WONOSARI, (KH)— Berbagai kisah menarik menyertai perjalanan panjang sejarah wilayah yang dulu dikenal dengan nama Gunungsewu yang kemudian bernama Gunungkidul ini. Salah satunya adalah kisah tokoh ‘antagonis’ Rangga Puspawilaga, punggawa wilayah Seneng Siraman. Memang agak sulit menelisik kisah-kisah lokal Gunungkidul karena tidak banyak terekam dalam dokumentasi tertulis. Meskipun bukan berasal dari sumber-sumber primer, cerita rakyat tentang seluk-beluk Gunungkidul tetap dapat digunakan sebagai salah satu sumber yang bisa dikaji dan dipetik manfaatnya. Terdapat legenda, babad, atau kisah-tokoh terkait yang menyertai asal-usulnya yang dapat melengkapi kajian menarik tentang per-Gunungkidul-an.
Seperti diketahui, Gunungkidul sebelum berdiri menjadi sebuah wilayah kadipaten bagian dari Kerajaan Ngayogyakarta yang beribu kota atau pusat pemerintahan di Wonosari merupakan hutan belantara bernama Alas Nangka Dhoyong. Dalam cerita pembukaan babad Alas Nangka Dhoyong tersebut terdapat nama tokoh yang dikenal pemberani bernama Demang Damar. Ia bersedia melaksanakan perintah raja, meskipun para pimpinan (punggawa) wilayah-wilayah tua di Gunungsewu saat itu tidak sanggup atau tidak berani karena alas bebondhotan (Hutan Nangka Dhoyong) dikenal angker. Hutan Nangka Dhoyong merupakan tempat tinggal makhluk halus penunggu hutan atau dhanyang bernama Nyi Gadhung Mlati yang bengis.
Dalam sistem pemerintahan di Gunungsewu masa itu, merujuk pada Kitab Pararaton, dikenal jabatan-jabatan sebagai berikut: dari kedudukan paling atas yakni raja, lalu patih, kemudian adipati, panji, rangga, demang, lurah, bekel, jagabaya, ulu-ulu, dan seterusnya. Di Gunungsewu, punggawa dengan kedudukan tertinggi dipegang oleh seorang adipati, lalu di bawahnya panji, dan seterusnya ke bawah. Sehubungan dengan sistem pembagian jabatan ini, awal pembukaan Alas Nangka Dhoyong disertai adanya perselisihan antara tokoh antagonis dengan protagonis. Karena ketidaksukaan tokoh antagonis Gunungsewu asal Seneng (Siraman) bernama Rangga Puspawilaga kepada Demang Damar. Rangga adalah jabatan setingkat asisten wedana (semacam pembantu adipati). Sedangkan jabatan demang berada setingkat di bawahnya. Rangga Puspawilaga yang dikenal sakti ini merasa dipermalukan karena kesediaan dan keberanian Demang Damar yang akan membuka hutan meskipun atas perintah raja. Padahal Rangga Puspawilaga memiliki kedudukan lebih tinggi dan merasa memiliki ilmu kanuragan lebih hebat.
Merujuk kisah yang dipaparkan oleh Harjana, warga Padukuhan Piyaman I Desa Piyaman Kecamatan Wonosari, yang merupakan salah satu keturunan Demang Damar, disebutkan bahwa perselisihan antara Demang Damar dan Rangga Puspawilaga sudah dimulai saat para punggawa Gunungsewu menempuh perjalanan pulang dari kraton seusai mendengarkan sekaligus bermusyawarah bersama sang raja mengenai niatnya membuka Alas Nangka Dhoyong yang akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Raja melalui Adipati Wiranegara yang berkedudukan di Sumingkar sebelumnya diperintahkan mengumpulkan punggawa Gunungsewu waktu itu. “Punggawa Gunungsewu masa itu antara lain: Panji Hardjadipura di Semanu, Rangga Puspawilaga di Seneng (Siraman), Demang Pengalasan di Ngawen, Demang Damar di Piyaman, dan Mangun Genengan di Karangrejek,” tutur Harjana. (Catatan penting: di mana lokasi desa/wilayah bernama bernama Sumingkar ini belum terkonfirmasi sampai artikel ini ditulis).
Saat perjalanan pulang dari kadipaten itu, Rangga Puspawilaga berhenti di jalan. Ia berniat mencegat Demang Damar yang memang pulang belakangan. Karena telah menyanggupi perintah raja, Demang Damar diminta tidak beranjak terlebih dahulu untuk diberi redana (bekal) berupa harta benda demi keperluan babat alas. Melihat gelagat Puspawilaga yang memang memiliki watak dan karakter agul, congkak, cenderung gegabah, rusuh, dan kasar, Panji Hardjadipura berusaha mengingatkan. Dalam pementasan Kethoprak adegan percakapan antara Panji Hardjadipura dengan Rangga Puspawilaga biasa dimunculkan percakapan seperti ini: “Adik Puspawilaga, tidaklah perlu dipermasalahkan. Mari pulang, Damar sudah menyanggupinya! Kalau kamu merasa mampu kenapa tidak menjawab bersedia melaksanakan tugas membuka hutan?” tanya sang Panji, sebagaimana diperagakan Harjana. Puspawilaga berdalih, ia berhenti hanya untuk istirahat saja. Kenyataannya, sesampai Damar di tempat tersebut, Puspawilaga langsung mencerca. Dengan mengeluarkan umpatan-umpatan kepada Demang Damar, yang dianggap sebagai demang ‘kemarin sore’, telah lancang bersedia melaksanakan tugas berat itu.
Diajaklah Demang Damar oleh Rangga Puspawilaga untuk berkelahi, beradu kehebatan. Awalnya Demang Damar sempat menolak, tetapi tetap saja perkelahian terjadi. Karena keduanya memiliki kemampuan yang sebanding maka perkelahian terhenti. Rasa benci yang berlebih pada diri Rangga Puspawilaga membuatnya menyumpah dan mengutuk Demang Damar, bahwa ia tidak akan berhubungan lagi dengannya, tidak akan menganggapnya sebagai saudara, dan memutus hubungan dengannya hingga keturunan ke-7. Suatu jumlah atau kuantitas untuk menunjukkan rentang waktu yang lama atau untuk selamanya.
Tempat di mana peristiwa tersebut terjadi menjadi asal-usul nama tempat. Pada waktu itu kuda-kuda rombongan Demang Damar diikatkan pada Pohon Sambi. Ditambah adanya sumpah-serapah Rangga Puspawilaga yang tak mau berhubungan dengan Demang Damar hingga keturunan ke-7, maka sebagai pengingat pada suatu saat di jaman kemakmuran kelak, oleh Demang Damar tempat tersebut dinamakan Sambipitu. Tak hanya berhenti di tempat bernama Sambipitu ini, pertentangan yang diberikan oleh Rangga Puspawilaga sempat membuat Demang Damar ragu akan pelaksanaan tugas raja ini. Beberapa saat setelah melanjutkan perjalanan berhentilah ia di suatu tempat. Demang Damar mengungkapkan keraguannya itu pada salah satu pengawal. Si Pengawal berusaha meyakinkannya agar tetap bertekad ‘bulat’ (Jawa: bunder). Lalu tersebutlah tempat itu hingga kini dengan nama Desa Bunder atau Hutan Bunder. Perjalanan dilanjutkan, firasat tidak baik muncul lagi di hati Demang Damar. Jika ia melalui jalan seperti biasanya, ia takut Rangga Puspawilaga akan kembali mencegat dan mengajak bertikai. Maka Demang Damar memutuskan mengambil jalan lain. Tatkala ia mencari jalan pintas ia menemukan Pohon Kedawung. Lantas ia memberikan sebutan wilayah itu dengan sebutan Ndawung (sebuah desa). Lokasinya saat ini berada di sekitar perempatan Gading. Ia memilih berjalan ke timur untuk menghindari rombongan Rangga Puspawilaga.
Singkat cerita, berhasillah Demang Damar membuka hutan atas bantuan kakaknya bernama Nyi Niti Pawira. Nyi Niti mengalahkan (melalui perundingan dan kesepakatan) Nyi Gadhung Mlathi (dhanyang penunggu hutan). Diawali dengan sebuah syarat: sebelum pembukaan (mbabat) hutan Demang Damar harus menjadi pasangan atau bersatu dengan Nyi Gadhung Mlathi. Cerita pernikahan ini seperti halnya apa yang diriwayatkan para tokoh Kerajaan Mataram semenjak Panembahan Senapati hingga anak turunnya yang menjadi pasangan Ratu Kidul. Syarat lain, pembukaan hutan dilakukan oleh 20 perjaka dan 20 perawan dan dilaksanakan dalam jangka waktu 40 hari selesai. Puncak 40 hari pembabatan hutan terjadi pada hari Jumat Legi. Weton Jumat Legi ini sekarang dijadikan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Gunungkidul.
Atas keberhasilan pembukaan Alas Nangka Dhoyong menjadi ‘ibu kota’, Demang Damar mendapat gelar baru yakni Demang Wanapawira. Setelah terbangunnya permukiman desa/kota sekaligus terbangunnya pusat pemerintahan di Wonosari (berasal dari kata wana ‘hutan’ dan asri atau sari ‘indah’), para punggawa diminta untuk membuka pasar yang lokasinya tak jauh dari letak pusat pemerintahan. Lokasi pusat pemerintahan waktu itu sekarang dikenal sebagai Bangsal Sewakapraja.
Pada waktu pembukaan pasar baru, sebenarnya sudah lebih dulu ada Pasar Kawak yang berada di Kademangan Seneng, di bawah kekuasaan Rangga Puspawilaga. Keberhasilan Demang Wanapawira mendirikan ibu kota yang diikuti pembukaan pasar baru membuat Rangga Puspawilaga semakin dengki. Bersama Puspayuda, adiknya, dan Suma Kancil serta saudara yang lain dari wilayah Bantul, Rangga Puspawilaga bermusyawarah. Mereka membicarakan Pasar Kawak (Seneng) yang semakin sepi. Bahkan Rara Sudarmi, anak Panji Hardjadipura dari Semanu yang ingin diperistri tidak lagi berbelanja di Pasar Seneng, melainkan di pasar baru. Mereka kemudian membuat siasat. Suatu ketika selepas Rara Sudarmi berbelanja Rangga Puspawilaga menghadangnya. Rangga Puspawilaga menggoda Rara Sudarmi serta meminta agar ia mau dipersunting.
Karena Rara Sudarmi tidak mau, lantas ia berlari kembali ke pasar untuk meminta perlindungan. Rangga Puspawilaga mengejarnya. Bertemulah Rangga Puspawilaga dengan Demang Damar (Wanapawira). Percekcokan terjadi. Rara Sudarmi lantas diantar pulang oleh Demang Wanapawira. Rara Sudarmi menyampaikan keluhannya pada Demang Wanapawira terkait niat Puspawilaga yang akan menikahi dirinya. Padahal semenjak peristiwa di pasar itu telah tumbuh perasaan cinta di antara Rara Sudarmi dan Demang Wanapawira.
Agar niat Rangga Puspawilaga mempersunting Rara Sudarmi gagal, maka Rara Sudarmi diminta oleh Wanapawira untuk membujuk ayahnya Panji Hardjadipura untuk mengadakan sayembara. Siapa saja yang memenangkan sayembara itu berhak menjadi suami Rara Sudarmi. Sayembara memperebutkan Rara Sudarmi berupa: siapa yang dapat memanah babal madu kucing (bakal buah nangka yang membusuk atau menghitam) dan kemudian anak panah serta babal masih tertancap atau tidak jatuh, maka dia lah pemenangnya. Sayembara ini sebenarnya merupakan rekayasa Wanapawira karena memang dia memiliki kemampuan untuk itu.
Dengan sombong dan sangat percaya diri Rangga Puspawilaga mengikutinya. Dengan kesaktiannya ia mulai memanah. Panah Rangga Puspawilaga tidak mengenai sasaran tetapi membuat dedaunan Pohon Nangka di Alun-alun Semanu rontok. Saat Puspawilaga melepaskan anak panah dari busurnya, berkat kesaktian, angin besar terjadi seketika itu. Lalu tiba giliran Wanapawira. Dengan mudah ia berhasil memanah bakal buah busuk (babal-bosok) tanpa terjatuh. Melihat keadaan ini Rangga Puspawilaga kesal kemudian membuat onar. Ia berlari memacu kudanya mengelilingi alun-alun tanpa menghiraukan ada masyarakat yang terinjak lantas pulang meninggalkan arena sayembara.
“Kemudian Puspawilaga menyusun rencana, mengerahkan segala cara, dan mengatur siasat untuk merebut Rara Sudarmi. Sementara itu Rara Sudarmi hendak diboyong ke Piyaman. Untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan Wanapawira memilih berangkat di malam hari pada hari Senin Pahing,” urai Harjana. Maka, hari Senen Paing menjadi hari sakral bagi masyarakat Piyaman, dan ditetapkan sebagai hari pelaksanakan tradisi bersih desa atau rasulan.
Siasat Rangga Puspawilaga yang ingin merebut Rara Sudarmi diwujudkan dengan geraknya bersama pasukannya ke Piyaman untuk menantang perang. Ia tidak menghiraukan petungan Jawa (hitungan hari yang berhubungan dengan kebaikan dan keburukan atau naas) lagi. Saat ia beserta pasukannya berangkat tepat pada hari Senen Paing. Padahal menurut hitungan Senen Paing itu hari baik, tetapi digunakan untuk niat buruk. Sesampainya di sisi timur wilayah Piyaman, tabuhan gamelan riuh berbunyi sebagai isyarat tantangan perang. Rupanya, pada waktu sebelumnya, telah ada himbauan agar warga tidak keluar rumah, apalagi menanggapi rombongan yang datang dari Kademangan Seneng, karena dipastikan tujuannya mengajak rusuh/perang.
Tidak ada yang keluar rumah satu pun. Puspawilaga heran. Lalu ia mengeluarkan umpatan: orang-orang desa tersebut budheg (tuli), tidak bersedia menanggapi tantangan. Sehingga hingga kini desa itu disebut Desa Budegan. Ia dan rombongannya lantas bergerak ke arah barat. Ia membawa banyak panji-panji dan bendera yang bertebaran, yang banyak atau penuh (Jawa: ngemplek). Tetap saja tidak ada orang setempat yang menghiraukan. Lagi-lagi ia berujar bahwa tempat tersebut suatu saat nanti dijadikan wilayah dengan sebutan Ngemplek. Perjalanan menantang perang berlanjut. Sesaat berjalan lagi itu kuda yang dinaiki rombongannya tidak mau berjalan, hanya melompat-lompat (Jawa: ngangkruk/ ngangkrok) tidak mau berjalan maju. Rangga Puspawilaga yakin musuh telah memasang walat atau rajah. Lantas wilayah tersebut disebut Ngangkruk. Tidak jauh dari tempat itu kuda-kuda mereka tiba-tiba roboh berjatuhan (Jawa: ngebrok ‘rubuh’) sehingga nama wilayah itu saat ini bernama Padukuhan Ngerboh.
Setelah sampai di Alas Lurung Gedhe, sebuah area angker di Piyaman, barulah peperangan pecah. Sebagaimana pesan kakaknya, Nyi Niti, jika Wanapawira ingin melayani Rangga Puspawilaga berperang maka tidak boleh di lain tempat, hanya di Lurung Gedhe saja. Hal ini berkaitan dengan adanya bantuan jin/dhanyang yang telah bersahabat dengan Wanapawira saat membantu pekerjaan babad alas sebelumnya. Peperangan sengit terjadi. Cerita tutur menggambarkan bahwa Rangga Puspawilaga memang sakti luar biasa. Meskipun terkena tombak, ia tidak mati. Dikisahkan bahwa perang pada masa ini pun memakai aturan. Ketika matahari terbenam peperangan berhenti. Disebutkan, perang antara Demang Wanapawira dan bala tentaranya dengan Rangga Puspawilaga dan bala tentaranya berlangsung selama tiga hari.
Memang Rangga Puspawilaga menyimpan niat licik. Saat disepakati perang berhenti untuk sementara waktu, Puspawilaga bergerak kembali ke Desa Piyaman untuk menculik Rara Sudarmi. Perang yang terjadi pada hari ke-2 lebih pada upaya perebutan Rara Sudarmi oleh kedua pihak. Tahu akan hal ini, Wanapawira meminta bantuan Demang Grogol untuk menyembunyikan istrinya itu. Aksi kejar-kejaran terjadi. Sementara Wanapawira dan Puspawilaga bertarung, Rara Sudarmi diselamatkan oleh Demang Grogol. Wanapawira menantang Puspawilaga, jika ingin bertarung untuk menyelesaikan peperangan maka lebih baik kembali ke Alas Lurung Gedhe saja.
Upaya Rangga Puspawilaga mengejar Rara Sudarmi terus dilakukan. Sesampinya di suatu tempat sanggul (Jawa: gelungan) Rara Sudarmi terjatuh. Disebutlah nama desa tersebut dengan Desa Gelung. Dalam aksi saling kejar itu, disaat sampai pada suatu wilayah berbatu kapur, setiap batu yang diinjak roboh pecah berserakan (Jawa: nggrubyuk) diakibatkan kesaktian mereka. Kemudian sebutan Nggrubyuk menjadi nama wilayahnya. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi sepanjang peperangan lantas menjadi nama wilayah di sekitar Piyaman. Ada sebutan Desa Kajar, sebagai pertanda kuda yang dipakai oleh Rangga Puspawilaga kala mengejar Rara Sudarmi terhenti tak dapat bergerak (Jawa: kajar). Ada pula Desa Kedung, hal ini karena Puspawilaga menemui telaga atau kedhung sewaktu mengejar. Kemudian Rara Sudarmi diamankan di Song Putri di wilayah Sidareja Karangtengah. Sementara itu peperangan dianjutkan di Lurung Gedhe.
