GUNUNGKIDUL, (KH),– Belakangan ramai-ramai muncul penolakan atas permohonan peninjauan ulang Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) di Gunungsewu khususnya di Kabupaten Gunungkidul. Permohonan peninjauan tersebut tak lain dibuat oleh Pemkab Gunungkidul kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Rencana tersebut lantas memantik reaksi berupa penolakan dari banyak pihak. Mereka yang menamakan diri sebagai Koalisi Masyarakat Pemerhati Karst Indonesia pun mengirim surat penolakan dengan berbagai pertimbangan kepada Gubernur DIY sekaligus Menteri ESDM RI, Arifin Tasrif.
Dalam surat juga dibubuhkan tandatangan pernyataan dukungan sejumlah tokoh, perwakilan lembaga, LSM, Yayasan, dan perkumpulan dengan berbagai latar belakang. Penolakan yang disampaikan itu berlandaskan beberapa alasan, bahwa dampak dari peninjauan ulang atau pengurangan KBAK akan berdampak pada ketidakpastian hukum dan berbagai ancaman yang akan dihadapi. Seperti: perubahan lahan dan pembangunan secara masif serta potensi eksploitasi diantarnya pertambangan yang berpengaruh pada ekosistem kawasan karst sebagai kawasan warisan dunia yang sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai kawasan Global Geopark Network (GGN) pada tahun 2015.
Dalam surat juga disebut, KBAK sudah ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 3045 K/40/Men/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gunung Sewu sebagai kawasan lindung geologi, dimana luasan KBAK Gunungkidul adalah 75.835,45 Hektar. Saat ini, jumlah luasan tersebut sedang diusulkan untuk dikurangi menjadi 37.018,06 hektar atau 48,81% dari total luasan yang dilindungi. Peninjauan ulang KBAK itu menyangkut beberapa pertimbangan diantaranya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, dalam hal ini berkaitan dengan pengembangan pariwisata, pembangunan infrastruktur, dan Industri.
Ketua Pusat Studi Karst UPN Veteran Yogyakarta, Prof. Dr. Ir. Sari Bahagiarti Kusumayudha, M.Sc., dalam rilis tertulis turut bersuara. Menurutnya, Karst di Gunungkidul terbentuknya jutaan tahun. Karst merupakan ladang ilmu pengetahuan yang tak ada habisnya untuk digali, dari aspek geologi, hidrologi, geomorfologi, speleologi, arkeologi, biologi, pertanian, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya.
“Gunungkidul menurut saya identik dengan Karst Gunung Sewu yang berkembang semakin baik dan sempurna ke arah selatan, Gunungkidul juga menjadi terkenal karena ada Gunung Sewu yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Global Geopark. Tidak semua tempat punya karst lho, semestinya Gunungkidul bersyukur, bangga, dan melestarikan karst yang eksotik ini. Bukan mengurangi luasnya,” tandas Sari.
Senada dengan Sari, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno, M.T., berpendapat, bahwa pengelolaan kawasan karst lebih baik dan lebih ekologis dengan mengedepankan pemanfaatan jasa ekosistem. Pemanfaatan dengan pendekatan ini paling sesuai dengan jargon yang dianut sebagai warga Jogja ‘Memayu Hayuning Bawana‘.
“Saya menyayangkan semua upaya yang berujung pada pemanfaatan karst yang eksploratif dan eksploitatif, antara lain dengan mengubah luasan KBAK dengan kata lain itu bermakna pengurangan dari luasan karst itu sendiri. Semoga kita bisa menjaga karst kita, memanfaatkan lebih berkesinambungan untuk pembangunan yang berkelanjutan,” terang dia.
GM Unesco Global Geopark Gunung Sewu, Ir Budi Martono tak ketinggalan berteriak. Dengan adanya isu peninjauan ulang atau pengurangan luas kawasan karst Gunung Sewu, pihaknya menyatakan tegas tidak setuju.
Setidaknya ada beberapa alasan yang ia kemukakan. Pertama, Gunung Sewu mempunyai keunikan dan nilai ilmiah yang sangat tinggi, yang terdiri dari ribuan bukit yang berbentuk kerucut tumpul atau yang terkenal dengan sebutan Conical Karst Hill, mempunyai nilai ilmiah yang sangat tinggi dan hanya dijumpai di negara tropis seperti Filipina dan Jamaica.
“Alasan kedua, hal ini merupakan preseden buruk pada saat tahun depan akan direvalidasi yang kedua oleh Unesco Global Geopark, karena kami harus memperkecil luas kawasan Karst Gunung Sewu dan mengubah peta Karst Gunung Sewu. Sejatinya, konsep geopark tidak melarang aktivitas ekonomi yang berada di kawasan tersebut, asal aktivitas ekonomi tersebut tidak bertentangan dengan aturan yang sudah ada baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat. AMDAL, tata ruang, IMB, dan perizinan yang lain,” papar Budi.
