Kerajinan Parut Tradisonal Bertahan Hingga Turun-Temurun

oleh -
oleh
iklan dprd

PALIYAN, kabarhandayani.– Di era globalisasi yang serba instan, parut tradisional masih dijadikan pilihan dan dibutuhkan oleh para ibu rumah tangga untuk memarut kelapa yang diambil santannya atau memarut ketela untuk diolah menjadi makanan. Untuk itu, para pengrajin parut tradisional masih dibutuhkan untuk terus berproduksi.

Salah satunya adalah Muye (60), warga Padukuhan Selorejo, Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Gunungkidul yang sudah menekuni pembuatan parut tradisional sejak tahun 1990-an. Dia menekuni pekerjaan ini sebagai sampingan pekerjaannya menjadi petani. Selain itu, membuat parut merupakan pekerjaan yang sudah turun-temurun di padukuhan tersebut.

Muye menjelaskan, bahan untuk membuat parut tradisional adalah kayu dan kawat serta alat pendukung lainnya seperti gergaji, palu dan pemotong kawat. Dengan modal sebesar Rp 25.000,00 untuk bahan baku kayu, kawat dan jasa mengasah kayu ia mampu membuat sekitar 10 buah parut setiap harinya.

Kayu yang dia gunakan adalah kayu keras sejenis akasia, jati atau mahoni. Kayu dipasah dan dipotong sesuai pola dan dipasangi kawat yang sudah dipotongi sepanjang 3-4 milimeter dengan pemotong kawat dan ditata dan dipukul ke sisi kayu yang sudah digambari pola. Untuk memasang kawat yang dijadikan gigi parut membutuhkan waktu sekitar 1 jam. “Sebenarnya tidak sulit, hanya butuh ketelatenan saja,” jelasnya.

iklan golkar idul fitri 2024

Muye menjelaskan, ia menjual parut hasil buatannya ke Pasar Sodo dengan harga Rp 3.000,00 per buah. “Hampir setiap rumah di padukuhan ini membuat parut, ini sudah menjadi pekerjaan sejak jaman dulu, ya sebagai tambahan penghasilan,” ujarnya. (Mutiya/Hfs)

 

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar