Dengan berjualan bakmi Jawa, ia dapat mengantarkan pendidikan dua anaknya lulus hingga perguruan tinggi. Saat ini anak-anaknya telah mendapat pekerjaan. Menurutnya, usaha jualan bakmi tidak hanya sebagai pekerjaan sampingan, tetapi menjadi jalan rezeki yang diandalkan.
“Saya syukuri menjadi penjual bakmi. Hasilnya lebih dapat diandalkan dari hasil gaji PNS. Bagi saya ini sukses,” tutur Sugito.
Pagguyuban Pedagang Bakmi Terbentuk
Saat Desa Piyaman mengikuti lomba Desa se-DIY, salah satu penyebab perolehan nilai yang kurang maksimal karena Piyaman belum memiliki BUMDes, sehingga Pemdes waktu itu mengharapkan BUMDes dapat dirintis melalui para pedagang bakmi. Karena itu dibentuklah paguyuban pedagang bakmi. Sejak berdiri pada 12 Mei 2014, paguyuban kini memiliki 46 anggota.
Dari sekian anggota tersebut, di antaranya telah memiliki cabang. Bahkan ada yang memiliki hingga enam lokasi. Sebagian di antaranya juga tak harus menunggu lapak bakmi, karena sudah ditangani oleh karyawan.
“Kegiatan di paguyuban diisi dengan pertemuan rutin arisan dan simpan pinjam. Sebagai modal kita kumpulkan dari masing-masing anggota sebesar Rp 500 ribu,” ungkap Sukiran.
Paguyuban ini juga mempunyai beberapa kesepakatan, di antaranya mengenai harga jual tiap satu mangkok sajian. Mereka yang telah bergabung ke dalam pagguyuban ini sepakat mematok harga sama, yakni Rp 12 ribu per porsi. Di Piyaman sendiri ada dua Paguyuban yakni Manunggal Jaya untuk lingkup desa, dan satu lagi kelompok tingkat padukuhan, di mana semua anggotanya berjualan di Yogyakarta.
Dari ratusan penjual bakmi yang ada, sebagian besar berasal dari Padukuhan Ngerboh I dan II, Padukuhan Pakel Jaluk, Kemorosari I dan II, dan Piyaman I dan II. Perkembangan peningkatan jumlah penjual bakmi dari Piyaman ini diperkirakan terjadi sekitar tahun 2005. Terlebih adanya peningkatan kunjungan wisata di wilayah Gunungkidul, jumlah pedagang berkembang pesat.
Seakan memutar sejarah perkembangan jualan bakmi Jawa. Sugito menyebutkan, pada tahun 60-an di kota Wonosari hanya ada 5 penjual bakmi. Kemudian menjadi berjumlah hingga ratusan penjual yang ada seperti sekarang ini sebagian besar pedagangnya berasal dari Piyaman.
“Kita biasa sharing mengenai resep antar anggota paguyuban, dan musyawarah mengenai kemajuan usaha masing-masing,” pungkas Sugito menutup pembicaraan dengan KH. (Kandar)