SAPTOSARI, kabarhandayani.– Sekilas wanita ini nampak normal, fisiknya sempurna. Sebuah lagu campursari ia dendangkan dengan apik, suara merdunya membuat penonton tanpa sadar menggerakkan tubuhnya untuk ikut bergoyang atau sekedar mengangguk-anggukkan kelapa.
Dengan percaya diri Siti Rohani (27) menyanyi dari panggung ke panggung menghibur penonton. Namun, dibalik suara merdunya ternyata Siti adalah seorang penyandang tuna netra. Fisik dan fikiran gadis kelahiran 5 Juli 1988 ini berfungsi dengan baik kecuali mata. Penyakit bawaan sejak lahir membatasi keinginannya untuk melihat indahnya dunia.
Kekurangan Siti tidak menyurutkan niatnya untuk terus belajar. Berawal dari hobinya mendengarkan radio, ia mulai menyukai dunia seni. Siti gemar bernyanyi, puluhan lagu sudah ia hafal. Semua lirik lagu ia hafal bukan dari membaca namun hanya dengan mendengarkan lagu secara berulang-ulang.
Gadis ini tinggal di Padukuhan Karang, Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul bersama 5 saudara dan kedua orangtuanya. Berasal dari keluarga yang serba kekurangan dan salah satu panca inderanya yang tidak berfungsi dengan baik sempat membuat Siti menarik diri dari dunia luar. Terkadang cemoohan “si buta” terdengar di telinganya. Tapi tekadnya untuk belajar tidak pernah surut hingga tahun ini ia lulus SMA standar Sekolah Luar Biasa (SLB) Suharjo Putra.
Prestasinya tidak hanya dapat lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Ia pun mampu membaca Al Quran dengan huruf braile. Siti juga sempat mendapat juara menyanyi penyandang difabel tingkat nasional yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat tahun lalu.
“Dulu sebelum masuk SLB sempat minder tetapi sekarang, kekurangan ini tidak jadi penghalang untuk saya belajar. Dengan keterbatasan malah membuat saya semakin optimis untuk terus belajar,” jelasnya mantap.
Dengan prestasi yang dapat dibanggakan Siti mengajak kepada sesama penyandang difabel untuk tetap semangat karena dibalik kekurangan yang dimiliki, jika mau belajar dan terus menggali kemampuannya pasti mempunyai kelebihan. Dia juga berharap kepada orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus untuk tidak malu dalam menyekolahkan anaknya di SLB.
Kepada KH Siti mengungkapkan keinginan terbesarnya, seusai lulus SMA ia ingin menempuh pendidikan selanjutnya. Siti ingin kuliah, namun Siti menyadari kemampuan orang tuanya yang kekurangan, pasalnya sejak SD hingga SMA taraf SLB ini sepenuhnya dibiayai oleh sekolah termasuk tinggalnya di asrama.
“Aku ingin sekali kuliah, kuliah di jurusan seni suara. Tetapi masih bingung juga dengan biayanya. Saya ingin meringankan beban mereka meskipun dengan kondisi fisik saya yang seperti ini, saya ingin membuat orang tua saya bangga,” ungkapnya lirih. (Mutiya/Hfs)
Dengan percaya diri Siti Rohani (27) menyanyi dari panggung ke panggung menghibur penonton. Namun, dibalik suara merdunya ternyata Siti adalah seorang penyandang tuna netra. Fisik dan fikiran gadis kelahiran 5 Juli 1988 ini berfungsi dengan baik kecuali mata. Penyakit bawaan sejak lahir membatasi keinginannya untuk melihat indahnya dunia.
Kekurangan Siti tidak menyurutkan niatnya untuk terus belajar. Berawal dari hobinya mendengarkan radio, ia mulai menyukai dunia seni. Siti gemar bernyanyi, puluhan lagu sudah ia hafal. Semua lirik lagu ia hafal bukan dari membaca namun hanya dengan mendengarkan lagu secara berulang-ulang.
Gadis ini tinggal di Padukuhan Karang, Desa Jetis, Kecamatan Saptosari, Gunungkidul bersama 5 saudara dan kedua orangtuanya. Berasal dari keluarga yang serba kekurangan dan salah satu panca inderanya yang tidak berfungsi dengan baik sempat membuat Siti menarik diri dari dunia luar. Terkadang cemoohan “si buta” terdengar di telinganya. Tapi tekadnya untuk belajar tidak pernah surut hingga tahun ini ia lulus SMA standar Sekolah Luar Biasa (SLB) Suharjo Putra.
Prestasinya tidak hanya dapat lulus SMA dengan nilai yang memuaskan. Ia pun mampu membaca Al Quran dengan huruf braile. Siti juga sempat mendapat juara menyanyi penyandang difabel tingkat nasional yang dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat tahun lalu.
“Dulu sebelum masuk SLB sempat minder tetapi sekarang, kekurangan ini tidak jadi penghalang untuk saya belajar. Dengan keterbatasan malah membuat saya semakin optimis untuk terus belajar,” jelasnya mantap.
Dengan prestasi yang dapat dibanggakan Siti mengajak kepada sesama penyandang difabel untuk tetap semangat karena dibalik kekurangan yang dimiliki, jika mau belajar dan terus menggali kemampuannya pasti mempunyai kelebihan. Dia juga berharap kepada orangtua yang mempunyai anak berkebutuhan khusus untuk tidak malu dalam menyekolahkan anaknya di SLB.
Kepada KH Siti mengungkapkan keinginan terbesarnya, seusai lulus SMA ia ingin menempuh pendidikan selanjutnya. Siti ingin kuliah, namun Siti menyadari kemampuan orang tuanya yang kekurangan, pasalnya sejak SD hingga SMA taraf SLB ini sepenuhnya dibiayai oleh sekolah termasuk tinggalnya di asrama.
“Aku ingin sekali kuliah, kuliah di jurusan seni suara. Tetapi masih bingung juga dengan biayanya. Saya ingin meringankan beban mereka meskipun dengan kondisi fisik saya yang seperti ini, saya ingin membuat orang tua saya bangga,” ungkapnya lirih. (Mutiya/Hfs)