PATUK, kabarhandayani.– Upaya terus dilakukan untuk meningkatkan harga jual produk seni kerajinan berbahan dasar kayu seperti cindera mata etnik berupa patung dan topeng. Bermacam strategi terus dikembangkan dengan teknik-teknik tertentu agar menghasilkan produk berkualitas dengan daya jual tinggi sehinga meningkatkan perekonomian pengrajin.
“Kita melakukan penelitian mengenai produk-produk seni mulai dari pengelolaan dan managemen, proses produksi pemasaran, pengelolaan keuangan yang berpacu pada konsep industri kreatif yang berbahan dasar kayu seperti patung loro blonyo. Selanjutnya, kerajinan loro blonyo ini kita kembangkan dengan teknik finishing berupa batik sebagai strategi untuk meningkatkan ekonomi pengrajin,” ungkap Slamet Subiyantoro, ketua tim peneliti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta di pondok kerajinan Kriyo Manunggal, Padukuhan Bobung, Desa Putat, Kecamatan Patuk, Gunungkidul pada Jumat (8/8/2014).
Lanjut Slamet, teknik finishing batik menjadi salah satu pengembangan yang mempunyai perspektif ekonomi yang cukup kuat. Batik tidak hanya tertuang pada kain tetapi juga pada kayusa lah satunya adalah patung loro blonyo.
Dari sekian banyak hasil produk kerajinan, kata Slamet, loro blonyo dipilih karena memiliki kultur atau kearifan lokal yang kuat. Pasalnya, loro blonyo bukan hanya sekedar bentuk visual melainkan mempunyai makna simbolik yang mengandung nilai-nilai keluhuran. Sehingga loro blonyo bukan hanya kultur tetapi juga termasuk komoditas yang bernilai ekonomi dengan prospek pemasaran yang bagus.
Secara filosofis, patung loro blonyo merupakan simbol kesuburan dan kemakmuran bagi masyarakat jawa. Loro Blonyo adalah perwujudan Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Dalam mitos Jawa, Dewa Wisnu dan Dewi Sri merupakan simbol kemakmuran yang berkesinambungan. Masyarakat dahulu percaya bahwa meletakkan Loro Blonyo di rumah dapat memberikan pengaruh atau sugesti positif terhadap keluarga mereka.
“Pengembangan desain kita lakukan, karena dinamika budaya terus berkembang dan generasi menginginkan tuntutan yang berbeda setiap jaman, penambahan motif batik pun terus dilakukan. Peminatnya pun mayoritas adalah wisatawan asing yang biasanya tidak hanya menyukai bentuk tetapi juga budaya yang ada di dalamnya,” tambahnya.
Sementara itu, Sujiman, perintis Sentra kerajinan topeng kayu Karya Manunggal sejak tahun 1990 berharap produk kerajinan di Padukuhan Bobung dapat mengalami kenaikan dalam segi kualitas dan kuantitas. Produk kerajinan pun diharapkan dapat tersebar luas dan peminatnya semakin banyak.
“Dengan banyaknya peminat maka produk yang kita buat akan semakin banyak dan akan meningkatkan luasnya lapangan kerja,” pungkas pria yang memiliki karyawan sejumlah 62 orang yang 20 diantaranya adalah karyawan tetapnya. (Mutiya/Hfs)