Mengais Air Keruh Guna Mempertahankan Hidup

oleh -4554 Dilihat
oleh

GUNUNGKIDUL, (KH),– Sejak Bulan Juli- Agustus 2023, musim kemarau melanda Kabupaten Gunungkidul. Bagi wilayah tertentu, datangnya kemarau tak menjadi persoalan berarti. Namun, bagi warga yang tinggal di wilayah perbukitan, pemenuhan air menjadi perkara pelik. Seperti di Padukuhan Ngipik salah satunya.

Padukuhan ini terletak di sisi utara lereng pegunungan Batur Agung di Kalurahan Tegalrejo, Kapanewon Gedangsari.

Sularmi, Senin (9/10/2023) siang yang terik sedang menimba air di sebuah sumur tua. Aktivitas menimba ini dilakukan begantian bersama beberapa warga lain. Sumur tersebut berada di pekarangan rumah warga setempat yang telah berpindah ke Klaten sejak lama.

Air yang di angkat dari sumur dengan kedalaman sekitar 17 meter tersebut kondisinya berwarna putih keruh. Tak layak konsumsi memang. Namun demikian, air itulah yang dapat diandalkan guna menyambung hidup.

“Untuk semua kebutuhan, mandi, mencuci dan dikonsumsi. Sumber air ini yang paling dekat dengan rumah kami,” katanya disela istirahat menimba air.

Air
Sularmi menuangkan air ke jerigen. (KH/ Kandar)

Jerigen miliknya telah terisi penuh. Nanti jerigen akan ia gendong dibawa pulang ke rumah. Sularmi harus berjalan kaki sejuah sekitar 400 meter melalui jalan setapak yang medannya sulit. Meniti jalan di lereng bukit. Persis di sebelahnya jurang yang sangat dalam.

“Ada 7 keluarga yang mengambil air di sini. Setiap hari,” tuturnya.

Memang, tak semua warga Ngipik menjalani aktivitas seperti Sularmi. Mereka yang tinggal di lereng yang lebih rendah atau di bawah bukit masih memungkinkan memanfaatkan air sumur yang diangkat dengan mesin pompa.

“Dulu ada saluran pipa yang dihubungkan ke rumah. Akan tetapi tak bertahan lama. Persoalannya tidak kuat di angkat sampai rumah kami. Mesin pompa juga sering rusak,” terang dia.

Rumah Sularmi hanya berjarak ratusan meter saja dari puncak bukit. Elevasi tempat tinggal itu yang menjadi biang sulitnya air dialirkan ke kediamannya.

Layaknya Sularmi, Sarintem pun menjalani aktivitas mengais air keruh di sumur yang sama. Menurutnya, pertimbangan kesehatan bukanlah lagi yang utama.

“Yang penting ada air. Setiap hari harus menyediakan waktu untuk mengambil air,” beber Sarintem.

Setiap pagi atau sore. Setaip kali mengambil, air akan habis dalam sesaat. Menimba pagi hari, dipakai siang atau sore harinya. Pengambilan sore hari, akan dipakai keesokan harinya. Terus menerus seperti itu.

Dia bertutur, air dari sumur juga dikonsumsi. Guna mengurangi kondisinya yang keruh, air didiamkan terlebih dahulu beberapa jam atau setengah hari. atau dicampur air dari sumbber lain yang agak jernih. Namun, jarak pengambilannya mencapai berkilo-kilo meter

“Rasanya kayak ada kandungan tanahnya begitu,” sambungnya.

Air
Warga Padukuhan Ngipik, Tegalrejo, Gedangsari pulang ke rumah membawa air meniti jalan setapak dengan medan yang sulit. (KH/ Kandar)

Ketua RT, Suranto membenarkan. Bahkan dia sendiri mengalaminya. Di Kawasan bukit dia tinggal ada 7 KK yang menjalani aktivitas seperti ini. Total jumlah jiwanya ada 22.

“Kebiasaan ini terjadi setiap tahun. Setiap dusun memang sudah dibuat sumur, tapi kami tetap kesulitan,” jelas pria dengan panggilan Surip ini.

Kalau kemarau panjang, sumur tersebut berisiko kering. Jika cadangan air benar- benar menipis, warga harus menungguinya terisi kembali. Praktis, alokasi waktu mengambil air menjadi lebih lama.

Air yang kami ambil harus betul-betul dihemat,” tukasnya. (Kandar)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar