GUNUNGKIDUL, (KH),– KH berkunjung ke Pantai Kukup, di Kapanewon Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul, DIY, Sabtu (23/10/2021). KH tiba saat mentari belum sepenuhnya menerangi pantai yang terletak di sebelah timur Pantai Baron ini. Horizon nun jauh di selatan belum begitu nampak.
Sepagi itu sudah ada rombongan wisatawan yang menikmati keindahan pantai. Sepertinya mereka menginap di hotel tidak jauh dari Pantai Kukup. Di antara wisatawan ada lelaki lansia melintas. Berkemeja dan mengenakan celana pendek sederhana. Tak beralas kaki ia berjalan menyelempang tas berwarna gelap sedikit lusuh.
KH menduga-duga, lelaki itu pedagang asongan yang tengah bersiap. Atau penyedia jasa sewa tikar dan payung. Bisa jadi pula dia nelayan yang hendak memancing. Ternyata semua itu meleset. Lelaki yang belakangan KH ketahui bernama Loso itu mengeluarkan kamera DSLR dari dalam tas. Karena penasaran, KH menyapa dan mendapat konfirmasi bahwa benar dia merupakan Fotografer.
KH kemudian meminta waktu berbincang. Salah satu alasannya, ingin tahu bagaimana perjalanan Loso bisa terjun di dunia yang umum digeluti anak muda ini. Bukan bermaksud meremehkan, usianya telah menginjak 60-an tahun, tampilannya pun tak menunjukkan seorang yang akrab dengan dunia teknologi digital khususnya fotografi.
“Sudah cukup lama, ada 7 tahunan. Sebelumnya dagang asongan bakpao,” kata Loso sembari tersenyum. Kami lantas duduk lesehan di pasir kemudian berbincang panjang lebar.
Pada kartu anggota ‘Pokdarwis Pantai Kukup’ yang ia tunjukkan, Loso tercatat memiliki jenis usaha pedagang Bakpao. Menjadi pedagang asongan makanan sebelumnya juga pernah dilakukan di Pantai Pulangsawal. Ia juga tercatat sebagai anggota Pokdarwis pantai yang berada di Kapanewon Tepus itu. Karena kesulitan bagi waktu, kemudian ia memilih keluar dari keanggotaan Pokdarwis Pantai Pulangsawal.kemudian fokus di Pantai Kukup.
Saat ia masih menjalani rutinitas menjajakan Bakpao, layanan jasa foto di kawasan Pantai Kukup telah berlangsung. Pelakunya pun didominasi anggota Pokdarwis kelompok usia muda, baik lelaki mapupan perempuan.
Berbeda dengan orang yang sepantaran, 7 tahun lalu Loso mengaku tertarik ikut terjun melayani jasa foto. Loso kemudian dibantu anaknya mencari kamera DSLR di Yogyakarta. Dengan uang hasil tabungan, Loso membeli kamera second tipe Canon 1200D.
“Ya cari-cari info. Mantap nyari tipe ini, soalnya bandel. Sudah ada fitur wifi-nya juga,” ujarnya sedikit me-review ‘senjata’ miliknya. Loso menunjukkan kameranya. Nampak masih segar dan terawat.
Selain membeli kamera, Loso juga menebus lensa tele. Total uang yang ia keluarkan sebanyak Rp4.200.000. Selama 7 tahun, belum pernah kamera kesayangannya eror.
Loso mengaku rutin merawat kamera yang dipakainya untuk mencari rezeki itu. Sehabis pulang, kamera dibersihkan pakai alkohol. Sesudah itu disinar pakai lampu bohlam 5 watt selama 2 jam.
Warga Planjan, Saptosari ini melanjutkan cerita. Hampir tiap hari ia datang ke pantai sejak pagi memantau situasi wisatawan yang berkunjung. Jika ramai, ia akan berbaur di tengah hiruk pikuk wisatawan kemudian menawarkan jasa.
“Kalau akhir pekan, hampir seharian di pantai. Kalau hari biasa perlu memantau dulu, jika sepi ya pulang bertani,” tutur Loso.
