Karawitan

oleh -4285 Dilihat
oleh

Kemudian, ontologi kuna (ajaran makrifat) tentang gendhing diwujudkan suatu karya sastra berjudul Sastra-Gendhing oleh seorang raja-gunung bergelar Sultan Agung; berpasangan dengan karya tari Bedhaya Ketawang.

Para leluhur Jawa (Nusantara) yang telah membahasakan naturalitas alam ke dalam bentuk gendhing dan yang wadahnya diciptakan oleh seorang gendhing ini, kemudian menciptakan formula-kompleks seni karawitan. Karawitan atau kerawitan adalah kehalusan olah rasa manusia tentang alam yg diekspresikan dengan instrumen gamelan melalui kelembutan dan keluwesan gendhing-gendhingnya. Rawit itu lungid, atau lelungidan; suatu bentuk keindahan (kalangenan) yang landhep (tajam). Sifat lungid karawitan difungsikan sebagai titik-pijak, dasar, atau perangkat untuk menajamkan rasanya. Lungid adalah sifat lancip pada material-tajam seperti pisau atau welat (bilah kulit bambu). Orang desa memiliki istilah rawit/riwit yang dikenakan pada material lombok, yaitu lombok yang kecil tubuhnya namun begitu tajam-pedas rasanya. Sesuatu yang lungid bertujuan untuk mengajak manusia bergerak (mlampah) menuju kelepasan (liberasi) dan pencerahan (pepadhang). Rawit dapat pula diartikan luk (kelokan pada tubuh keris), atau lekuk-lekuk, sehingga di dalam karawitan terdapat luk-lekuk nada yang berhubungan dengan istilah-istilah seperti: laras, slendro, pelog, ladrang, ketawang, ulihan, sakgongan, notasi sindhenan, bawa, gerongan, buka, jineman, umpak-umpak, senggakan, pathetan, sulukan, ada-ada, dan lain-lain, serta berhubungan dengan unsur pendukung seperti: wiyaga, sindhen, nama-nama instrumen (kethuk-kenong-siter hingga gong, dll.), cakepan, dan lain-lain, yang kombinasi-kolaborasi antar bagian atau instrumennya mendukung satu orkestra kompleks yang disebut karawitan itu.

Karawitan, dalam ruang dan waktu tertentu, sebagai seni pertunjukan yang mandiri dalam makna tidak sedang sebagai pengiring seni pertunjukan lain, sering disebut klenengan. Klenengan adalah alunan orkestra gamelan-lengkap (instrumental) yang disuarakan oleh para penabuh dan vokalis (sindhen, gerong). Untuk keperluan tertentu seperti ewuh dan atau tarub (perayaan pernikahan di antara wangsa manusia; diwakili penokohan Jaka Tarub – Nawangwulan), alunan karawitan terkadang dilaksanakan dengan instrumen terbatas, tidak lengkap, hanya: gender, slenthem, gambang, siter, rebab, suling, gong, dan kendhang saja, dinamakan gadhon. Sementara itu istilah cokekan atau siteran merujuk pada alunan gendhing karawitan yang terbatas pada instrumen: kendhang, siter, dan gong saja; terkadang hanya siter dan vokalis thok. Seperti dua orang tukang mbarang masuk-keluar kampung, bapak-ibu, yang lelaki manggul dan memainkan siter, sementara yang perempuan nyindheni. Ada lagi yang disebut uyon-uyon, yaitu alunan gendhing karawitan yang lebih menonjolkan vokal dengan latar instrumen gamelan yang lirih (lirihan). Di lain waktu, jenis instrumen gamelan apa yang akan ditabuh kala pertunjukan karawitan bisa sangat luwes bergantung permintaan yang punya gawe. Jika perlu, dicampur dengan instrumen musik diatonis.

Gambaran tentang bagian tubuh karawitan di atas mengukuhkan bahwa ia (sebagai tubuh tunggal) atau mereka (sebagai organ-kolektif) berhubungan dengan kata lelemesan: sifat instrumen dan gendhing karawitan itu luwes dalam segi garap.

Berbagi artikel melalui:

Komentar

Komentar