PATUK,kabarhandayani.com – Beberapa tahun yang lalu, Gunungkidul merupakan daerah yang dikenal gersang dan kering. Oleh karena itu, Suratimin, warga Padukuhan Salak, Desa Somoyo, Kecamatan Patuk, Gunungkidul berupaya untuk mengembangkan hutan rakyat seluas 492 hektar. Berbagai macam pohon ditanam seperti jati, mahoni, sengon laut, akasia, sono keling dan berbagai macam buah. Untuk memulainya setiap warga menanam sekitar 3.000-5.000 pohon.
Suratimin (50) menuturkan, ia sempat merantau ke luar Jawa selama 12 tahun di Papua dan 3 tahun di Kalimantan. Dari keprihatinannya ketika melihat realita pada tahun 1988 pohon masih banyak tetapi dengan beriringnya waktu Desa Semoyo sudah tidak lagi seasri dulu. Sumber mata air yang dulunya melimpah mulai berkurang, bahkan kicauan burung sudah jarang terdengar.
“Walaupun di rantau tapi dulu saya tetap berfikir bagaimana nanti ketika saya di rumah dan apa yang harus saya sumbangsihkan kepada desa”, ujarnya.
Suratimin kembali menetap di Desa Semoyo pada tahun 2004 dan menggagas kelompok atau wadah yang dapat mewadahi masyarakat untuk berkumpul dan diskusi membahas tentang lingkungan. Latar belakangnya yang merupakan anak petani, membuat Suratimin menyukai alam sejak kecil ia pun menciptakan ide sebagai desa kawasan konservasi.
Kelompok yang dibentuk Suratimin awalnya hanya berjumlah 30 orang. Mereka memulai dengan melakukan studi banding dan berbagai kegiatan seperti Sekolah Pertanian Rakyat (SPR) dan Sekolah Anak Petani (SAP) yang berlokasi di rumahnya. Hingga pada 18 Agustus 2007, Desa Semoyo dijadikan sebagai Desa Kawasan Konservasi.
Suratimin mengaku, mengajak masyarakat untuk beralih menanam tanaman hutan daripada tanaman pertanian pada lahannya memang cukup membutuhkan waktu. Suratimin terbantu dengan adanya Proyek Bangun Desa yang memberikan dukungan kepada warga dengan memberikan berbagai macam tanaman buah dan pohon keras sehingga masyakat mulai paham tentang keuntungan menanam pohon hutan.
“Masyarakat mulai diberi pengertian sederhana seperti ketika punya kayu tidak usah beli untuk bangun rumah lalu masyarakat tergerak dengan sendirinya”, ungkapnya.
Suratimin memaparkan, awalnya kelompok hutan rakyat ini tidak dimbangi dengan manajemen yang baik. Masyarakat tidak menyadari akan bagaimana memanfaatkan hasil hutan rakyat. “Padahal ini merupakan peluang untuk memanfaatkan hasil hutan rakyat secara maksimal untuk menuju kesejahteraan rakyat”, tegasnya.
Selain menjadi penggerak kawasan desa konservasi Suratimin juga mengelola radio komunitas Radekka 107,7 FM. Suratimin menjelaskan bahwa radio merupakan salah satu media untuk menyampaikan dan mentransferkan ilmu tentang lingkungan. “Berita lingkungan sangat kompleks, bukan hanya tumbuhan tetapi apa yang terjadi di sekitar kita sehingga radio sangat dibutuhkan. Tentunya kami lebih banyak mewartakan potensi yang ada di daerah kami”, tegasnya.
Hasil dari jerih payahnya tersebut ia menerima Penghargaan Kalpataru Tahun 2013 sebagai Pelestari Lingkungan dan Penggiat Radio Komunitas.
Semua itu bukan tanpa kendala, kondisi masyarakat yang sudah terkontaminasi produk instan, misalnya punya kayu tetapi justru masyarakat lebih memilih membeli kursi plastik. Melihat realita seperti itu, Suratimin kemudian mencetuskan ide mebuat jargon Desa Kawasan Konservasi Hutan Rakyat Menuju Kesejahteraan Masyarakat.
Suratimin juga merintis usaha mebel sejak satu tahun ini. Usaha ini untuk memanfaatkan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada.
“Tidak hanya saya, tetapi ada beberapa kelompok di desa ini. Kami mengolah potensi lokal sebagai upaya mensejahterakan warga masyarakat. Tidak semata-mata untuk kepentingan bisnis, kecuali membeli kayu di luar desa dan atau mempekerjakan pegawai dari luar Desa Semoyo itu orientasi bisnis”, paparnya.
“Banyak orang yang menganggap bisnis saya ini kurang menghasilkan. Tapi saya anggap itu sebagai apresiasi orang lain, saya punya prinsip dan tujuan. Semua ini bukan pada seberapa besar finansial yang diperoleh tapi pada nilai dan ilmu. Bukan untuk perorangan tapi untuk pemberdayaan masyarakat. Itu yang terpenting dari semuanya”, tegasnya.
Suratimin menjelaskan kendala hutan rakyat terletak pada kebiasaan masyarakat pada aktifitas tebang butuh yaitu menebang pohon pada saat butuh tanpa berfikir untuk menyiapkan ganti pohon baru terlebih dahulu. Sehingga Suratimin juga merintis lembaga keuangan Forest Bank Indonesia ( FBI) dengan jaminan kayu atau pohon. “Misal jaminan umur pohon 5 tahun maka kualitas kayu bertambah, besarnya juga bertambah”, paparnya.
Suratimin menambahkan, ia membutuhkan biaya minimal 3 milyar untuk mendirikan lembaga keuangan guna menanggulangi praktek tebang butuh tersebut. “Saya rasa nilai ini kecil bagi pemerintah. Ini tanggung jawab semua pihak yang terkait termasuk pemerintah untuk mewujudkannya”, ujarnya.
Selain itu, limbah mebel olahannya bukan hanya dijadikan kayu bakar tetapi dimanfaatkan sebagai kerajinan yang berdaya guna berupa gantungan kuncil, flashdisk, handle pintu dan pembatas buku.
Suratimin terus mengajak kepada warga untuk memanfaatkan kayu yang sudah memiliki nilai jual menjadi barang yang lebih bernilai tambah tidak dijual dalam bentuk kayuglondongan. “Tidak ada yang namanya makelar kayu tapi kayu ini diolah sendiri oleh warga, ini pondasinya, memberdayakan masyarakat memang bukan hal yang instan”, tegasnya.
Hutan rakyat ini juga menjadi langganan mahasiswa untuk melakukan penelitian dan bahan skripsi. Selain itu, dia juga sering menjadi pembicara di berbagai acara sampai sekarang. “Prinsipnya belajar bersama dan mengajak untuk melestarikan lingkungan. Meskipun tidak selaris kacang goreng tapi kita yang nandur (menanam) dan kita juga yang akan ngunduh(menuai)”, pungkasnya.
Laporan Reporter: Mutiya, Editor: Hery