WONOSARI,(KH) —Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang mulai diterapkan pemerintah belum sepenuhnya dijalankan dan diminati masyarakat Gunungkidul. Sebab, biaya yang dikeluarkan cukup tinggi.
Padahal, penerapan SVLK sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan No.97/M-AG/PER/12-2014, tanggal 24 Desember 2014, tentang ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan dan PermenLHK No.P.95/Menhut-II?2014 tanggal 22 Desember 2014, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No.P43/Menhut-II/2014, tentang Penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang izin atau hutan hak
Pengawas Tenaga Teknis Hutan Produksi Lestrari, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Gunungkidul, Anton Tedi Sanjaya mengungkapkan SVLK di Gunungkidul, meski lamban, masih tetap berjalan. Minimnya peminat untuk mengurus sertifikasi dikarenakan ada beberapa faktor. Di antaranya prosesnya cukup panjang dan butuh biaya cukup tinggi. Perlu beberapa proses untuk pengajuan mulai dari persiapan lokasi dan potensi, sampai tahap penilaian.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk proses persiapan hingga sertifikasi, bisa mencapaisekitar Rp60 juta. Hal ini, karena penilaian membutuhkan pihak ketiga yang bersifat independen. Anton menyebut, contohnya Non Governmental Organization (NGO).
“Hingga kini baru ada dua kelompok yang melakukan SVLK yakni Koperasi Wana Manunggal Lestari, Desa Dengok, Playen dan SPP Desa Semoyo, Patuk. Untuk Desa Dengok pun dibekukan, karena dalam proses sertifikasi memerlukan proses survei setiap dua tahun, survei ini juga membutuhkan biaya, mereka masuk dalam penilaian tahap awal 2011 dan seharusnya 2013 atau 2014 dilakukan survei, mungkin karena faktor biaya tidak dilanjutkan, dan dibekukan,” jelas Anton, saat ditemui di kantornya.
Namun demikian, dikatakan Anton, Proses SVLK ini yang diharapkan membuat dari Hutan Industri yang ada di Gunungkidul yang jumlahnya sekitar 40 ribuan. Sementara hutan rakyat cukup membuat Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP). Ia menambahkan, sertifikasi ini tidak semerta membuat harga jual kayu menjadi tinggi. Melainkan hanya tata kelola pengolahan kayu, bahkan dengan SVLK maka ketika sebatang kayu telah ditebang, sudah ada persiapan bibit tanaman pengganti. Selain itu, membantu produk kayu lebih mudah untuk menembus pasar ekspor.
Sementara itu, Divisi Publikasi Asosiasi Pengusaha Mebel Gunungkidul (APMeG), Marni Bayu Utama mengungkapkan bahwa, meskipun para pengusaha sedikit banyak telah mengetahui fungsi sertifikasi kayu, langkah ini belum diterapkan oleh para pengusaha. Pasalnya proses sertifikasi membutuhkan beberapa tahap. Sedangkan APMeG yang notabene masih berstatus perajin industri rumahan, mengalami kendala seperti Sumber Daya Manusia dan masih membutuhkan jalan agar pengurusan sertifikasi menjadi lebih mudah.
“Beratnya biaya pengurusan sertifikasi juga menjadi salah satu alasan, modal usaha saja masih kurang kuat. Harapan ke depan, asosiasi bisa lebih disupport juga untuk pengurusan sertifikasi kayu dan produk kayu,” tuturnya. (Maria Dwianjani)