“Kalau bicara konsumsi minuman, di Gunungkidul lebih populer teh atau kopi. Tidak ada cokelat,” ujarnya.
Festival Cokelat digelar untuk mengenalkan cokelat ke masyarakat Gunungkidul. Sekaligus untuk mendorong agar konsumsi cokelat naik. Tingkat konsumsi berbanding terbalik dengan negara-negara di eropa. Di sana konsumsi cokelat menjadi lifestyle. Padahal faktanya, Gunungkidul menjadi penghasil cokelat dengan kualitas yang baik.
Kegiatan Festival Cokelat yang digelar di Jl. Gereja, Kecamatan Wonosari, Minggu, (30/9/2018) kemarin diikuti belasan UKM pengolah cokelat. Dirinya berharap, cokelat menjadi ikon kuliner berikutnya setelah belalang, gatot serta tiwul.
“Harus dimunculkan lagi yang baru. Cokelat asal Gunungkidul ini sudah waktunya untuk di dorong,” tandasnya.
Cokelat memang dikenal sebagai komoditas kuliner berstereotipe ‘mahal’. Menurut Asmono hal tersebut justru menguntungkan petani cokelat. Sebab, jika semakin populer, ditunjang peningkatan kemampuan mengolah yang dilakukan UKM maka akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gunungkidul.
Diakui, kendala kemampuan pengolah dalam hal inovasi berupa riset awal. Sebab, riset mengolah cokelat butuh ilmu dan biaya yang tidak sedikit. Sehingga butuh campur tangan dari pemerintah serta berbagai berbagai lembaga.
Dalam kesempatan yang sama, Bupati Gunungkidul, Badingah, sepakat bahwa cokelat di Gunungkidul harus didorong menjadi ikon kuliner baru di Gunungkidul.
“Cokelat harus menjadi ikon kuliner di Gunungkidul,” tegas Badingah. (Kandar)