Talang

oleh -
oleh
Talang, saluran pembuangan air pada atap rumah. Dok: WG.
iklan dprd

Yang jelas, talang adalah ‘talang-atur’ Sang Langit kepada Bumi. Konsep talang, jika berada di antara petak-petak sawah atau tegalan, maka biasa disebut ‘ilen-ilen’. ‘Ilen-ilen’ (mereka) sawah/tegalan menghaturkan dan mempersembahkan air hujan untuk ‘ngelebi’ (merendam) tanah sawah/tegalan; memanjangkan kehidupan tanaman.

Oleh karena peran itu, saya teringat kepada penokohan seperti Hermes sebagai ‘talang-atur’ para Dewa (yang melahirkan tafsir tak berkesudahan terhadap bumi serta isinya), atau Sri-Saddana sebagai talang kesuburan dunia agraris (yang mengingatkan kepada kulawangsa manusia bahwa perkawinan-perkawinan yang dilakukan ole kulawangsa-kulawangsa manungsa adalah ‘kawin-sumbang’).

Sistem pemanenan air hujan (water harvesting) pada masyarakat kawasan selatan Gunungkidul. Foto: WG.

Dan di musim hujan ini, talang-talang masih saja diujungkan di bak-bak penampungan (dibangun di samping rumah, beberapa ada yang di dalam rumah), semacam ‘wadhah’ atau ‘blumbangan’ atau ‘wadhuk’ atau ‘talaga’ yang digunakan untuk menampung air-hujan agar menggenang lebih-lama. Air-hujan (yang sesungguhnya suci-murni, belum tercampur kotoran-udara, atau unsur-unsur kebumian lain sebangsa mineral) dipaksa menjelma berwujud ‘air-tawar’ seperti yang dikonsumsi harian oleh kulawangsa-desa. Air-hujan, yang Langit, yang terkadang asam karena tercampur polutan (aksi memanen hujan dilengkapi dengan tindakan penyaringan) ditalangkan kepada bumi: “ngebun-bun enjing anjejawah sonten”, diminta melakukan pernikahan (‘rarabi’).

Sebaliknya, hujan yang berasal dari langit nan jauh (‘wuni’) ditawar oleh kulawangsa Gunungkidul, mau kah ia yang asam itu dianggap tawar seperti air-bermineral yang terserak di sekitar kehidupan kulawangsa dan terbiasa dikonsumsi? Terkadang, meskipun malu-malu Ia (‘udan’) menolak syaratnya, akan tetapi air-bumi (‘tawa’; ‘warih’) memohon kepada Dewa agar mereka berkenan dipersatukan oleh talang, oleh saluran, oleh ‘kalen’, oleh ‘kali’, oleh jalan-jalan yang ‘ndawa-ula’ ke pelosok-pelosok bumi, ke samudera.

iklan golkar idul fitri 2024

Bumi ‘keleban banyu-Langit’ (hermaprodit).

Talang-talang menjadikannya (air hujan yang Langit) itu berkelamin ganda (‘mangro’); sekaligus membangun pemanunggalan kelamin dengan air yang berada di bumi (‘pawiwahan’). Sehingga di musim hujan kali ini para kulawangsa-tani di sepanjang Gunung Batur (sisi barat-utara), Gunung Sewu (sisi selatan), Gunung Gajahoya (sisi timur-utara), maupun Cekung Ledhoksari, bersama-sama ‘ndandani talang’ agar tidak bocor sana-sini, dan di saat ‘hudan’ tumpah (‘lambah-lambah’) di permukaan bumi mereka bisa ‘nyagak talang’; duduk-duduk ‘jangongan’ tepat di bawah talang-talang, sambil berharap mengucurnya benda masyarakat agraris yang ‘kinurmatan’ ini (sangat dihormati; ‘banyu-hudan’ nan suci), yang bersifat menyuburkan (‘udan-sih’), yang tidak berciri mengorbankan (‘talang-jiwa’; korban jiwa manusia, ‘ingon-ingon’, serta ‘tetanduran’); ‘udan-tangis’ pun betebaran.

Sebentar kemudian bersegera mereka (para among-tani) ‘nalang-jiwa’ (mengorbankan jiwa-raga) mengolah, menanam, dan menumbuhkan biji kehidupan (‘bumipala’) di tanah-tanah garapan, menjaga ‘talang-urip’ demi masa depan, mengukuhkan ‘pepadan’ penyangga ‘talang-atur’ dari Tuhan.

Panen-raya diagungkan. Dielu-elukan. [WG]

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar