PATUK, kabarhandayani.– Talas atau Colocasia esculenta tumbuhan penghasil umbi yang dapat dimakan. Talas pun sudah dibudidayakan sejak dulu sebagai makanan selain nasi di musim paceklik.
Namun talas jenis safira atau talas jahe ini belum banyak dibudidayakan dan dimanfaatkan dengan baik. Keberadaan talas Safira ini berasal ketika masa pendudukan Jepang di Indonesia sebagai ketahanan pangan Jepang yang dikenal dengan nama Satoimo.
Salah satu pembudidaya talas safira adalah Eko (38), warga Padukuhan Plumbungan, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Gunungkidul. Ia mengaku sudah membudidayakan talas sejak dua tahun yang lalu.
“Saya baru panen dua kali dan sekarang menanam lagi. Ini talasnya berbeda dengan talas biasanya, lebih berdaya jual. Talas ini pun cocok ditanam di Gunungkidul,” jelasnya pada Sabtu (12/7/2014).
Di atas lahan seluas 400 meter persegi, Eko menanam talas safira sebanyak 2.000 batang. Dengan memanfaatkan lahan yang merupakan sawah tadah hujan sehingga ketika musim hujan ia tanami padi, maka ketika mendekati musim kemarau ia memanfaatkan lahan kosong tersebut dengan difungsikan sebagai lahan untuk menanam talas safira.
Eko menjelaskan, lahan untuk menanam talas safira diolah dan dibuat bedengan-bedengan. Hal ini dimaksudkan agar mempermudah dalam drainase ketika penyiraman. Pasalnya, talas safira tidak dapat tumbuh dengan baik pada lahan yang terlalu banyak air.
Menurut Eko, keuntungan menanam talas safira terletak pada periode waktu tanam yang tidak mengenal musim, dengan catatan harus memperhatikan drainasenya. Selain itu, waktu tanam hingga panen hanya membutuhkan waktu sekitar 4 bulan.
Keuntungan lainnya, harga talas safira lebih tinggi jika dibandingkan dengan talas biasa, yakni Rp 4.000,00 per kilo, sedangkan talas biasa hanya sekitar Rp 1.500,00 per kilo. Jika talas dirawat dengan baik maka hasil umbinya dapat maksimal.
“Musim panen kemarin dapat sekitar setengah ton. Meskipun hanya sebagai tanaman pengganti padi, namun hasilnya lumayan,” pungkas Eko. (Mutiya/Hfs)