Omah Gedheg

oleh -1732 Dilihat
oleh
Salah satu rumah berdinding gedheg di wilayah Gunungkidul. KH/Wage.
Salah satu rumah berdinding gedheg di wilayah Gunungkidul. KH/Wage.

Anut runtut tansah reruntungan, munggah-mudhun gunung anjok samodra. Gandheng renteng anjejereng rendeng, reroncening kembang kembang kemanten. Mantene wus dandan dadi dewa-dewi, dewaning asmara gya mudhun bumi.
[Petikan Lagu “Anyam-anyaman Nyaman”, Sujiwa Tedja]

“Anyam-anyaman Nyaman”: Mbah Sujiwa Tedja Presiden Danjukers (yang ilmuwan, atau OK-lah: budayawan, gaul itu) mengingatkan dasar ilmu pengetahuan dunia Jawa/Nusantara kepada para anak muda Jawa/Nusantara populer dengan metode yang ampuh (seperti yang dilakukan oleh para leluhur), yaitu lewat menciptakan anyaman tembang/lagu: lagu Jawa pop yang bukan pop. Dewa-Dewi Smara turun ke bumi tutur lagunya.

Mereka memperindah griya manusia dengan anyaman dan lilitan. Dewa menganyam Dewi, Dewi melilit Dewa. Semerbak bunga aroma tubuhnya; bebauan alamiah yang mengepul dari bilah bambu dan kayu yang telah dibelah, disisiki, dan dipasah, lantas disusupkan, ditelusupkan. Bilah-bilah (welahan, wilahan; kelak digunakan pula dalam rerenggan gamelan, juga kanan-kiri bahtera kala bahtera mengarungi samudera) menaiki-menuruni gunung, kemudian anjok di kedalaman samodra; begitu laku hidupnya.

Mereka berkriya reruntungan; bersama-sama. Berpasangan. Bergandengan tubuh: kaki dan tangan. Saling menimpali. Bergantian mengisi. Anut tinut satu terhadap yang lain. Mereka menjelma bentuk anyam-anyaman. Dalam balutan pernikahan. Pernikahan wilahan kayu-kayu dan bambu-bambu. Ruh lempung dan air; agni dan udara. Pernikahan ini lah yang diidamkan (yang dinanti, ditunggu) langit dan bumi. Karena pernikahan (panganten), antara keduanya, tentu (akan) melahirkan kebahagiaan.

Spirit dasar kehidupan dunia tradisional, mungkin, salah satunya adalah anyam-anyaman; seperti sabda Mbah Sujiwa Tedja Dancuk lewat lagu itu. Anyam-anyaman dari bambu dan kayu memenuhi dimensi kerja manusia tradisional. Piranti-piranti teknologis seperti: kalo, irik, tenggok, tompo, tampah, iyan, tepas, kukusan, kepang, gedheg, tomblok, klasa (mendhong), dsb. merupakan anyam-anyaman; hasil kerja menganyam warga tradisional. Bahkan, mungkin, benda-benda budaya seperti kuluk/kupluk, klambi, kathok, gebyog, saka-lambang-usuk-reng sebagai unsur bangunan omah, bethek (pager), kandhang sato kewan, dsb. adalah produk anyaman.

Kali ini kita walikan semua jenis ‘anyaman’ itu dengan istilah: gedheg saja.

Leluhur Jawa menitipkan kode berupa anyaman gedheg. Bangunan omah tradisional (omah sebagai paralambang bangunan diri manusia) dibentuk oleh gedheg. Gedheg adalah batas omah, batas diri. Gedheg sumrawang penampakannya. Sunaring surya (cahaya matahari) bisa menembus tubuhnya. Siliring samirana (sepoi angin) mampu menyusupinya. Ia bukan gebyok yang rapat, bukan tembok watu yang kuat.

Anyaman gedheg melambangkan diri manusia sebagai wilahan-wilahan jiwa (wilahan wuluh/deling/pring) yang amat susah mencari asal-usul sangkan-parannya sendiri (isine wuluh wung-wang). Manusia adalah jiwa-jiwa yang tipis, lemah, dan bolong sana sini. Kemudian manusia membuat anyaman jiwa-jiwa agar kuat. Lewat sela-sela anyaman itu, manusia tak henti nyadhong (berharap, berjaga) dapat terbesiti sorot/cahaya/teja Sang Maha Teja.

Jika bagian omah kita (tubuh kita) ada yang masih berupa gedheg (anyaman bambu sebagai batas/dinding dengan alam, dengan kebon, dengan jalan) di kanan-kirinya, justru kondisi ini ‘mengharuskan’ manusia menjaga gedheg dari serangan rayap, dari hembusan angin, harus membuat gapit/gupit agar gedheg omah tahan lama dan menjadi kokoh (laksana wayang kulit). Dan ‘tanpa disengaja’ selaras dengan nama diri tokoh yang menciptakan lagu “Anyam-anyaman Nyaman”: Sujiwa Teja; jiwa unggul dan bersit cahaya.

Jiwa yang unggul adalah jiwa yang justru mampu memelihara (angon) kekhawatiran-kecemasan jangka pendek (shortterm) dan panjang (longterm), mengolah keserbabelumcukupan, serta keserbakurangan (lack). Bukan seperti jiwa kita (dinding gedheg omah milik kita) yang kita buat tembok tebal-tebal kuat-kuat rapat-rapat tinggi-tinggi agar orang lain tak bisa mengintip, mencuri-dengar, melompati, menjebol dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Omah diri saya yang saya tutup-rapatkan kecemasan dan kekhawatiran tentangnya agar kulkas, TV, smartphone, laptop, ipad-air, motor, mobil, dan seabrek barang ‘bernilai’ kita yang lain tak oncat dari dalam omah.

Kita adalah manusia yang terlalu cemas jika benda-benda sekuler itu berpindah tempat, tidak lagi ‘mempermudah’ kriya hidup kita; membahagiakan jiwa kita. Semua karena batasnya ‘hanya’ gedheg. Sementara itu jiwa yang unggul adalah jiwa yang tipis laksana gedheg namun Sang Diri mampu mengolahnya menjadi kuat; memenuhinya dengan sorot Sang Maha Jiwa. Lebur kekhawatiran dan kecemasan itu.

Mungkin begitu lah: omah-gedheg mencitrakan jiwa si manusia. Omah-gedheg terluapi (kebegan) suasana Sang Hyang Suksma; Sang Hyang Bayu. Betapa tidak, suatu saat jika omah kita adalah omah-gedheg maka udara di dalam omah akan begitu mudah bertegur-sapa (sapa-aruh; pasrangkara) dengan udara di luar rumah.

Di dhusun-dhusun desa-desa para anggota keluarga yang lalu lalang di luar omah bisa sangat mudah diindera kehadirannya, disapaaruhi tanpa melihatnya menggunakan mata: ketika mereka greneng-greneng melewati jalan depan omah yang berada di dalam omah langsung menyapa: “Tindak pundi e, Lik?” “Ngarit”. “Mbok pinarak riki riyin, wedangan!” “Ya kono, penakke! Selak udan!” Belum lagi angin. Panas. Gelegar petir. Hujan. Suara-suara alam berbatasan gedheg dengan diri manusia, namun dekat sekali.

Gedheg adalah media translokasi suara. Media perpindahan dan pengiriman sih-tresna. Manusia dengan manusia. Manusia dengan alam lingkungannya (kebon-agungnya). Dengan dinding gedheg kulawangsa manusia mudah mengasihi alam, sekaligus mudah terkena imbas langsung dari alam. Namun demikian, batas omah yang tipis, yang paradoks, yang cenderung terbuka kepada dunia-luar, yang tak benar-benar menutupi apa yang ada di dalam, akan selalu digunakan oleh orang-orang Jawa dalam kehidupannya; pada suatu saat mitis tertentu kulawangsa Jawa Nusantara akan kembali menegakkan bangunan omahnya dengan gedheg. Meskipun hanya sebagai permodelan yang artsy, yang artifisial.

Nusa Jawa atau Pulau Jawa (mungkin Nusa Jawa Kuno atau Jawa Mayor adalah Kontinen Sunda Nusantara) ibarat sebuah omah bagi Wangsa Jawa Nusantara yang berbentuk omah-gedheg. Geologi Nusa Jawa itu omah gedheg; ringkih. Cenderung tak stabil. Nusa Jawa rentan terhadap bencana skala besar, katastropi. Nusa Jawa adalah sabuk-api. Gunung-geni. Nusa Jawa adalah batu-batu yang mudah mobah-mosik terhembus angin. Nusa Jawa berupa bolongan-bolongan angin-angin yang Wangsa lain (Atas-Angin, Bawah-Angin, dll.) bisa dengan mudah memasuki Nusa Jawa Nusantara karena kesuburan dan keterbukaannya.

Nusa Jawa merupakan kecemasan dan kekhawatiran para wangsa nomad yang miskin sumber daya alam untuk dapat tinggal. Mereka tak henti menyambangi (nyambangi) Nusa Jawa Nusantara. Namun bagi Wangsa Jawa sendiri, atau wangsa non Jawa yang telah melakukan hibridasi di waktu lebih awal hingga bisa disebut Wangsa Jawa atau ‘pribumi’ baru (mungkin saking cintanya pada Ibu Bumi yang sangat cantik, lalu pengin ‘nganu’ terus), pun hidup dalam kecemasan dan kekhawatiran katastropis.

Gunung-geni dilobi. Hujan api dipayungi. Siklus Nusa Jawa berupa siklus kerajaan/negara yang mudah retak bangunanya. Tak langgeng. Maka dari itu, Nusa Jawa yang berbentuk omah-gedheg perlu diruwat, perlu dirumat. Nusa Jawa harus digupit, digapit.

Omah-gedheg oleh si manusia dirumat (dijaga) agar kuat, agar awet. Bukan malah malu karena omahnya hanya gedheg. Bukan justru karena omahnya telah-kayu atau telah-batu (yang sebenarnya belum kokoh; hanya bayang-bayang; hanya mimpi para anggota keluarga manusia yang dipaksa untuk bersatu-padu; hanya ringkih seringkih anyaman gedheg) malah gedhag-gedheg (angkuh) sok mengasihani anggota keluarga yang omahnya ‘masih gedheg’.

Bagaimana jika dinding gedheg adalah pilihan hidup, jalan-hidup? Si manusia yang menghuninya, yang tak malu omahnya berdinding gedheg, tak malu disebut rakyat-miskin tetapi jiwanya tak sepi dari tersoroti kasih sayang Hyang Suksma, yang justru merasa malu ketika si manusia memiliki omah berdinding kayu dan batu yang kokoh namun imah-imih dan ringkih jiwanya menghadapi kehidupan, kebegan kecemasan-kekhawatiran untuk selalu menumpuk harta kekayaan?

Nggak pa-pa, memang tak selamanya kita manusia Jawa-Nusantara harus dan siap ‘hanya’ memiliki omah-gedheg. Mungkin butuh strategi saja agar omah-omah kita yang telah berdinding kayu dan batu tak benar-benar keras, rapat, tertutup seperti hakekat materialnya. Kita bisa menganyam wilahan-wilahan gedheg dari wilahan kekayu dan bebatu. Memasangnya sebagai gedheg omah kita dan mengkonversinya menjadi dinding yang tipis, yang kasih-sayang manusia, alam, serta nilai ketuhanan bisa bertranslokasi dengan mudah. Berandon-asmara dengan ramah.

Kita tak perlu malu pada sedulur-sedulur yang omahnya benar-benar berdinding gedheg. Karena di antara kita pun terlalu banyak yang rai gedheg: tak tahu malu bahwa sebenarnya kita telah mengumbar ‘kemaluan-kemaluan’ tertentu di hadapan umum namun kita meyakininya bukan sebagai suatu ‘kemaluan’, hingga setiap ditanya apakah kita telah menghormati alam sebagai anyaman kompleks wilahan benda-benda atau belum kita bisanya cuma gedhag-gedheg (nggak tahu) saja, lebih parah lagi gumedheg (merasa bahwa dirinya lebih tahu) tentang gedheg dan omah-gedheg.

Semoga, minimal, pada waktu mitis tertentu kita mau dan berani mengakuinya: kita, kulawangsa manusia, adalah anyam-anyaman gedheg (ruh, jiwa) yang tipis, tak tahan banting, lemah, serta mudah goyah, namun secara berulang-ulang kita mensimulasikannya sebagai tembok kukuh yang tak bakal runtuh, sebagai pernikahan-pernikahan dan persatuan-persatuan yang agung; pencapaian-pencapaian yang serba maha, kemudian dengan penuh kesadaran kita merawat dan meruwatnya.

Ya wis, biar nggak terus-terusan angkuh (gédhag-gèdhèg) dan sombong (gumêdhêg), suatu saat jika saya dan Sampeyan punya waktu longgar, mari kita nikmati dengan bahagia gêdhèg (kepang) yang digédhag-gèdhègkan kanan-kiri oleh penari jathilan atau reyog atau jaran-kepang Gunungkidulan! Mari kita rasukkan dalam-dalam: Gêdhèg yang Rimang! Ia penuh (A)Smara. Birahinya meluap. Menggila. Sebenarnya: siapa sih yang gila? Gedheg (kepang) yang lemah?

Yang lemah itu kita (manusia yang merasa memiliki kekuasaan dan menjulangkan rumah-rumah peradaban) atau mereka: anyaman gêdhèg nan ringkih mudah rayapen itu?

***

(Wage)

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar