Gambaran Perjuangan Merintis Usaha Hingga Berhasil
Hampir di seluruh pelosok DIY, penjual bakmi dari Piyaman bertebaran. Ada juga di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan lainnya. Bahkan Sugito juga membuka usaha jualan bakmi Jawa di Samarinda Kalimantan Timur.
Pur Sukiran dan Sugito tak hanya mahir membuat bakmi. Keduanya juga mahir membuat gerobak atau angkring bakmi. Gerobak bakmi dari Piyaman memiliki ciri khas tersendiri, di antaranya; memiliki roda tiga, sebelah kiri terdapat 3 rak dan di depan ada dua rak, serta apabila berjualan ayam kampung selalu digantung di gerobak sisi sebelah kanan. Harga gerobak yang mereka buat berkisar antara Rp 3,5 hingga 4 juta.
Kedua pengusaha bakmi ini memiliki cerita berbeda ketika memulai usaha. Seperti yang disampaikan Sukiran, sejak tahun 1967 ia ikut ikut orang tuanya berjualan bakmi di Yogyakarta. Saat itu ia memiliki dua profesi berbeda. Ketika siang menjadi tukang kayu, lantas saat malam hari jualan bakmi. Kemudian tahun 1981 ia mulai berjualan sendiri. Jualan secara keliling menjadi pilihannya waktu itu. Menurutnya, bertahan selama kurang lebih 20 tahun berkeliling di seputar Wonosari bukan hal yang biasa. Ia menyebut jualan keliling selama itu membutuhkan keteguhan hati dan kemantapan niat.
Sudah menjadi hal biasa menemui hujan dan dinginnya malam. Hal itu tak menjadi halangan lagi bagi Sukiran. Setelah merasa cukup lama berjualan keliling, dan memiliki pelanggan, maka ia memutuskan jualan menetap di wilayah Trimulyo Kepek Wonosari. Untuk melayani banyaknya pembeli, ia mengoperasionalkan dua gerobak sekaligus.
Saat mulai berjualan secara menetap, ia melatih karyawannya dengan serius. Mereka yang kebanyakan masih ada ikatan saudara dan tetangga ini dilatih hingga benar-benar mampu memasak dengan hasil rasa yang enak. Kemudian setelah berhasil dalam melatih, salah satu upaya agar karyawan tidak keluar, maka ia memberikan upah yang sesuai, bahkan tergolong tinggi atas kerja dengan durasi sekitar 8 jam itu.
“Upah per karyawan antara Rp 80 hingga 120 ribu setiap malam. Karena kalau ada yang keluar kita repot lagi harus melatih karyawan baru,” jelas Sukiran. Rata-rata hasil dari dua gerobak itu mampu memperoleh laba bersih antara Rp 300 hingga 500 ribu, sedangkan saat ramai seperti pada Lebaran penghasilan naik hingga 7 kali lipat.
Sementara itu kisah jualan bakmi yang dijalankan Sugito berbeda dengan Sukiran. Sebelum ia membuka lapak di Budegan, terdapat cerita panjang yang menjadi latar belakangnya. Sebagaimana situasi pada umumnya pada tahun 1973, banyak keluarga mengalami keterbatasan biaya sekolah. Namun hal tersebut bukan halangan bagi Sugito. Demi dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi lantas agar kelak cita-cita hidup lebih baik tercapai, ia bersedia bekerja membantu jualan bakmi. Dirinya ikut berjualan di lapak milik pakdenya (kakak dari ibu) di wilayah Yogyakarta. Ia rela tidak menerima upah secara langsung, tetapi lebih memilih mendapat fasilitas pembiayaan sekolah di Sekolah Menengah Analis Kesehatan (SMAK).
Sugito berbagi waktu antara jualan bakmi di malam hari dengan waktu belajar di sekolah saat siang. Karena berasal dari keluarga kurang mampu, ia berusaha selalu semangat demi perubahan nasib. Singkat cerita, Sugito diangkat menjadi PNS di Samarinda, Kalimantan Timur. Takdir itulah yang membuatnya memiliki cabang bakmi di sana. Lantas saat ada mutasi, kemudian ia kembali ke kampung halaman. Di Budegan Piyaman, ia kembali membuka usaha di halaman rumahnya. Sementara warung bakmi yang berada di Samarinda dijalankan oleh adiknya.
Warung bakmi Sugito di Budegan seolah tidak pernah libur, kecuali seluruh keluarga pergi karena ada kesibukan lain. Meski tanggal merah atau hari libur, tetap saja buka. Karena mulai dari istri dan anaknya sudah mendapat ilmu membuat bakmi darinya.