Sebelum menjadi tukang foto wisatawan, dirinya mengaku tak pernah belajar fotografi secara detail kepada rekan seprofesi. Dirinya nekat saja, asal setting mode otomatis, Loso tinggal jepret-jepret. Agar hasil cetakan bagus, ia serahkan urusan itu pada tukang editing dan cetak.
“Yang penting terang atau jelas gambarnya,” timpal dia sembari mengeluarkan bekal bahan-bahan rokok lintingan.
Dalam sehari ia biasa mendapatkan uang antara Rp150.000 hingga Rp200.000. Kalau penghasilannya tembus Rp200.000 ia setor ke juragan Rp80.000. Juragan yang ia maksud yakni tukang edit yang sekaligus melayani jasa cetak. Ada 9 orang yang punya mesin printer pencetak foto. Setiap satu orang yang melayani cetak foto, ada 4 fotografer yang menjadi kelompok.
“Foto-foto mbak, satu lembar Rp10.000. Fél (file)-nya bisa dikirim,” teriak Loso menawarkan jasa foto kepada wisatawan yang melintas di depan kami.
Menurut dia, menjadi tukang foto wisatawan kuncinya tak lelah dan sungkan menawarkan jasa kepada wisatawan yang berkunjung.
“Seandainya berminat disyukuri, kalau toh tidak ya tidak apa-apa,” imbuhnya disusul mengisap rokok.
Bapak 3 anak dan kakek 5 cucu ini menyebutkan, selama ini jarang sekali konsumen menyampaikan komplain. Kalau toh kurang memuaskan, pengambilan foto bisa diulangi. Semakin ramai kunjungan wisatawan, semakin laris pula usaha jasa yang ia tawarkan. Ditegaskan, asal tak sungkan menawarkan, peminatnya tergolong lumayan. Meski hp wisatawan banyak yang dilengkapi kamera dengan fitur bagus, masih saja ada wisatawan yang tertarik memanfaatkan jasa foto.
Saat sepi permintaan jasa foto, Loso sesekali kembali menjajakan Bakpao. Di luar itu tentu saja ia juga bertani. Rutinitas menjual Bakpao menjadi usaha sampingan baginya. Ia sudah cukup mantap memilih menjadi fotografer. Menjadi fotografer dinilai lebih praktis dan simpel. Kemudahannya, tak perlu belanja tiap hari kayak dagang makanan. Pun demikian, barang bawaan juga jauh lebih enteng.
Loso mengungkapkan, hasil motert wisatawan, ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan harian. Jika ada yang lebih, sebagian ditabung. Hasil dari tabungannya, terkadang dimanfaatkan untuk menjenguk anak tertua di Bengkulu.
“Tiap dua hingga tiga tahun sekali saya ke Bengkulu main ke rumah anak. Sudah berkeluarga dan menetap di sana. Saya dulu pernah ikut transmigasi ke sana. Anak tertua menikah dan memilih menetap di sana,” tutur Loso lagi.
Tak terasa cukup lama KH berbincang dengan Loso. Suasana pagi yang agak dingin memang membuat betah kami beedua ngobrol. Mendung masih menggelayut menghalangi pancaran mentari membuat angin laut tak terasa gerah.
Tepat pukul 07.00 WIB Loso berpamitan pulang. Dirinya hendak mengantar istri pergi ke ladang yang akan menebar benih padi. Dua kali hujan selama sepekan terakhir membuat warga di kawasan selatan mantap memulai musim tanam tahun ini.
“Mengantar istri ke ladang dulu, nanti kembali ke pantai. Ini akhir pekan semoga ramai,” harap dia sambil berlalu.
Loso memang bukan fotografer profesional. Ia tak mahir mengatur setingan kamera secara lebih detail. Teknik mengambil gambar juga tak seperti fotografer expert. Namun setidaknya, dengan kemauannya yang keras, membuat dirinya mampu beradaptasi dengan kemajuan. Usia yang tak lagi muda bukan halangan. Ia percaya diri dan gigih selalu berusaha menyesuaikan diri. Buktinya, tidak sia-sia, Loso tetap produktif dan mampu menyukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. (Kandar)