Penulis: Sumaryanto
KABARHANDAYANI,- Akhir-akhir ini kebebasan berbicara dan mengungkapkan pendapat di media sosial (medsos) serasa semakin liar dan tak terbendung menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres 2014). Tanpa filter dan sensor apapun setiap orang bisa berekspresi, menggunjing, membela, bahkan mengumpat orang lain dengan bebas.
Medsos akhirnya menjadi tempat untuk mencurahkan fanatisme bahkan memarjinalkan terhadap capres tertentu. Masyarakat pun akhirnya seakan terpisah menjadi 2 golongan karena terpengaruh dari berbagai debat dan pendapat. Debat emosional sering terjadi karena membela mati-matian capres yang didukung.
Dalam group facebook sebuah karang taruna desa yang kapasitasnya masih dalam lingkup desa pernah terjadi perdebatan yang akhirnya saling mencela. Permusuhan justru terjadi di antara kawan karena kapasitas dalam menanggapi sebuah argumentasi berbeda-beda pada setiap orang.
Orang yang mencoba untuk netral pada akhirnya akan merasa bosan dengan sederetan notification pada medsos-nya dengan berbagai status yang menunjukkan polarisasi pada capres tertentu. Status menjadi membosankan karena selalu mendewakan atau menjelekkan pasangan capres dengan mempertahankan alasan yang terkadang tak rasional.
Anehnya lagi di medsos, mereka yang tak tahu-menahu tentang perpolitikan justru yang membela mati-matian Capres pilihannya seakan-akan mereka akan mendapatkan milyaran rupiah, jabatan pemerintahan, atau bahkan jabatan menteri keuangan setelah capres-nya terpilih.
Entah apa yang membuat mereka berdebat di medsos sedemikian hebat, entah supaya kelihatan cerdas dan pintar, adanya kepentingan, seringnya berhalusinasi menjadi pengamat politik ternama langganan televisi nasional, atau memang benar-benar ingin mencari kebenaran fakta. Hanya yang pasti, apa yang ada dalam kalimat mereka sering menunjukkan polarisasi yang belum tentu ia pahami kebenarannya.
Belum lagi kalau fanatisme pada capres dalam medsos sering dibingkai dalam isu agama, ras, suku, yang bisa semakin memperuncing keadaan. Ditambah lagi dengan statemen dari tim sukses masing-masing capres yang tidak mendidik hingga mampu membangun stigma lawan politik seakan menjadi musuh yang harus dibenci.
Demokrasi di Indonesia sebegitu mahalnya, namun ternyata berdampak pada banyak hal, salah satunya perpecahan. Apa yang menjadi tujuan demokrasi ternyata belum bisa dipahami setiap orang termasuk para politisi yang notabene penganut demokrasi tulen. Kemudian sosmed menjadi sarana mengeluarkan pendapat meski terkadang tak mendidik negeri yang sedang belajar berdemokrasi ini.
Pada akhirnya, pilihan capres adalah di tangan rakyat. Dalam sistem demokrasi yang legal-formal diberlakukan di republik tercinta ini, rakyatlah pemegang kekuasaan penuh. Rakyat memberikan mandat kepada pasangan capres yang dipilihnya dalam menentukan nasib bangsa 5 tahun ke depan. Hati nurani rakyat sebenarnya sudah pintar dan akan semakin pintar dalam menentukan pilihan pemimpin bangsa. Tentunya pilihan itu atas petunjuk Tuhan yang didukung dengan analisis cerdas yang mampu membedakan siapa presiden yang lebih pantas untuk memimpin negeri, tanpa harus terjebak dalam gempuran kampanye di sosmed yang terkadang tak mendidik.
_________________________
Penulis adalah wartawan paruh waktu Kabarhandayani, sehari-hari berkarya sebagai tenaga pendidik di sebuah sekolah di Gunungkidul.
Sumber gambar ilustrasi: www.pcplus.co.id