Wanapawira sampai habis pikir bagaimana cara mengalahkan Puspawilaga. Ia merasa akan menyerah karena sulitnya mengalahkan Puspawilaga. Setelah dinasehati Nyi Niti Pawira, kakaknya, bahwa untuk mengalahkan Puspawilaga dapat diumpamakan seperti ketika menebang pohon yang besar, harus dipotong ranting-rantingnya terlebih dahulu. Dengan nasehat ini, Wanapawira terlebih dahulu menyerang apa yang dikenakan Puspawilaga, mulai dari ikat kepala atau sorbannya, celana atau cindhe-nya, dan apa saja yang dikenakannya yang diasumsikan sebagai letak kesaktian Puspawilaga. Barulah Puspawilaga berhasil dibunuh dengan Tombak Kyai Muntab, itupun pusaka Wanapawira ini patah di bagian ujung. Rangga Puspawilaga akhirnya terbunuh.
Tidak seperti Demang Damar (Wanapawira) yang masih sangat jelas keberadaan makam atau petilasannya, yang anak turun atau trah keturunannya memiliki dokumen silsilah bahkan jauh sebelum bergelar Wanapawira telah tercatat dengan baik. Namun, di mana makam Rangga Puspawilaga dan siapa anak turunnya masih gelap. Di akhir cerita-tutur, Rangga Puspawilaga dikenal sebagai tokoh yang ‘antagonis’.
Menurut penuturan Harjana, jasad Puspawilaga terakhir kali disandarkan pada sebuah Pohon Asem yang besar, sehingga pohon itu disebut Asem Raden. Konon pohon Asem Raden yang berukuran luar biasa besar. Apabila ada 10 orang bergandengan tangan melingkari pohon ini tetap tak tersambung. Pohon ini roboh pada tahun 1963.
Saat KH mencoba mencari riwayat Puspawilaga di Seneng Siraman, para tokoh sepuh setempat menyatakan tidak tahu menahu tentangnya. Bahkan cerita tentang rangga ini tak sedetail seperti yang disampaikan nara sumber di Piyaman. Sedikit terkuak, Darso Rejo salah satu tokoh sepuh di Seneng Siraman sedikit mengungkapkan, memang sempat ada keyakinan kuat di masyarakat Seneng (Siraman) apabila ada pemuda wilayah ini akan menikahi gadis dari Piyaman merupakan pantangan yang besar (Jawa: ora ilok). Apabila ada pernikahan yang terlaksana selalu saja ada aral menganggu, prahara, atau musibah terjadi, entah itu meninggal, sakit atau permasalahan ekonomi sehingga kehidupan tidak tenteram.
“Tidak tahu juga apakah karena sumpah dan dendam Rangga Puspawilaga menjadi kenyataan. Yang jelas memang ada kenyataan demikian. Memang tidak secara ekstrim tidak boleh menikah ke Piyaman, tetapi larangan itu ada,” ungkap Darso. Ia menyambung cerita, bahwa sekitar 12 tahun terakhir hal-hal itu mulai luntur, tinggal beberapa saja yang masih mempercayainya. Ia sendiri heran, warga lokal tidak banyak yang paham mengenai Puspawilaga, siapa, dari mana, dan di mana kediamannya. Lelaki kelahiran 1940 ini hanya pernah mendengar, bahwa Pupawilaga seorang yang sakti dan memiliki watak yang keras.
Warga lokal di wilayah Seneng lainnya yang tidak mau disebutkan identitasnya mengatakan, apabila ditanya apakah Puspawilaga adalah tokoh yang mutlak disebut ‘antagonis’ dari cerita yang berkembang secara umum, seakan ia tidak terima. Ia pun sempat mendengar bahwa Rara Sudarmi sengaja dijadikan pancingan agar Puspawilaga dapat dikalahkan. Mengenai keberadaan makam atau petilasan Rangga Puspawilaga hingga kini juga masih misterius. (Kandar)