Namun kenyataan berkata lain, ijazahnya tak cukup ampuh menolong nasibnya. Penghasilan dari profesinya sebagai guru honor tidak dapat diandalkan sebagai penopang kebutuhan hidup bersama keluarganya.
“Seperti sudah putus asa, selama 7 tahun penghasilannya begitu-begitu saja,” ungkapnya, Jum’at, (3/4/2015).
Lelaki yang telah berkeluarga dengan satu anak yang tinggal di Desa Jetis, Saptosari tersebut tidak menyerah dengan keadaan. Dengan sisa semangatnya, awal 2014 lalu memberanikan diri berjualan nasi kucing atau biasa disebut angkringan.
Keputusan dan langkah yang diambilnya tersebut tak pelak mendatangkan cibiran, namun Marsono maju terus pantang untuk mundur. Statusnya sebagai sarjana tak membuatnya malu untuk berjualan.
Baginya, berjualan nasi kucing awalnya memang tidak nyaman dirasakan. Sejak awal sudah berjuang di bangku perguruan tinggi, tentunya ada harapan untuk mendapat pekerjaan yang mampu mendatangkan penghasilan yang layak.
Rutinitas sebagai guru dan penjuaI nasi kucing terus dijalani Marsono. Pagi melakukan tugas menjadi pendidik di sekolah, lalu ketika sore hingga malam menunggu lapak angkringnya. Di sela pekerjaannya tersebut, ia juga manfaatkan waktu dengan memberikan les atau bimbingan belajar bagi pelajar setingkat SD.
“Semoga kelak ada perubahan nasib,” harapnya sembari berdoa. (Kandar).