Ditemui di kantornya belum lama ini, Sekretaris Dinas Pertanahan dan Tata Ruang Gunungkidul, Mahartati menjelaskan, permintaan peninjauan kembali KBAK ke Kementerian ESDM benar adanya. Namun demikian, alasan peninjauan kembali itupun juga memiliki dasar yang kuat.
“Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kami terakhir direview tahun 2011. Seiring dengan pesatnya pembangunan di segala bidang di Kabupaten Gunungkidul, maka keberadaan bentang alam dan wilayah termasuk di KBAK juga mengalami berbagai dinamika, sehingga RTRW kami (Gunungkidul) perlu dilakukan review ulang. Karena wilayah Gunungkidul terdapat KBAK maka peninjauan kembali terhadap KBAK perlu dilakukan,” beber Mahartati.
Dia menyebut, banyak yang telah berubah di Gunungkidul, diantaranya juga berada di dalam KBAK. Seperti pembangunan Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS). Jalan itu akan menghubungkan Pacitan – Wonogiri – Gunungkidul – Bandara YIA di Kabupaten Kulonprogo. Akses tersebut sebagai fasilitas pengembangan KSPN (Kawasan Strategis Pengembangan Nasional). Pembangunan JJLS sebagai aksesibilitas baru ini akan memicu pengembangan di Gunungkidul, khususnya wilayah selatan.
“Tata ruang dan wilayah sudah banyak berubah. Maka kami perlu menyelaraskan dengan melakukan review RTRW. Contoh, selain JJLS sendiri, saat ini banyak bermunculan rumah atau permukiman baru di kanan kiri JJLS. Kalau mau jujur permukiman baru di KBAK inipun sebetulnya perlu kelengkapan perijinan. Sementara saat ini permintaan perijinan yang jalan meski belum optimal baru bangunan yang bersifat untuk usaha,” terangnya.
Lanjutnya, terlebih dalam Perda RTRW DIY tahun 2019 – 2039, kawasan selatan Gunungkidul menjadi bagian yang mendapat perhatian lebih dalam pembangunan. Sesuai dengan konsep Pemda DIY bahwa laut sebagai halaman depan (Abad Samudera).
Alasan lainnya, keunikan alam KBAK beserta pantainya, telah menarik sejumlah investor untuk menanamkan investasi baik berupa pengembangan obyek wisata, daya tarik wisata maupun sarana dan prasarana penunjang pariwisata.
“Jadi kami ingin mewadahi itu semua. Dalam review RTRW Kabupaten Gunungkidul membutuhkan peninjauan ulang KBAK yang akan dilakukan diataranya oleh Badan Geologi,” tandas Mahartati.
Dia menegaskan, peninjauan ulang KBAK tak berarti pengurangan luasan. Segenap proses dan hasilnya nanti akan diserahkan sepenuhnya ke Badan Geologi. Termasuk mengenai rencana kajian RTRW pun sejauh ini pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Badan Geologi.
“Karena kami ingin me-review RTRW, maka perlu peninjauan kembali KBAK, dan ini juga saran dari Badan Geologi, loh,” tuturnya.
Pihak-pihak terkait juga dilibatkan dalam koordinasi persiapan RTRW dan peninjauan KBAK, diantarnya akademisi dan yang punya wewenang terhadap Unesco Global Geopark.
Lebih jauh disampaikan, peninjauan KBAK tidak serta merta bisa diasumsikan akan terjadi pemanfaatan kawasan untuk pembangunan atau eksploitasi kawasan karst secara masif. Pemanfaatan kawasan karst selama ini sebenarnya telah diatur.
“Kawasan karst merupakan kawasan lindung, seperti hutan, sempadan pantai dan sungai. Semua ada aturannya memanfaatkan kawasan itu. Apakah sejauh ini di lapangan aturan bisa ditegakkan dengan tertib?” timpalnya.
Maka, Mahartati lagi-lagi menegaskan, justru peninjauan ulang KBAK diantarnya dalam rangka me-review RTRW akan memberi kejelasan. Diantarnya mengenai titik-titik mana yang bisa dimanfaatkan yang tentunya sesuai aturan yang berlaku.
Demikain halnya dengan kawasan tambang. Sebagaimana diketahui, perijinan tambang menjadi wewenang DIY. Wilayah yang ditetapkan boleh ditambang pun saat ini sudah cukup jelas.
“Soal tambang ini juga ada aturan sendiri. Wewenangnya bukan pada kami tapi di Pemda DIY. KBAK mau ditinjau ulang atau tidak, wilayah di Gunungkidul yang bisa ditambang sudah ditetapkan. Berkurang atau bertambah luasannya tergantung Pemda DIY,” ujar Mahartati panjang lebar.
Dia juga mengaku, dalam surat permohonan peninjauan ulang KBAK ke Kementerian ESDM tak menyebut kawasan dan cakupan luasannya. Sebab, pihaknya paham Badan Geologi yang lebih berwenang.
“Dalam surat itu kami lampirkan peta RTRW DIY dan Gunungkidul dan catatan rekomendasi tata ruang kawasan Pantai Selatan Jawa (Pansela), dan catatan kawasan strategis DIY, dan lain-lain,” tukasnya. (Kandar)