepang, Malaysia dan Singapura.

3. Sebagai Nara Sumber pada Talk Show Online Yang diselenggarakan oleh Koran Media Cetak “ Harian Jogja” dengan Tema Ruwatan Bangsa. Kamis,19 Agustus 2021

4. Sebagai Nara Sumber pada Sarasehan Budaya di Kadipaten Pura Pakualaman dengan moderator Kangjeng Tumenggung Sudibyo ( Mantan Setda DIY )

5. Sebagai Pengasuh Rubrik spiritual kejawen di media cetak / Koran Kedaulatan Rakyat / KR Minggu  di halaman 9 , sejak tahun 2012  sampai sekarang.

6. Sebagai Nara Sumber / Pambombong pada Acara “ Ngudhar Kawruh Tembang “ TVRI Jogjakarta tahun 2020, 2021, 2022

7. Sebagai Nara Sumber Juri pada Acara “ Gladhi Kawruh “ TVRI Jogjakarta tahun 2021

8. Sebagai pemain atau pelaku  Pengisi acara “Pangkur Jenggleng” TVRI Jogjakarta tahun 2019,2020,2021

9. Sebagai Sutradara, Penulis naskah  dan pemain  Kethoprak, baik pada festival kethoprak maupun tanggapan umum sejak tahun 1986 -2023

10. Pimpinan Campursari Kuncoro Manis 

11. Sebagai MC panyandra Temanten 1990- 2023

12. Sering menjadi Juri festival Kethoprak tingkat Kapanewon di  Panggang dan Girisuba.

13. Juri Porseni IGTKI- PGRI pada lomba gerak dan Lagu tahun2021

14. Juri Lomba Pidato Bahasa Jawa Anggota Dharma Wanita Persatuan Se Kabupaten Gunungkidul pada Peringatan Hari Ibu tahun 2020

15. Sering menjadi Juri lomba pranatacara dewasa tingkat Kabupaten, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Gk

16. Menjadi Juri lomba pidato bahasa jawa  tingkat dewasa di kabupaten, yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan, Gk

17. Menjadi Pembina atau pembimbing siswa dalam persiapan lomba pidato bahasa jawa tingkat SLTA ke Provinsi DIY

18. Pemeran dalam acara Dagelan Mataram di TBY  DIY bersama Waluyo,Ki Susena Aji, Suhin ,Gatot Sujarno , Sari dll

19. Juara I Pidato Bahasa Jawa tingkat Kabupaten dalam acara memeringati Hari Kebangkitan Nasional

20. Juara 1 pidato bahasa Jawa pada HUT  PGRI tingkat Kabupaten

21. Juara 1 lomba pidato bahasa Jawa tingkat Propinsi

22. Sebagai Nara Sumber bersama KRT Harsadiningrat,BA ( Mantan Bupati Gunungkidul ) dan Mbah Guno yaitu gabungan antara Talk Show dan Sarasehan Budaya sekaligus sebagai Dalang pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk dengan lakon “Wahyu Makutha Rama” di Pendapa Tambak Bayan , Babarsari,Sleman, Yogyakarta 

23. Menjadi Abdi Dalem Karaton Yogyakarta dengan diberi pangkat Mas Wedana dan diparingi/dikasih nama abdi dalem” Mas Wedana Marta Harya Sena, S.Pd

24. Nara Sumber pada Workshp budaya dengan Tema “ Sinau basa,Unggah-ungguh lan Tatakrama” di Kalurahan Rejosari Semin, Gunungkidul 

25. Sebagai pemandu pada upacara atau ritual tradisi Mitoni bagi Ibu hamil usia tujuh bulan

26. Sebagai pengikror saat berbagai acara kenduri baik saat syukuran, slametan maupun kenduri saat malam tirakatan baik di kalurahan maupun di Kapanewon.

27. Sering diminta untuk menafsirkan atau memprediksi isyarah yang ada pada kain penutup Cupu Panjala oleh berbagai media cetak maupun media on line saat pembukaan Cupu Panjala.

(Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar