“Turunnya produksi akibat tingginya intensitas hujan. Banyak buah mete yang jatuh terkena air hujan, sehingga produksi mete menurun,” katanya saat ditemui di rumah produksinya, di Padukuhan Banjarejo, Rabu (8/4/2015).
Dia menjelaskan, untuk musim panen yang meliputi tiga wilayah, yakni Desa Karangmojo, Desa Jatiayu dan Desa Gedangrejo hanya mampu mengasilkan 35-40 ton mete dalam sekali panen. Padahal dalam panen sebelumnya, tiga wilayah tersebut menghasilkan 70 ton mete.
“Ada sekitar 30 pengrajin mete di KUBE Dadi Mulyo. Setiap pengrajin membutuhkan 1 hingga 1,5 ton bahan mete perbulannya. Ini yang membuat kita harus mendatangkan bahan baku dari daerah lain,” jelasnya.
Lanjut Suraji, para pengrajin harus mengeluarkan modal yang cukup banyak untuk mendatangkan bahan baku dari daerah lain. Setiap kilonya mereka harus membeli bahan mete dengan harga Rp. 19-20 ribu perkilonya. “Harganya meningkat dua kali lipat. Padahal saat panen raya, harga bahan hanya Rp 10-12 ribu perkilonya,” terangnya.
Suraji mengungkapkan, musim panen mete hanya terjadi sekali dalam setahun, yakni sekitar Bulan Agustus hingga Desember. Produksi dari tiga desa yang masuk dalam kelompoknya, saat ini tidak mampu mencukupi permintaan bahan baku dari sejumlah pengusaha mete yang ada.
“Kita mengambil dari daerah yang masih satu kawasan dengan Gunung sewu, karena kualitas dan rasa metenya sama,” paparnya.
Sementara, pengrajin mete Desa Gedangrejo, Sulatri mengatakan, harga mete siap goreng saat bahan sulit didapat meningkat hampir dua kali lipat. Mete kering open dengan kualitas baik saat ini dijual dengan harga Rp. 110 ribu perkilonya.
“Saat produksi bahan melimpah harga mete hanya Rp 60-65 ribu perkilonya. Kini naik dua kali lipat,” paparnya.
Para pengrajin berharap, dinas terkait dapat melakukan peremajaan tanaman mete di wilayahnya, sebab saat ini banyak tanaman mete yang sudah tergusur dengan tanaman keras lainya. “Kita berharap ada peremajaan tanaman mete, sehingga produksinya bisa terus meningkat,” tandas Sulastri. (juju)